Bom Karbon Hasil Tes Nuklir Perang Dingin Ditemukan di Samudra Pasifik

Partikel bom karbon hasil dari tes nuklir Perang Dingin ditemukan di laut dalam Samudra Pasifik dengan bentuk yang berbeda

oleh Siti Khotimah diperbarui 14 Mei 2019, 13:29 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2019, 13:29 WIB
10 Negara Paling Aman Jika Perang Nuklir AS-Korut-Iran Meletus
Ilustrasi bom nuklir (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah bom karbon hasil dari tes nuklir Perang Dingin ditemukan di laut dalam Samudra Pasifik dengan bentuk yang berbeda. Karbon radioaktif itu telah dibawa oleh Crustacea.

Para peneliti baru-baru ini mengungkap adanya peningkatan kadar radiokarbon dalam amphipoda - makhluk tanpa cangkang seperti udang. Khususnya di Samudra Pasifik bagian barat, 11 kilometer di bawah permukaan, demikian sebagaimana dilansir dari Live Science pada Selasa (14/5/2019).

Menurut publikasi dalam jurnal Geophysical Research Letters, hal itu dapat terjadi karena amphipoda yang berada di zona dalam Samudra Pasifik memakan bahan organik yang membusuk. Dengan mengonsumsi sisa-sisa hewan yang terkena radioaktif dari tes nuklir Perang Dingin, secara otomatis tubuh amphipoda juga diresapi radiokarbon.

Menurut ilmuwan, ledakan bom nuklir pada 1950-an dan 1960-an yang dilakukan oleh negara adikuasa global telah memuntahkan neutron ke atmosfer. Partikel netral segera bereaksi dengan nitrogen serta karbon. Ketiganya kemudian membentuk karbon-14 dan masuk kembali ke laut dan dikonsumsi oleh para makhluk hidup di lautan.

Sebetulnya, karbon-14 secara alami terdapat di atmosfer dan pada beberapa jenis organisme hidup. Namun pada Perang Dingin, level radiokarbon naik drastis menjadi dua kali lipat.

Segera setelah ledakan nuklir pertama, karbon-14 dalam jumlah yang tinggi muncul pada hewan laut di dekat permukaan laut. Saat ini para peneliti telah meneliti di beberapa tempat yang lebih dalam misalnya Palung Mariana, Mussau, dan Britania Baru.

Amphipoda Laut Dalam Jadi Target Lebih Lama

Bakteri Pemakan Minyak
Ilustrasi Samudra Pasifik. (Foto University of East Anglia)

Para ilmuwan juga menemukan bahwa amphipoda laut dalam berukuran lebih besar dan berumur panjang daripada mereka yang lebih dekat dengan permukaan.

Amphipoda laut dalam dapat hidup hingga 10 tahun dan berukuran hampir 10 sentimeter. Sementara mereka yang berada di permukaan hidup kurang dari dua tahun dan tumbuh hanya dua sentimeter.

Dengan umur yang lebih panjang serta laju metabolisme yang rendah, amphipoda laut dalam menjadi target akumulasi karbon-14 dari waktu ke waktu.

Sebetulnya jika hanya mengandalkan kepada sirkulasi laut, membutuhkan waktu berabad-abad agar bom karbon dapat mencapai laut dalam.

Namun berkat rantai makanan di ekosistem maritim, bom karbon tiba di dasar laut jauh lebih cepat dari yang diperkirakan, menurut penulis utama studi Ning Wang, seorang ahli geokimia di Akademi Ilmu Pengetahuan China di Guangzhou.

 

Apa yang Bisa Dipelajari?

Pulau Baru di Samudra Pasifik
Drone yang dioperasikan oleh Woods Hole Sea Education Association (SEA) mengunjungi pulau vulkanik baru di negara kepulauan Pasifik Selatan, Tonga. Pulau baru ini lahir pada tahun 2015. (Dokumentasi SEA)

Studi ini menggarisbawahi bagaimana dampak dari tindakan manusia terhadap ekosistem laut. Tidak hanya laut dangkal dekat permukaan, namun juga makhluk hidup di tempat terdalam.

"Ada interaksi yang sangat kuat antara permukaan dan bagian bawah, dalam hal sistem biologis," kata penulis yang lain dalam penelitian itu, Weidong Sun, ahli geokimia di Akademi Ilmu Pengetahuan China di Qingdao, dalam pernyataannya.

"Aktivitas manusia dapat memengaruhi biosistem bahkan hingga 36.000 kaki, jadi kita perlu berhati-hati dengan perilaku kita di masa yang akan datang," kata Sun.

Memang, studi baru-baru ini juga menunjukkan bukti plastik di dalam perut hewan laut yang menghuni parit laut dalam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya