Liputan6.com, Jakarta - Farzad Hussaini menolak ajakan kami untuk makan siang bersama. Dan, meski saat itu cuaca Jakarta sedang terik, pengungsi asal Afghanistan itu tak mau banyak minum. Air mineral botolan di tangannya hanya sesekali diteguk, sedikit demi sedikit, sekedar membasahi bibir.
"Aku sudah makan tadi," kata dia dalam Bahasa Inggris yang tak terlalu lancar kepada Liputan6.com, Selasa 9 Juli 2019. "Bukannya tak ingin. Tapi kalau aku sering makan dan minum, aku akan sering ke toilet. Padahal, kalau ke toilet harus bayar. Uangku tak untuk dihambur-hamburkan hanya untuk ke toilet."
Advertisement
Baca Juga
Sebisa mungkin, Farzad menghindari toilet. Sekali masuk harus bayar Rp 5.000. Mandi, pipis, atau ke kakus sama tarifnya. Itu terlalu mahal buat kantongnya yang nyaris kering kerontang. Maksimum ia dua kali ke toilet dalam sehari. Tidak boleh lebih!
Sesekali, pemuda kurus itu membawa pakaiannya yang kotor ke toilet. 'Sambil menyelam minum air', sambil mandi ia menumpang cuci baju. Farzad hanya punya sekitar lima helai pakaian, atasan dan celana pemberian yang sudah kusam.
Farzad bukan tipe orang yang banyak omong. Ia hanya bicara ketika ditanya. Namun, kami menangkap kegetiran hidup pemuda 21 tahun itu, dari raut wajahnya yang murung dan suaranya yang kerap bergetar.
Saat lari dari Afghanistan, tatkala usianya baru 17 tahun, Farzad tak pernah mengira bakal menggelandang di negeri orang. Sudah empat tahun ia di Indonesia, sejak November 2015, dengan status yang menggantung.
Ia berstatus pengungsi, terdaftar di badan PBB yang mengurusi pengungsi atau UNHCR, namun tak segera ditempatkan di negara penerima (resettlement countries).
Dan, karena statusnya sebagai pengungsi, ia tidak boleh bekerja di Indonesia. Awalnya, Farzad hidup bergantung dari bekal uang yang dibawanya dari kampung halaman. Jumlahnya entah berapa, tapi setidaknya cukup untuk menyewa kos-kosan sederhana di Bogor dan membiayai hidupnya.
Seirit apapun ia berusaha, uang itu akhirnya habis di tahun ketiga. Sejak awal 2018, pemuda itu hidup beratap tenda terpal di Kalideres, bersama para pengungsi dan pencari suaka senasib.
Tak tahan lagi, sekitar 400 pengungsi akhirnya pindah ke trotoar di depan gedung di mana UNHCR berkantor di Kebon Sirih, Jakarta. Sebagai bentuk protes. Tenda didirikan jelang malam, pada siang hari, kebanyakan dari mereka beratap langit.
Di sana, hidup para pengungsi juga bergantung pada uluran tangan warga, yang memberikan uang, minuman, pakaian pantas pakai, atau nasi bungkus.
Meski melarat, Farzad mengaku, kehidupannya di Indonesia lebih baik daripada di kampung halamannya di Distrik Nawur, Ghazni. Paling tidak di sini ia masih bisa makan. Sementara di Afghanistan, ia tak tahu apakah besok nyawanya masih menyatu dengan raga.
Darah kerap tumpah di wilayah asalnya, hingga kini. Farzad menerima kabar bahwa pada Minggu 7 Juli 2019 serangan bom mobil terjadi di Ghazni, 14 orang tewas termasuk anak-anak. Taliban jadi biang keladinya.
"Serangan seperti itu kerap terjadi di Ghazni, kampung halaman saya, sejak lama," kata dia. "Mereka (Taliban) juga melakukan pembersihan etnis, melakukan genosida."
Farzad berasal dari etnis Hazara, yang berasal dari Pegunungan Hazarajat atau Hazaristan, Afghanistan tengah, termasuk di Provinsi Ghazni. Jumlah mereka sekitar 9 persen dari total populasi Afghanistan, demikian menurut World Factbook Badan Intelijen AS (CIA) pada 2018. Mayoritas dari etnis Hazara adalah penganut Syiah.
Namun, tak cuma Taliban yang bikin ulah. "Negara kami selalu dilanda perang. Taliban, Al Qaeda, ISIS, koalisi NATO ...mereka membawa banyak luka dan kerugian bagi masyarakat. Kami tidak bisa bersekolah dan tidak bisa bekerja," kata dia.
Itu mengapa, anak kedua dari tiga bersaudara itu lari. Tak ada masa depan di sana. Dengan berat hati, ia meninggalkan ayah dan ibunya yang sudah sepuh dalam penjagaan dua saudara perempuannya.
Harapannya, ia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara penerima. Kalau sudah sukses, pemuda itu berniat memboyong seluruh keluarganya.
