Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan akan mencaplok wilayah di Tepi Barat Palestina yang diduduki sebagai permukiman masa depan orang bangsa Yahudi, jika ia memenangi pemilu yang akan diselenggarakan pekan depan.
Israel akan melaksanakan pemungutan suara pada Selasa 9 April 2019, dan Netanyahu bersaing untuk mendapatkan suara dukungan bagi partai-partai sayap kanan yang mendukung pencaplokan bagian dari Tepi Barat.
Advertisement
Baca Juga
Netanyahu ditanya dalam sebuah wawancara di TV Israel tentang rencana memperluas kedaulatan Israel ke pemukiman besar di Tepi Barat.
"Anda bertanya apakah kami pindah ke tahap berikutnya - jawabannya adalah ya, kami akan pindah ke tahap berikutnya," katanya, seperti dilansir BBC, Minggu (7/4/2019).
"Saya akan memperluas kedaulatan (Israel) dan saya tidak membedakan antara blok pemukiman dan pemukiman terisolasi."
Seorang juru bicara untuk pemimpin Palestina Mahmoud Abbas mengatakan kepada kantor berita Reuters: "Segala tindakan dan pengumuman tidak akan mengubah fakta. Pemukiman ilegal dan mereka akan dihapus."
Komentar Panas Jelang Pemilu
Partai Likud sayap kanan yang dipimpin PM Benjamin Netanyahu bersaing ketat dengan aliansi partai berhaluan politik tengah-kanan yang baru.
Namun partai-partai lain, yang beberapa di antaranya mendukung pencaplokan Israel atas Tepi Barat, bisa berakhir menjadi raja ketika mereka mencoba membentuk koalisi untuk memerintah.
Dalam partai Likud Netanyahu sendiri, 28 dari 29 anggota parlemen yang mencalonkan diri kembali terpilih sebagai pendukung pendekatan ini. Sebelumnya, perdana menteri adalah satu-satunya pengecualian, hingga kemudian ia melontarkan komentar serupa akhir pekan ini, menjadikan semua politisi Likud yang mencalonkan diri kembali (29 orang) memiliki visi politik aneksasi Tepi Barat.
Simak video pilihan berikut:
Melanggar Hukum Internasional
Permukiman di wilayah yang dipersengketakan merupakan sebuah pelanggaran hukum internasional, namun Israel selalu tak mengindahkan hal itu.
Bulan lalu AS mengakui Dataran Tinggi Golan yang diduduki, yang direbut dari Suriah pada tahun 1967, sebagai wilayah Israel. Padahal, Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 (1967), Nomor 338 (1973) dan Nomor 497 (1981) telah melarang klaim tersebut.
Sementara itu, Israel telah mendiami sekitar 400.000 orang Yahudi di permukiman Tepi Barat, dengan 200.000 lainnya tinggal di Yerusalem Timur. Sedangkan ada sekitar 2,5 juta warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat.
Palestina ingin mendirikan negara di Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza.
Apa yang terjadi pada permukiman adalah salah satu masalah yang paling diperdebatkan antara Israel dan Palestina - Palestina mengatakan kehadiran permukiman membuat negara merdeka di masa depan menjadi tidak mungkin.
Israel mengatakan Palestina menggunakan masalah pemukiman sebagai alasan untuk menghindari pembicaraan damai langsung. Dikatakan pemukiman bukan hambatan asli untuk perdamaian dan bisa dinegosiasikan.
Advertisement
Akan Memicu Pergolakan Baru?
Komentar Benjamin Netanyahu ini berpotensi memicu meningkatkan tensi baru, di tengah upaya perdamaian yang mandek selama bertahun-tahun, BBC melaporkan.
Mereka akan beresonansi dengan beberapa pihak koalisi jika dia memenangkan bagian suara terbanyak.
Tetapi, gagasan aneksasi akan membangkitkan kemarahan baru Palestina, serta kecaman internasional. Di sisi lain, komentar Netanyahu mungkin akan memicu dukungan baru dari AS yang bulan lalu telah mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Sementara itu, Pemerintahan Trump sedang mempersiapkan untuk mengungkap rencana perdamaian Timur Tengah yang telah lama ditunggu-tunggu, yang menurut para pejabat AS akan adil.
Namun pemerintahan Trump telah melakukan serangkaian tindakan yang telah mengobarkan opini Palestina dan umumnya menyenangkan Israel.
Pada hari Sabtu, berbicara pada pertemuan Koalisi Yahudi untuk Partai Republik, Trump memperingatkan soal kemenangan Demokrat pada Pemilu AS 2020, yang akan dapat "meninggalkan Israel sendirian di sana", dalam upaya untuk mendulang dukungan pemilih Yahudi untuk memilihnya kembali.
Negosiasi damai antara Israel dan Palestina telah terhenti sejak 2014, ketika upaya yang ditengahi AS untuk mencapai kesepakatan gagal. Itu memburuk ketika pada tahun 2017, Trump mengumumkan bahwa AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, membalikkan dekade kebijakan resmi AS.
Sebagai tanggapan, Abbas memutuskan hubungan dengan AS, dengan mengatakan Washington DC tidak bisa lagi menjadi perantara damai.