Liputan6.com, Doha - Menteri Luar Negeri Qatar baru-baru ini menuduh Arab Saudi sebagai sebuah kekuatan yang menciptakan gangguan di Timur Tengah dan Afrika.
Mengutip laman The Guardian dikutip Senin (10/6/2019), Qatar menuduh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mengganggu gerakan rakyat di Sudan, Libya, dan Somalia.
Menlu Qatar, Mohammed bin Abdulrahman al-Thani juga melihat perseturuan antara Doha dan Riyadh selama dua tahun terakhir telah memicu perselisihan lain di berbagai wilayah. Hal itu telah menyebabkan ketegangan bilateral sulit untuk diselesaikan.
Advertisement
Baca Juga
Sebagaimana diketahui, Arab Saudi dan sekutu regional terdekatnya: Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir, telah meluncurkan boikot ekonomi dan politik kepada Qatar yang kaya gas sejak dua tahun lalu. Hal itu disebabkan karena adanya keberatan terhadap kebijakan luar negeri Qatar, termasuk dugaan dukungan terhadap Ikhwanul Muslimin (IM).
Menlu al-Thani mengakui perselisihan itu telah meluas di seluruh wilayah, menyebut Libya dan Somalia sebagai dua negara di mana Saudi telah bertekad untuk memasang rezim yang simpatik kepada pihaknya.
"Qatar telah menjadi target dari banyaknya upaya, terutama yang dipimpin oleh Arab Saudi dan UEA untuk menjelekkan kita," kata Thani.
"Beberapa negara, terutama yang membutuhkan dukungan Saudi dan UEA, bahkan telah diperas untuk mengikuti kebijakan yang sama terhadap Qatar. Hal ini menciptakan banyak ketidakstabilan di Horn of Africa (Afrika Timur Laut) dan daerah sub-Sahara. Terutama fokusnya adalah Afrika, tetapi ada upaya di tempat lain. Afrika menjadi fokus karena banyak negara membutuhkan bantuan dan dukungan," lanjut sang diplomat senior.
Saudi Mendekati Banyak Negara di Timur Tengah
Menlu Qatar menambahkan, Arab Saudi dan sekutu telah mencoba mendekati banyak pihak di Timur Tengah. "Di beberapa tempat mereka berhasil hingga tingkat tertentu, beberapa berhasil 100 persen dan beberapa gagal," katanya.
Adapun terkait citra Arab Saudi dan UEA sebagai benteng stabilitas dan kekuatan melawan terorisme, Thani menantang definisi mereka terkait hal itu.
"Setiap negara yang tidak dipimpin oleh seorang otoriter, mereka melihat sebagai teroris," katanya. "Seorang teroris bisa termasuk siapa saja yang tidak setuju dengan mereka."
Sang menlu Qatar menambahkan, kebijakan luar negeri Saudi dalam tiga tahun terakhir telah menyebabkan "tidak ada yang positif" di Libanon, Libya atau Yaman .
Tanpa secara langsung menuduh militer Sudan berada di bawah instruksi Riyadh, Thani mengatakan "pembantaian brutal" telah terjadi di negara itu minggu lalu, menggambarkan Sudan sebagai hal penting bagi seluruh wilayah.
Di Somalia, pemerintah menjadi sasaran pemerasan Saudi, kata Thani, setelah menolak memutuskan hubungan dengan Qatar.
Advertisement
Emir Qatar Akan Bertemu Donald Trump
Emir Qatar akan bertemu dengan Donald Trump di Washington DC pada bulan depan. Keduanya disinyalir akan memperbincangkan perselisihan Doha-Riyadh dan bagaiaman hal itu dapat menyebar ke negara-negara lain.
Sebagaimana diketahui, Trump dekat dengan kepemimpinan Saudi, tetapi Kongres AS menekan pemerintahannya untuk lebih kritis terhadap kebijakan luar negeri Saudi.
Menteri luar negeri Thani menambahkan bahwa Qatar bersedia untuk bergabung dengan kelompok mediator yang berusaha mencegah konflik antara Iran dan AS, tetapi mengatakan dia yakin Iran tidak akan duduk dengan AS sampai sanksi ekonomi dicabut.
"Jika tidak ada pihak yang mau melakukan eskalasi lebih lanjut, kedua belah pihak perlu mengajukan beberapa ide untuk membuka pintu. Kita harus aktif mengadvokasikan itu," kata Thani.
Qatar bagaimanapun tidak setuju dengan kebijakan Trump terhadap Iran, tetapi putus asa untuk menghindari konfrontasi antara keduanya yang dikhawatirkan akan menjadi ancaman eksistensial ke wilayah tersebut.
Thani juga mengatakan Qatar bersedia mendukung rencana apapun untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina, tetapi hanya jika memiliki persetujuan Palestina.