Liputan6.com, London - Ribuan orang memadati depan Hotel Dorchester di London milik Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah pada Sabtu 6 April 2019 sebagai protes terhadap langkah Bandar Sri Begawan memberlakukan hukuman rajam sampai mati untuk gay.
Sambil membawa plakat dan bendera pelangi, para aktivis menggedor jendela-jendela gedung ketika mereka meneriakkan 'malu pada kamu' dan 'hak-hak gay, hak asasi manusia', outlet surat kabar Inggris, Metro melaporkan kemarin, dikutip pada Minggu (7/4/2019).
Para demonstran juga telah memblokir pintu masuk ke penginapan dengan membawa tanda-tanda bertuliskan: "Uang yang dihabiskan di Dorchester melapisi kantong orang yang percaya bahwa kaum gay harus dilempari batu sampai mati."
Advertisement
Seorang pendemo, Graham (46) mengatakan kepada Metro bahwa ia ingin 'mencapai hak asasi manusia yang mendasar' dengan berunjuk rasa di luar hotel.
Baca Juga
"Ini adalah tentang undang-undang kuno yang disahkan dan menurunkan kebebasan dasar dalam masyarakat modern kita," katanya. "Kita harus menghentikannya."
"Kita harus melakukan apa yang kita bisa dan pikirkan, misalnya, 'mari kita tekan Universitas Oxford di mana Sultan Brunei memiliki gelar kehormatannya'," ujar Graham yang menambahkan;
"Katakan pada mereka (Oxford), 'Apakah Anda merasa nyaman dengan mereka memberikan gelar kepada fanatik homofobia ini?' Mungkin tidak. Jika cukup banyak orang yang memberi tahu mereka, kami dapat mulai membuat perubahan."
University of Oxford sekarang dikatakan tengah mempertimbangkan kembali keputusan untuk memberikan gelar kehormatan kepada Sultan Brunei yang diberikan pada tahun 1993.
George Clooney dan Elton John adalah beberapa selebriti yang menyerukan boikot terhadap sembilan hotel Dorchester Collection, yang meliputi tiga hotel di Inggris dan Beverly Hills Hotel di LA.
Deutsche Bank Jerman dan agen perumahan Knight Frank sekarang telah melarang staf mereka untuk menginap di sana.
Seorang juru bicara untuk Dorchester mengatakan bahwa 'inklusi, keragaman dan kesetaraan' adalah 'pondasi' perusahaan.
"Kami memahami kemarahan dan frustrasi orang-orang, tetapi ini adalah masalah politik dan agama yang kami yakini tidak boleh digemakan di hotel kami dan di antara 3.630 karyawan kami," kata mereka.
#DorchesterHotel protest of the Sultan of Brunei’s Barbaric Anti Gay Stoning law. Great to see so many here in support #BoycottDorchesterHotel #BoycottBrunei pic.twitter.com/8hECpdiy0W
— Ash Kotak FRSA (@ashkotak) April 6, 2019
Kata Anggota Parlemen Inggris
Anggota Parlemen sekaligus Menteri Bayangan Inggris (Shadow Minister - dari kubu oposisi pemerintah di parlemen) untuk urusan Luar Negeri, Emily Thornberry mengatakan, "Brunei harus keluar dari Organisasi Persemakmuran Inggris jika mereka tidak mencabut hukum yang keras kepada LGBT," ujarnya, seperti dikutip dari BBC.
Senada, Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt juga mengatakan bahwa London menentang undang-undang tersebut.
Tetapi Kementerian Luar Negeri pernah mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "mengancam mengusir negara-negara dari Persemakmuran" bukan "cara terbaik" untuk mendorong Brunei menegakkan kewajiban hak asasi manusianya.
Di sisi lain, berbicara kepada orang banyak di luar Dorchester, Emily Thornberry menambahkan bahwa langkah nyata memang memiliki konsekuensi dan Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei harus dijauhi sampai undang-undang anti-LGBT dicabut.
Dia menambahkan: "Setiap kebencian terhadap siapa pun adalah kebencian terhadap kita semua."
"Pertarungan kita adalah dengan sultan Brunei. Pertarungan kita adalah dengan hukum yang mengerikan ini. Kita bilang tidak."
Emily Thornberry dan menteri bayangan untuk perempuan dan kesetaraan, Dawn Butler pada hari Jumat menulis kepada menteri luar negeri untuk meminta perdana menteri agar "mengambil peran utama dalam mengutuk undang-undang ini dan menyerukan tindakan tegas."
PM Inggris Theresa May adalah ketua umum Persemakmuran saat ini - peran kepemimpinan utama dalam asosiasi negara-negara eks-jajahan Kerajaan Britania Raya.
Simak video pilihan berikut:
Brunei Menerapkan Rajam Mati untuk Gay
Pada 3 April 2019, pemerintah Brunei Darussalam menerapkan porsi undang-undang syariah baru yang telah diperkenalkannya pada 2014 silam. Salah satu klausul dalam hukum itu menuai sorotan dunia akhir-akhir ini: rajam sampai mati bagi pria yang mengaku dan terbukti melakukan hubungan seks dengan sesama jenis.
Brunei Darussalam pertama kali memperkenalkan hukum syariah pada 2014 meskipun ada kecaman yang meluas.
Pemberlakuan itu menjadikan Brunei negara yang menerapkan sistem hukum pidana ganda dengan Syariah dan Common Law. Sultan pada saat itu mengatakan bahwa sistem hukum pidana ganda akan berlaku penuh selama beberapa tahun.
Fase pertama, yang mencakup kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman penjara dan denda (praktik penghukuman Common Law), dilaksanakan pada tahun 2014.
Brunei Darussalam kemudian menunda memperkenalkan dua fase terakhir, yang mencakup kejahatan yang dapat dihukum dengan amputasi hingga rajam (praktik penghukuman Hukum Syariah) --sampai kemudian pemerintah merilis sebuah pernyataan di situs webnya yang mengatakan bahwa hukum pidana syariah akan sepenuhnya diterapkan pada Rabu 3 April 2019.
Undang-undang syariah itu juga melarang aktivitas lain, seperti mencuri dengan ancaman hukuman potong tangan hingga aborsi dengan ancaman cambuk publik. Tindakan zinah, sodomi, perkosaan hingga penistaan agama juga dilarang dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Hukuman untuk seks lesbian (sesama perempuan) cenderung lebih ringan, tetapi mereka masih bisa dicambuk hingga 40 kali dan dipenjara selama 10 tahun.
Di bawah undang-undang yang baru, pria yang dituduh melakukan hubungan seks gay hanya akan dihukum rajam sampai mati jika mereka mengakui perbuatannya atau terlihat melakukan tindakan itu oleh empat orang saksi.
Hingga kini, belum jelas bagaimana prosedur peradilan hingga sampai pada vonis penghukuman itu bakal terlaksana. Namun, regulasi tersebut telah memicu kecaman dan protes internasional, termasuk yang datang dari Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB.
Di sisi lain, meski Brunei menerapkan hukuman mati dalam hukum pidananya, negara kaya minyak itu belum pernah melakukan eksekusi sejak 1957 --saat itu Brunei masih menjadi protektorat Inggris dan baru merdeka pada 1984-- menjadikannya sebagai salah satu negara abolitionist in practice selama lebih dari enam dekade.
Advertisement