Namun, sebuah berita duka menghancurkan hatinya. Sang ayah telah berpulang. Farzad mendengar kabar lelayu itu dari keluarga yang meneleponnya pada 2018 lalu. Kala itu ia berada di tendanya di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres.
Farzad tak mungkin pulang untuk mengantar sang ayah ke pemakaman. Padahal, ia anak laki-laki satu-satunya.
Hingga kini, Farzad tak tahu bagaimana nasibnya kelak. Para pengungsi telah direlokasi ke eks-Kodim Jakarta Barat pada Kamis 11 Juli 2019. Di sana, mereka menghadapi penolakan sebagian warga, dan harus kembali menunggu. Entah sampai kapan...
Saksikan video terkait pengungsi berikut ini:
Rute Pengungsi
Seperti para pengungsi lain, Farzad Hussaini ke Indonesia secara ilegal. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, ia adalah tumpuan keluarga. Itu mengapa sang ayah rela mengorbankan banyak harta untuk membiayai kepergiannya.
Mayoritas diberikan pada perantara. Dalam hal ini penyelundup (smuggler). "Dan semuanya dilakukan ilegal. Saya datang tanpa paspor. Tapi semua dokumen disediakan oleh penyelundup itu," kata dia.
Farzad mengaku tak pernah tahu bagaimana cara kerja para penyelundup. Semua serba misterius. Yang jelas, di setiap titik transit, ia selalu bertemu anggota komplotan mereka.
Titik keberangkatan awal Farzad untuk keluar dari Afghanistan adalah Ibu Kota Kabul. Ia terbang dari sana menggunakan pesawat komersial.
"Dari Kabul, saya mendarat di New Delhi, India. Saat di sana, saya tak punya tiket dan dokumen, tapi sudah disiapkan oleh si penyelundup. Lalu saya menunggu konfirmasi dari penyelundup yang berbeda."
Hingga akhirnya, ia mendapat kabar bakal kembali terbang. "Tujuannya ke Kuala Lumpur, Malaysia, setelah menunggu sekitar 1 sampai 2 pekan," kata dia.
Dari ibu kota Negeri Jiran, ia kemudian diterbangkan ke Jakarta, Indonesia. "Saya tiba pada November 2015. Sesampainya di sini, saya langsung mendaftar ke UNHCR Jakarta untuk mendapatkan status dan kartu pengungsi internasional."
Setelah itu, kepastian tak jua ia dapatkan. Pengungsi lain, ia hanya mau dipanggil Ali, bahkan sudah enam tahun menanti. Ia juga datang dari Afghanistan. Dengan latar belakang wilayah dan etnis yang sama dengan Farzad Hussaini.
"Sudah lama sekali di Indonesia, sampai-sampai saya bisa berbahasa kalian," kata dia. Menurut pria 30-an tahun itu, tak susah belajar Bahasa Indonesia. Tak perlu kursus, cukup mendengar dan coba-coba.
Ali mengaku tak tahu kenapa ia tak segera ditempatkan di negara penerima. "Kami semua tidak tahu. Keputusan ada di UNHCR."
Sama dengan pengungsi lain, pria bertubuh jangkung itu tak punya pilihan. "Kalau saya punya uang, mungkin saya tidak akan berkemah di sini," kata dia, menatap tenda-tenda di atas trotoar di Jalan Kebon Sirih.
Jumlah Pengungsi di Indonesia
Berdasarkan data terbaru UNHCR awal 2019, setidaknya 13.997 pengungsi internasional dari 43 negara tengah berada di Indonesia.
Angka itu relatif menurun jika dibandingkan pada tahun 2017 - 2018 yang berjumlah sekitar 14.300 orang.
Berdasarkan kebangsaan, mayoritas pengungsi atau pencari suaka internasional di Indonesia berasal dari Afghanistan (7.000 - 8.000), Somalia (1.446), Rohingya Myanmar (954 - 1.000), Irak (sekitar 950), Nigeria (752), Sri Lanka (543) dan lain-lain (2.460 - 2.500), demikian menurut data dari Dirjen Keimigrasian Kemenkumham awal 2018.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Keimigrasian Kemenkumham RI, tren taraf angka belasan ribu meningkat sejak 2010. Kala itu, pengungsi internasional di Indonesia hanya berkisar 2.882 orang.
Angka itu kemudian menanjak hingga ke level belasan ribu. Konflik dan perang sporadis di penjuru dunia (Irak, Suriah, Sudan, Sudan Selatan, Somalia, dan lain-lain) memicu peningkatan angka tersebut, bahkan secara global, jelas UNHCR dalam laporan per-2018.
Jumlah pengungsi atau pencari suaka yang transit di Indonesia relatif kecil jika dibanding dengan negara lain di dunia.
Turki misalnya, menampung sekitar 3,7 juta pengungsi, mayoritas mereka terdampak oleh konflik di Irak dan Suriah --menurut data UNHCR per 2018.
