21-5-1792: Kolapsnya Puncak Gunung Unzen Memicu Tsunami 100 Meter, 15.000 Orang Tewas

Gunung Unzen di Jepang lekat dengan gambaran kematian. Sebagai lokasi eksekusi, juga akibat erupsinya.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 21 Mei 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 21 Mei 2019, 06:00 WIB
Erupsi Gunung Unzen di Jepang memicu tanah longsor dan tsunami yang menewaskan 15 ribu manusia (Public Domain)
Erupsi Gunung Unzen di Jepang memicu tanah longsor dan tsunami yang menewaskan 15 ribu manusia (Public Domain)

Liputan6.com, Jakarta - Gunung Unzen di Jepang lekat dengan gambaran kematian. Konon, mereka yang dianggap memberontak dilempar ke sumber air panasnya yang menggelegak. Dengan eksekusi semacam itu para korban akan menemui ajal dengan cara menyakitkan.

Namun, peristiwa yang tak kalah horor terjadi pada 21 Mei 1792. Kala itu, erupsi Unzen memicu kolapsnya salah satu puncaknya, Mayuyama, kubah lava berusia 4.000 tahun yang menjulang di atas Kota Shimabara.

Longsoran material menerjang kota, dan kemudian tumpah ke Laut Ariake, memicu tsunami yang kabarnya mencapai tinggi 100 meter.

Dengan ketinggian tersebut, ombak raksasa itu dianggap sebagai megatsunami. Gelombang gergasi menerjang dan menghancurkan apapun yang ia lewati, memicu kematian dalam jumlah masif.

Pertama, ombak raksasa melanda Provinsi Higo lalu memantul kembali ke Shimabara.

Seperti dikutip dari situs jpninfo.com, dampak erupsi Gunung Unzen menewaskan 15 ribu manusia -- sekitar 5.000 orang tewas akibat tanah longsor, 5.000 lainnya oleh tsunami di Provinsi Higo dan 5.000 korban meninggal akibat tsunami di Shimabara.

Itu adalah erupsi gunung paling mematikan di Jepang. Saking dahsyatnya, bekas longsor puncak Mayuyama masih terlihat hingga hari ini.

"Erupsi pada 1792 menjadi pengingat bagi orang-orang Jepang tentang betapa tidak pastinya Bumi," demikian dikutip dari situs Encyclopedia Britannica.

Hampir 200 tahun kemudian, pada 1990, Gunung Unzen mulai bangkit. Antara 1991 dan 1994, para ilmuwan mencatat sekitar 10.000 aliran piroklastik di sisi Unzen, beberapa di antaranya menempuh jarak hingga 5,5 kilometer dari kubah.

Pada musim panas 1993, gelombang abu dan gas panas ini telah menghancurkan lebih dari 2.000 bangunan di Kota Shimabara, yang terletak di bawah gunung berapi.

Erupsi terakhir Gunung Unzen di Jepang dilaporkan terjadi pada 1995.

Ancaman dari Kubah yang Kolaps

Citra Gunung Unzen di Jepang yang erupsi dahsyat pada 21 Mei 1792 (NASA/JPL)
Citra Gunung Unzen di Jepang yang erupsi dahsyat pada 21 Mei 1792 (NASA/JPL)

Sejumlah erupsi gunung berapi paling merusak dalam sejarah dikaitkan dengan kubah vulkanik yang kolaps.

Untuk memastikan keselamatan publik, pemerintah Jepang terus bekerja keras untuk meningkatkan sistem peringatan bencana dan rencana evakuasi.

Namun, kubah vulkanik, yang terbentuk ketika magma keluar dari lubang kawah dan menumpuk menjadi bentuk roti muffin, sering kali tidak mengirimkan sinyal apapun sebelum kolaps tiba-tiba. 

Apalagi, secara geologis, kubah sering kali terbentuk dengan cepat. Kubah di Gunung St. Helens di Pasifik Barat Laut AS, misalnya, tumbuh dari tinggi 16 kaki dan diameter 82 kaki setinggi 164 kaki dan diameter 606 kaki hanya dalam 24 jam.

Kini, para ilmuwan mengeksplorasi penggunaan data satelit untuk memantau kubah vulkanik, yang dapat mengarah pada deteksi dini perubahan dalam strukturnya.

"Biasanya, setelah erupsi besar, kubah berkembang dan bertindak seperti gabus sumbat," kata Michael Ramsey, Assistant Professor of Geology and Director of the Image Visualization and Infrared Spectroscopy Laboratory di University of Pittsburgh seperti dikutip dari earthobservatory.nasa.gov.

"Terkadang kubahnya mendingin dan itulah akhirnya. Namun, sering kali, kubah terus tumbuh dan menekan hingga runtuh dan menghasilkan aliran piroklastik dan aliran lumpur yang sangat berbahaya."

Bangkitnya Gunung Unzen menghasilkan kubah lava baru di puncaknya. "Itu adalah skenario terburuk, di mana kubah itu tumbuh di atas kawah dan menggantung ke samping," kata Ramsey. "Ketika kubah terus tumbuh, ia menjadi lebih tidak stabil. Bagian depan bisa runtuh dan menghasilkan aliran piroklastik besar yang menyebabkan kerusakan pada permukiman dan pertanian di bawahnya. Kemudian kubah akan membangun kembali dirinya sendiri dan mengulangi seluruh proses tersebut."

Menurut Ramsey, aliran piroklastik adalah yang paling ganas dari letusan gunung berapi. Bisa mencapai kecepatan hingga 400 kilometer per jam dan dapat menyebar sejauh 100 kilometer dari titik erupsi.

Pada tahun 1902, 29.000 orang terbunuh ketika aliran piroklastik menghancurkan kota Martinique di St. Pierre.

Aliran piroklastik juga berpotensi melepaskan lahar yang mematikan, atau aliran lumpur, selama hujan badai yang hebat. Antara Agustus 1992 dan Juli 1993, lahar dari Gunung Unzen merusak sekitar 1.300 rumah di sepanjang Sungai Mizunashi dan Nakao, yang membutuhkan evakuasi mendadak beberapa ribu penduduk.

Sensor satelit terbaru NASA, Advanced Spaceborne Thermal Emission dan Reflection Radiometer (ASTER), memiliki kemampuan unik yang membuatnya ideal untuk memantau kubah vulkanik, kata Ramsey.

Diluncurkan di atas satelit Terra pada bulan Desember 1999, instrumen ASTER menangkap gambar dengan resolusi spasial yang berkisar antara 15 hingga 90 meter.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya