Liputan6.com, Kolombo - Organisasi kerja sama kepolisian dunia atau Interpol mengirim tim ke Sri Lanka untuk membantu otoritas setempat menyelidiki rangkaian teror bom beruntun yang menghantam gereja dan hotel di sana pada Minggu 21 April 2019.
Atas permintaan pihak berwenang Sri Lanka, Interpol mengirim Tim Tanggap Insiden (IRT) yang mencakup spesialis dengan keahlian olah TKP, bahan peledak, anti-terorisme, identifikasi dan analisis korban bencana.
Jika diperlukan, keahlian tambahan dalam forensik digital, biometrik, serta analisis foto dan video juga akan ditambahkan ke tim di lapangan.
Advertisement
Baca Juga
Interpol juga sudah melakukan pengecekan basis data internal mereka; Stolen and Lost Travel Documents, dan basis data lain untuk mengidentifikasi petunjuk potensial dan koneksi internasional.
Selain IRT, dukungan juga diberikan melalui Pusat Komando dan Koordinasi (CCC) 24 jam di markas Sekretariat Jenderal Interpol di Lyon, Prancis, dan kantor cabang di Singapura dan Buenos Aires, Argentina.
Untuk membantu mengidentifikasi warga negara asing di antara para korban, CCC juga dapat bertindak sebagai penghubung dengan Biro Pusat Nasional Interpol dari negara-negara yang terlibat untuk memastikan setiap data dipertukarkan secepat mungkin.
"Ketika pihak berwenang Sri Lanka menyelidiki serangan-serangan mengerikan ini, Interpol akan terus memberikan dukungan apa pun yang diperlukan," kata Sekretaris Jenderal Interpol, Jurgen Stock dalam laman resmi organisasi Interpol.int.
"Informasi untuk membantu mengidentifikasi orang-orang yang terkait dengan serangan-serangan ini dapat berasal dari Interpol terbukti sangat penting, terutama bagi petugas di lapangan."
"Keluarga dan teman-teman para korban pemboman ini, seperti halnya setiap serangan teroris, membutuhkan dan pantas mendapat dukungan penuh dari komunitas penegak hukum global," pungkas Kepala Interpol.
Otoritas AS Ambil Andil dalam Penyelidikan
Selain Interpol, Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) juga membantu otoritas Sri Lanka ketika mereka menyelidiki ledakan bom hari Minggu, menurut juru bicara FBI.
Dikatakan, FBI juga telah menawarkan keahlian laboratorium untuk menguji bukti bom, sementara analis meninjau database biro untuk informasi yang berguna, demikian seperti dikutip dari the Washington Post.
AS dan India Telah Peringatkan Ancaman Teror di Sri Lanka
Badan intelijen Amerika Serikat (AS) dan India telah memperingatkan pemerintah Sri Lanka tentang ancaman serangan segera, kata Harsha de Silva, Menteri Reformasi Ekonomi dan Distribusi Publik Sri Lanka.
Berbicara kepada presenter CNN, Christiane Amanpour pada Senin 22 April, de Silva mengatakan pemerintah Sri Lanka memang menerima informasi dari luar negeri bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
"Tetapi perdana menteri tidak tahu tentang kabar itu," kata de Silva, sebagaimana dikutip dari CNN pada Selasa (23/4/2019).
De Silva, sekutu Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, berpendapat bahwa "itu bukan kegagalan aparat intelijen", tetapi kegagalan dalam mengimplementasikan respons yang tepat.
Di lain pihak, pada Minggu sore, PM Wickremesinghe tidak menampik bahwa mungkin ada informasi sebelumnya tentang serangan itu.
Namun, dia mengatakan bahwa tidak semua diberi informasi (tentang intelijen), dan itu adalah salah satu masalah yang harus diperhatikan sekarang.
"Untuk saat ini prioritasnya adalah menangkap para pelaku teror," tambahnya.
Advertisement
Merusak Perdamaian Satu Dekade
Serangan teror pada hari Minggu itu merusak satu dekade perdamaian di Sri Lanka, pasca-berakhirnya perang saudara pada 2009 lalu.
Sejak negara itu memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1948, konflik sporadis telah meletus antara kelompok minoritas dan pemerintah.
Periode kekerasan yang paling merusak terjadi pada medio 1983 hingga 2009, dengan pertempuran besar-besaran antara pemberontak separatis Tamil dan militer setempat.
Meskipun Kolombo sebagian besar tetap bebas dari kekerasan sejak perang berakhir, namun tercatat beberapa ketegangan antara kelompok-kelompok Muslim dan mayoritas penganut Buddhis Sinhala.
Pada Maret 2018, keadaan darurat sempat diberlakukan di seluruh wilayah Sri Lanka untuk pertama kalinya sejak perang saudara.
Kebijakan itu ditetapkan berselang beberapa hari setelah insiden kekerasan antara komunitas Budha dan Muslim di pusat kota Kandy.
Kekerasan itu, yang dipicu oleh kematian seorang pemuda Budha Sinhala, yang diduga berada di tangan sekelompok pria Muslim, mengakibatkan kerusuhan dan aksi pembakaran terhadap sejumlah mmasjid dan usaha bisnis milik komunitas Muslim.