Pekerja Wanita di Jepang Tolak Kewajiban Pakai Sepatu Hak Tinggi di Kantor

Kampanye di media sosial, yang menolak kewajiban bagi wanita memakai sepatu hak tinggi, viral di Jepang.

diperbarui 06 Jun 2019, 08:00 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2019, 08:00 WIB
Ilustrasi high heels
Ilustrasi high heels. Sumber foto: unsplash.com/Cleo Vermij.

Tokyo - Tanda pagar atau tagar #KuToo sedang menjadi topik perbincangan utama bagi warganet di Negeri Sakura. Ini adalah sebuah kampanye yang digagas oleh Yumi Ishikawa, aktris Jepang yang dengan berani mengajukan petisi daring ke kementerian kesehatan negara itu pada Senin, 3 Juni 2019.

Ishikawa meluncurkan gerakan tersebut setelah ceritanya tentang sepatu hak tinggi viral di media sosial. Dalam kisahnya, wanita yang juga berprofesi sebagai penulis kelahiran Jepang ini menyebut, dia dipaksa memakai high heels untuk suatu pekerjaan paruh waktu pada acara kedukaan.

"Setelah bekerja, semua mengganti sepatunya dengan sepatu olahraga atau flat shoes," tulisnya dalam petisi itu, yang dikutip dari DW, Rabu (5/6/2019). Dia menambahkan, sepatu high heels dapat menyebabkan kaki lecet dan gangguan-gangguan lain pada telapak kaki wanita.

Dalam beberapa jam saja, hampir 20.000 perempuan telah menandatangani petisi Ishikawa yang menuntut agar pemerintah Jepang melarang perusahaan mewajibkan karyawan wanitanya mengenakan sepatu hak tinggi di tempat kerja.

Diskriminasi Gender

20151028-Ilustrasi-High-Heels
Ilustrasi sepatu medium Heels atau sepatu hak tinggi medium (iStockphoto)

"Sulit untuk bergerak bebas, Anda tidak bisa berlari dan kaki Anda sakit. Semua itu karena sopan santun," tulis Yumi Ishikawa. Dia mengatakan bahwa pria tidak menghadapi tuntutan serupa di tempat kerjanya.

Dalam beberapa dekade terakhir, kelompok bisnis yang dulu, misalnya, diharuskan untuk mengenakan dasi, sudah punya kelonggaran dan tidak perlu berdasi lagi sejak ada kampanye "cool biz" tahun 2005 -- yang didukung oleh pemerintah Jepang.

Kampanye itu tadinya bertujuan untuk mendorong perusahaan agar menurunkan air conditioner (AC) dan menghemat penggunaan listrik. Sekarang, banyak pelaku usaha dan pejabat setempat tidak memakai dasi di tempat kerja.

Menurut Ishikawa, petisi online gagasannya adalah upaya untuk mengakhiri diskriminasi gender dan "membuat lebih mudah bagi semua orang untuk bekerja, serta menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari beban yang tidak penting."

Kementerian kesehatan mengatakan sedang meninjau petisi buatan Ishikawa dan menolak berkomentar lebih lanjut.

Bukan Pertama Kali

20151028-Ilustrasi-High-Heels
Ilustrasi Sepatu (iStockphoto)

Ini bukan pertama kalinya perusahaan-perusahaan Jepang dikritik agar memikirkan kembali tata cara berpakaian yang mereka wajibkan, baik melalui aturan tertulis atau tidak.

Pada tahun 2005, pemerintah Jepang mendorong perusahaan untuk mengurangi penggunaan listrik dengan mematikan AC di gedung perkantoran. Setelah itu, standar selama puluhan tahun bagi pria untuk mengenakan dasi mulai berubah.

Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan Jepang makin lantang mengecam kurangnya kemajuan dalam mengatasi seksisme di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta.

Bahkan dalam sebuah kasus Agustus 2018, terungkap bahwa Universitas Kedokteran Tokyo telah memalsukan hasil ujian masuk perempuan, agar kandidat pria bisa diutamakan.

Di Inggris, pembalap Nicola Thorp tahun 2016 pernah meluncurkan petisi serupa setelah dia dipulangkan dari kantor karena menolak mengenakan sepatu hak tinggi.

Penyelidikan parlemen terhadap aturan berpakaian kemudian menemukan adanya diskriminasi di tempat kerja. Tetapi pemerintah Inggris menolak membuat undang-undang yang melarang perusahaan mewajibkan perempuan memakai sepatu hak tinggi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya