Hacker dari China Serang Aplikasi Telegram Demonstran Hong Kong?

Aplikasi telegram yang banyak digunakan oleh pengunjuk rasa Hong Kong dikabarkan diserang oleh peretas dari China.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 14 Jun 2019, 11:46 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2019, 11:46 WIB
Protes RUU Ekstradisi, Warga Hong Kong Blokir Akses ke Parlemen
Pengunjuk rasa berkumpul di luar gedung parlemen di Hong Kong, Rabu (12/6/2019). Ribuan pengunjuk rasa memblokir pintu masuk ke kantor pusat pemerintah Hong Kong untuk memprotes RUU Ekstradisi. (AP Photo/Vincent Yu)

Liputan6.com, Hong Kong - Aplikasi olah pesan terenkripsi yang digunakan oleh para pengunjuk rasa --yang menentang RUU ekstradisi-- dikabarkan menjadi target serangan siber besar-besaran dari China pada hari Rabu, ketika demonstran berkumpul di luar markas pemerintah Hong Kong.

Pavel Durov, pendiri Telegram, mengatakan dalam sebuah twit pada Kamis pagi bahwa serangan penolakan layanan (DDoS), yang terdistribusi secara kuat, dialami perusahaan tersebut sepanjang hari Rabu.

Dikutip dari South China Morning Post pada Jumat (14/6/2019), sebagian besar serangan dieksekusi dari alamat IP di China.

Serangan DDoS menyebabkan server Telegram kelebihan beban, yang mengakibatkan masalah koneksi untuk pengguna tertentu, mayoritas di Asia Timur, termasuk Hong Kong.

"Alamat IP serangan sebagian besar berasal dari China. Secara historis, semua DDoS berukuran aktor negara yang kami alami bertepatan dengan protes di Hong Kong," tulis Durov.

Menurut firma analisis data aplikasi, App Annie, Telegram telah menjadi salah satu aplikasi yang paling banyak diunduh di Hong Kong pekan ini, di mana bertepatan dengan protes skala besar oleh ratusan ribu penentang RUU ekstradisi yang kontroversial.

Kekhawatiran Terhadap RUU Ekstradisi

Bentrokan Pecah Saat Aksi Demo Tolak RUU Ekstradisi di Hong Kong
Pengunjuk rasa menghindari gas air mata yang ditembakan oleh polisi anti huru hara di luar gedung Dewan Legislatif, Hong Kong, Rabu (12/6/2019). Polisi Hong Kong telah menggunakan gas air mata ke arah ribuan demonstran yang menentang RUU ekstradisi yang sangat kontroversial. (AP Photo/Vincent Yu)

RUU ekstradisi, jika disahkan, akan memungkinkan transfer buron dengan yurisdiksi Hong Kong yang dikenal tidak berbagi hak terkait, termasuk dengan China daratan sekalipun.

Para kritikus khawatir RUU tersebut akan membuat tersangka tidak akan mendapat jaminan pengadilan yang adil.

Usulan itu memicu aksi protes besar pada Minggu 9 Juni, yang dihadiri oleh lebih dari satu juta orang, menurut penyelenggara, dan 240.000 pada puncaknya, menurut polisi.

Pada hari Rabu, puluhan ribu pengunjuk rasa menduduki jalan-jalan di luar markas besar legislatif dan pemerintahan Hong Kong, di mana kemudian berujung bentrok dengan polisi, menyebabkan setidaknya 81 orang terluka.

Sementara aksi protes pada hari Rabu tampaknya tidak memiliki pemimpin, Telegram telah digunakan oleh para pengunjuk rasa untuk mengoordinasikan tindakan, mengedarkan permintaan antar kelompok untuk pasokan tambahan seperti peralatan pelindung dan peralatan P3K.

Beberapa dari kelompok ini memiliki puluhan ribu anggota di Telegram.

Pendapat dari Sudut Pandang Lain

Ilustrasi bendera Hong Kong (AFP Photo)
Ilustrasi bendera Hong Kong (AFP Photo)

Spesialis keamanan informasi yang berbasis di Hong Kong, Young Wo-sang, percaya bahwa waktu terjadingan serangan siber itu mungkin bertujuan untuk mengganggu komunikasi di kalangan pengunjuk rasa.

"Saya menyarankan pengguna memiliki beberapa opsi cadangan untuk komunikasi," katanya.

Anggota parlemen Hong Kong pada sektor teknologi informasi, Charles Mok, mengatakan klaim Durov tampaknya masuk akal, tetapi ia tidak dapat membenarkannya.

"Selama protes, saya tidak merasa Telegram sepenuhnya lambat," katanya, menambahkan bahwa koneksi internet seluler seringkali terhambat jika ada terlalu banyak pengguna berkumpul bersamaan.

Mok menyarankan pengguna media sosial dapat lebih melindungi akun mereka dengan menggunakan verifikasi dua langkah.

"Saya mendapat pemberitahuan tentang seseorang yang mencoba masuk ke akun Telegram saya dua kali dalam beberapa pekan terakhir," katanya.

"Karena perlu verifikasi, peretasan itu gagal, dan akun saya pun menjadi lebih aman," lanjutnya. 

 

Kemungkinan Serangan Tidak Hanya Terjadi di Hong Kong

Bendera Hong Kong dan China berkibar berdampingan (AFP)
Bendera Hong Kong dan China berkibar berdampingan (AFP)

Pada Rabu sore, akun Twitter resmi Telegram mengatakan bahwa mereka telah mengalami serangan siber kuat, yang memengaruhi pengguna di Amerika dan Asia.

Pengumuman tersebut juga mengatakan bahwa pengguna di beberapa negara lain mungkin mengalami masalah koneksi.

"Bisa jadi serangan itu tidak khusus untuk Hong Kong saja, tetapi mencakup banyak tempat lain," kata Mok.

Meskipun ada persepsi umum bahwa Telegram adalah aplikasi pengiriman pesan yang aman, hanya pesan rahasia --dan bukan obrolan grup-- yang dienkripsi secara default, artinya komunikasi dapat dengan mudah dicegat oleh peretas.

Sementara itu, pada Selasa malam, Ivan Ip, administrator sebuah kelompok Telegram dengan 10.000 hingga 30.000 anggota, ditangkap karena konspirasi untuk melakukan gangguan publik, setelah polisi menggerebek rumahnya.

Dasar dari tuduhan terhadap Ip, yang berusia 20-an, adalah bahwa ia bersekongkol dengan orang lain untuk mengepung Kompleks Dewan Legislatif Hong Kong, dan memblokir jalan-jalan di sekitarnya.

Ip, yang kemudian dibebaskan dengan jaminan, diminta untuk melapor ke polisi pada bulan September.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya