Sekjen PBB Serukan Gencatan Senjata di Tengah Konflik Libya

Dewan Keamanan PBB menyerukan adanya gencatan senjata di Libya yang tengah mengalami konflik.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Apr 2019, 20:42 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2019, 20:42 WIB
Sekjen PBB Antonio Guterres berbicara di hadapan DK PBB (AP)
Sekjen PBB Antonio Guterres berbicara di hadapan DK PBB (AP)

Liputan6.com, Tripoli - Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyerukan diakhirinya pertempuran yang telah berkecamuk sejak pekan lalu. Konflik yang dimaksud adalah antara pasukan Khalifa Haftar dan tentara Libya. Oposisi pemerintah itu bertujuan untuk menguasai Ibu Kota Tripoli.

"Masih ada waktu untuk menghentikannya. Masih ada waktu untuk gencatan senjata dalam rangka menghentikan permusuhan dan menghindari kemungkinan terburuk," kata Guterres kepada wartawan pada Rabu 10 April 2019 malam waktu setempat, sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia pada Kamis (11/4/2019).

Pernyataan diberikan setelah diadakannya pertemuan tertutup dengan Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara selama lebih dari dua jam.

Guterres mengatakan apabila konflik tidak dihentikan, maka dapat memungkinkan adanya pertempuran berdarah yang dramatis di Libya.

"Masih ada waktu untuk mengakui bahwa penyelesaian militer tidak boleh ada. Hanya solusi politik yang bisa diterapkan pada situasi seperti di Libya (saat ini)," katanya.

Sebagaimana diketahui, Guterres telah mengunjungi Libya pada pekan lalu. Hanya beberapa jam setelah ia meninggalkan negara itu, pasukan yang setia kepada Jenderal Khalifa Haftar mendesak maju dari posisi mereka di timur ke Tripoli.

Padahal Ibu Kota tengah dikendalikan oleh Dewan Presiden dan Perdana Menteri Fayez al-Serraj yang didukung PBB.

"Jelas seruan saya agar tidak adanya serangan dan agar permusuhan dihentikan tidak didengar," kata sekjen PBB itu. "Namun saya kira jika kita melihat situasi hari ini, jelas situasinya sangat berbahaya, dan kita benar-benar harus menghentikannya."

Pertempuran itu telah membatalkan rencana PBB untuk mengadakan konferensi nasional pada Minggu guna mempersatukan pihak-pihak yang bertikai. PBB pada Selasa mengatakan mereka telah menunda, karena kekerasan membayangi proses politik tersebut.

Adapun pada Rabu, pertempuran terjadi di Libya yang berpusat di pinggiran selatan ibu kota, dengan ribuan warga sipil melarikan diri dari rumah mereka. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan lebih dari 5.800 orang mengungsi pada putaran kekerasan terbaru ini.

Guterres Mengutuk

Ruang Sidang Dewan Keamanan PBB di New York (Kena Betancur / AFP PHOTO)
Ruang Sidang Dewan Keamanan PBB di New York (Kena Betancur / AFP PHOTO)

Antonio Guterres sempat mengutuk keras peningkatan militer di dekat Tripoli dan menyerukan penghentian segera pertempuran di Libya.

Seruan tersebut diberikan pada Senin, 8 April 2019, setelah serangan udara oleh pasukan Jenderal Khalifa Haftar di Bandara Mitiga di timur ibukota.

Guterres "mendesak penghentian segera semua operasi militer untuk mengurangi situasi dan mencegah konflik habis-habisan," kata sebuah pernyataan PBB, dikutip dari Eyewitness News.

Dia "sangat mengutuk eskalasi militer dan pertempuran yang sedang berlangsung di dalam dan sekitar Tripoli, termasuk serangan udara hari ini oleh pesawat Angkatan Darat Nasional Libya (LNA) terhadap bandara Mitiga."

Serangan udara menutup satu-satunya bandara Tripoli yang berfungsi saat pertempuran berkobar di sekitar ibukota dan ribuan orang melarikan diri.

LNA yang dipimpin Haftar mengklaim serangan udara Senin terhadap bandara, dengan seorang juru bicara mengatakan serangan itu menargetkan pesawat militer MiG-23 dan sebuah helikopter.

Haftar melancarkan serangan ke Tripoli minggu lalu tepat ketika Guterres berada di Libya untuk mendorong kesepakatan politik dalam menyelenggarakan pemilihan umum.

Pemerintah persatuan yang didukung PBB mengendalikan ibukota, tetapi otoritasnya tidak diakui oleh pemerintahan paralel di timur negara itu.

Ketika pertempuran meningkat selama akhir pekan, PBB menyerukan jeda kemanusiaan untuk memungkinkan warga sipil yang terjebak dalam kekerasan untuk melarikan diri, tetapi permohonan itu tidak didengar.

Libya telah diguncang oleh perebutan kekuasaan dengan kekerasan antara sejumlah kelompok bersenjata sejak penggulingan diktator Muammar Gaddafi pada tahun 2011.

Komandan Oposisi Libya

Khalifa Haftar mengepalai Tentara Nasional Libya yang memproklamirkan diri (AFP Photo)
Khalifa Haftar mengepalai Tentara Nasional Libya yang memproklamirkan diri (AFP Photo)

Komandan oposisi Libya saat ini adalah Jenderal Khalifa Haftar, seorang mantan perwira militer. Ia membantu Kolonel Khadafi merebut kekuasaan pada tahun 1969 sebelum jatuh bersamanya dan pergi ke pengasingan di AS.

Dia kembali pada tahun 2011 setelah pemberontakan melawan Khadafi dimulai menjadi komandan pemberontak.

Pada 2014, Haftar sempat meluncurkan "Operation Dignity" untuk membersihan negara dari "teroris" milisi.

Tiga tahun kemudian Haftar mengatakan pasukannya telah merebut Benghazi setelah pertempuran yang sengit.

Pada Januari 2018, ia meluncurkan serangan ke Fezzan yang kaya minyak di barat daya Libya. LNA membuat kesepakatan dengan suku-suku lokal dan menyerbu wilayah itu tanpa perlawanan besar.

"Tujuan utama Haftar ketika ia pergi ke Fezzan adalah untuk mengambil Tripoli", kata Jalel Harchaoui, seorang peneliti di Clingendael Institute yang berbasis di Belanda.

"Anda tidak dapat memerintah Libya kecuali Anda mengendalikan Tripoli. Karena semua uang, misi diplomatik, dan sebagian besar penduduk ada di sana - semuanya terkonsentrasi di sana."

Kebangkitan mantan perwira militer berusia 75 tahun itu, termasuk kemajuan ladang minyak strategis dan kota-kota pelabuhan, telah didukung oleh negara-negara seperti Mesir dan Uni Emirat Arab . Dia telah menggambarkan dirinya sebagai satu-satunya solusi untuk ketidakstabilan Libya, tetapi banyak pihak di negara itu khawatir dia bisa mencoba untuk mengembalikan kekuasaan otoriter.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya