Liputan6.com, Wina - Diplomat Amerika Serikat menuduh tindakan Iran yang terang-terangan melanggar pakta nuklir multilateral sebagai "upaya memeras komunitas internasional."
Sebelumnya, pada Minggu 7 Juli 2019, Iran mengumumkan akan meningkatkan pengayaan uranium (bahan baku nuklir) hingga di atas 3,67 persen.
Prosentase itu merupakan ambang batas yang ditetapkan JCPOA (Joint Comprehensiver Plan of Action) --sebuah kesepakatan multilateral tahun 2015 yang dirancang untuk menekan ambisi nuklir Negeri Persia.
Advertisement
Baca Juga
Pengumuman itu datang 60 hari setelah Teheran menetapkan tenggat waktu kepada negara penandatangan JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) yang tersisa --China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris-- untuk berunding guna meringankan Iran dari sanksi Amerika Serikat. Namun, tak satupun negara penandatangan memenuhi kemauan Teheran.
AS keluar dari JCPOA pada 2018 dengan menuduh Iran telah melanggar pakta. Sejak itu, Amerika secara efektif memberlakukan kembali sanksi kepada Iran.
Tindakan AS menuai kemarahan dari Teheran. Mereka membantah telah melanggar JCPOA dan menuduh bahwa Washington sengaja ingin menggoyahkan pakta tersebut.
Iran juga berencana untuk terus meningkatkan pengayaan uranium, hingga negara penandatanganan tersisa atau Amerika Serikat bersedia bernegosiasi.
Kata Diplomat AS
Wakil Tetap AS untuk Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Jackie Wolcott mengatakan bahwa pengumuman Iran untuk meningkatkan pengayaan uranium melebihi ambang batas yang ditetapkan JCPOA tidak dapat dibenarkan.
Ia menuduh Iran melakukan "upaya yang jelas dan nyata untuk memeras komunitas internasional," demikian seperti dikutip dari BBC, Kamis (11/7/2019).
"Postur nuklir Iran jelas ditujukan untuk meningkatkan eskalasi ketimbang meredakannya," tambah Wolcott yang mendesak agar Negeri Persia menghentikan pengayaan uraniumnya.
Wolcott menambahkan bahwa AS bersedia untuk bernegosiasi dengan Iran yang didasari tanpa prasyarat.
"AS telah dengan jelas menyatakan keterbukaannya untuk bernegosiasi, namun tanpa prasyarat. Kami menawarkan Iran kemungkinan untuk menormalisasi hubungan secara penuh," tambahnya.
Tanggapan Iran
Di sisi lain, Iran menjustifikasi tindakannya untuk meningkatkan pengayaan uranium melebih ambang batas yang ditetapkan JCPOA.
Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan bahwa tindakan negaranya "sah" berdasarkan JCPOA, di mana memungkinkan satu pihak untuk "berhenti berkomitmen ... pada sebagian atau seluruh klausul" ketika pihak penandatangan lain "tak memberikan performa signifikan" --ujarnya Zarif yang mereferensi penarikan diri AS dari pakta nuklir tersebut.
Pengumuman Iran menandai pelanggaran terbaru terhadap JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), yang diteken pada 2015 oleh Negara P5 Dewan Keamanan PBB, Uni Eropa, Jerman, dan Iran.
Pada bulan Mei 2019, Iran meningkatkan pengayaan uranium, menjadikan totalnya lebih banyak daripada yang diizinkan berdasarkan ketentuan kesepakatan.
Namun Iran membantah keras bahwa mereka berniat membangun senjata nuklir dan berdalih bahwa uranium yang diperkaya akan dipakai untuk memberikan tenaga pada pembangkit listrik tenaga nuklir mereka di Bushehr.
Komunitas internasional, terutama negara Barat, tak percaya bantahan Iran dan terus berupaya meredam ambisi nuklir Negeri Persia melalui negosiasi JCPOA.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang negaranya merupakan salah satu penandatangan, bersedia untuk "memulai pembicaraan" mengenai prasyarat perundingan demi menurunkan ketegangan terkait pakta itu. Belum jelas bagaimana perundingan itu akan terlaksana.
Advertisement
Sekilas JCPOA
Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau "Iran nuclear deal", merupakan pakta kesepakatan yang dibentuk pada 2015, antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa.
Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.
Namun, AS mengundurkan diri dari JCPOA pada 8 Mei 2018, sebuah langkah yang amat disayangkan oleh seluruh penandatangan dan dikecam keras oleh Iran. Usai keluar, Washington pun segera menetapkan sanksi terhadap Negeri Para Mullah.
Kisruh seputar pakta itu selama setahun terakhir telah menjadi salah satu faktor penyulut eskalasi tensi hubungan antara Iran - AS dan Iran dengan negara Barat lainnya, serta menuai kekhawatiran akan konflik diplomatik hingga geo-politik.