Liputan6.com, Wellington - Baru dipenjara selama dua pekan, terdakwa kasus penembakan dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru sudah mengeluh. Ia mengklaim telah kehilangan hak-hak dasarnya selama di penjara.
Seorang sumber anonim mengatakan, Brenton Tarrant, pelaku pembunuhan massal pada Jumat 15 Maret 2019 lalu, mengeluhkan ketiadaan akses terhadap kunjungan dan telepon di Penjara Paremoremo, Kota Auckland.
Advertisement
Baca Juga
Perlu diketahui bahwa penjara di Paremoremo memiliki penjagaan yang paling ketat dibandingkan lainnya.
"Dia terus-menerus diawasi dan diasingkan. Dia tidak mendapatkan hak minimum seperti yang biasa (diberikan kepada tahanan lain). Jadi, tidak ada panggilan telepon dan tidak ada kunjungan,"Â klaim sumber itu, mengutip media Selandia Baru Stuff pada Minggu (31/3/2019).
Meski demikian, sumber yang sama tidak melihat adanya pelanggaran terhadap undang-undang terkait hak narapidana.
Undang-Undang Pemasyarakatan di Selandia Baru mengatur bahwa setiap tahanan memiliki hak untuk berolahraga, tidur, makanan yang layak, satu pengunjung pribadi dalam seminggu, panggilan telepon, surat, penasihat hukum, serta perawatan medis. Namun, layanan tersebut dikecualikan untuk beberapa kasus.
Dalam hukum yang sama, sebagian hak dapat ditangguhkan karena berbagai alasan. Misalnya, narapidana memang berstatus tahanan dengan penjagaan ketat (protective custody), atau alasan lain yang diatur otoritas.
Dalam kesempatan itu, sumber anonim juga menjelaskan kondisi penjara pelaku serangan teror masjid Selandia Baru.
Tempat pria itu ditahan, disebut memiliki pintu depan dan belakang. Di bagian depan terdapat sejumlah penjaga, sedangkan lorong belakang terdapat halaman penjara yang berukuran sama dengan sel. Halaman itu memiliki lantai dan dinding beton. Biasanya, penjaga memberikannya kesempatan pada tahanan untuk masuk ke halaman selama satu jam dalam sehari.
Â
Simak pula video pilihan berikut:
Pantas Dilindungi Undang-Undang?
Menanggapi aduan yang datang dari pelaku penembakan dua masjid yang menewaskan 50 orang itu, seorang ahli hukum Universitas Auckland bernama Dr. Bill Hodge mengatakan ia pantas dilindungi undang-undang.
"Aturan hukum berlaku, bahkan di penjara ... Dia pantas dilindungi undang-undang seperti tahanan lainnya," kata Hodge.
Hodge menambahkan bahwa mungkin saat ini Brenton Tarrant tengah "menganggap dirinya sebagai korban" dengan beberapa alasan.
Pelaku penembakan sadis itu akan tinggal di Auckland selama proses persidangan, mengingat ia akan kembali hadir di meja hijau pada awal April setelah dijatuhi satu dakwaan pembunuhan pada sidang perdana.
Adapun saat ini diketahui bahwa penjaga sel Tarrant berasal dari berbagai etnis. Hal itu mengoreksi laporan berita sebelumnya yang menyebut bahwa pria bersenjata tersebut hanya ditangani oleh staf penjara berkulit putih.
Advertisement