Pengungsi dari Suriah sendiri adalah yang terbanyak di dunia, sekitar 6,7 juta orang.
Sementara itu, Pakistan, yang bertetangga dengan Afghanistan, tengah menjadi negara transit bagi 1,4 juta pengungsi. Mayoritas adalah pelarian dari Afghanistan yang berkecamuk oleh konflik sporadis dengan Taliban. Pengungsi Afghanistan adalah kedua terbanyak di dunia, sekitar 2,7 juta orang.
Advertisement
Ramai-Ramai Menolak Pengungsi
Bagi para pengungsi, tak masalah mereka ditempatkan di negara manapun. Asalkan bisa mendapat penghidupan yang layak. Namun, UNHCR mengaku kesulitan mendapatkan negara penerima (resettlement).
Masalahnya, negara-negara dengan status itu mengurangi kuota jumlah pengungsi dan pencari suaka yang bisa masuk. Syaratnya pun makin ketat.
Kuota tersebut tak sebanding dengan meningkatnya angka orang yang tercerabut dari tempat tinggalnya (displaced persons) akibat konflik, perang, dan persekusi.
UNHCR mencatat, pada 2016, penempatan pencari suaka di negara resettlement mencapai angka 163.206 orang. Angka itu menunjukkan ketimpangan tajam jika dibandingkan dengan jumlah pengungsi global.
Sementara pada tahun 2018, UNHCR mencatat bahwa angka penempatan pengungsi hanya mencapai 92.400 orang ke 25 negara. Padahal, pihak penandatangan Konvensi PBB 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol PBB 1967 untuk perihal yang sama, berjumlah 142 negara.
Australia adalah salah satu negara yang menetapkan pengetatan kuota penerima pencari suaka.
Sejak 2014, Australia sudah tak lagi menerima permohonan suaka yang diajukan oleh pengungsi yang transit di Indonesia.
Canberra beralasan, penutupan program penerimaan pengungsi yang terdaftar di UNHCR Indonesia, "dirancang untuk mengurangi arus pergerakan pencari suaka (untuk transit) ke Indonesia dengan menempuh perjalanan yang berbahaya, serta mendorong mereka untuk mencari suaka di negara tempat pertama mereka mengungsi," demikian keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com dari Juru Bicara Kedutaan Australia di Jakarta, Ian Gerard.
Amerika Serikat bahkan mempertimbangkan untuk menutup total program penerimaan pengungsi mereka pada 2020 mendatang, demikian dilaporkan The Hill, mengutip narasumber yang memahami informasi tersebut.
Tetapi, sumber berbeda dari Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) mengatakan bahwa rencana alternatif yang dimaksud adalah dengan mengurangi lagi kuota hingga berkisar 3.000-10.000 dari batas penerimaan saat ini.
Pada masa jabatan kepresidenan Donald Trump, AS telah menurunkan kuota penerimaan pengungsi menjadi sekitar 30.000 - 45.000, sepertiga lebih rendah dari era Presiden Barack Obama.
Data Kementerian Luar Negeri RI juga menunjukkan korelasi dengan tren pengetatan kuota tersebut. Secara keseluruhan, angka penerimaan resettlement bagi para pengungsi atau pencari suaka yang transit di Indonesia terus mengalami penurunan sejak 2016.
Pada 2016, ada 1.271 pengungsi yang transit di Indonesia telah menerima resettlement ke negara lain. Angka itu menurun hampir separuhnya pada tahun 2017 (763 orang) dan terus berkurang pada 2018 (509 orang).
Tertahan di Negara Transit
Kepala Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Thomas Vargas, membenarkan polemik global tersebut, dan menyebutnya sebagai salah satu alasan membludaknya angka pengungsi atau pencari suaka yang tertahan di negara-negara transit, seperti di Indonesia, atau pada kasus yang lebih parah, Turki.
"Kami selalu menganjurkan negara-negara (resettlement yang menandantangani Konvensi dan Protokol PBB) untuk memberikan kesempatan kepada pencari suaka yang sangat membutuhkan, terutama mereka yang rentan dan membutuhkan perlindungan," kata Vargas di Jakarta, Rabu 17 Juli 2019.
Namun Vargas menggarisbawahi bahwa penetapan kuota serta syarat-syarat penerimaan yang ditetapkan oleh negara resettlement, termasuk yang bersifat ketat, adalah hak kedaulatan negara masing-masing.
"Negara-negara itu, semua tergantung dari mereka, dari pemerintah mereka, untuk menentukan kebijakan yang mereka miliki," jelas Vargas.
"Tetapi UNHCR akan terus membantu mereka mencari tempat yang aman untuk tinggal... kami mendorong semua pemerintah (penandatangan Konvensi dan Protokol PBB) untuk memberi kesempatan bagi pengungsi, karena penting artinya bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan," tambahnya.
Selain polemik global terkait pembatasan kuota dan pengetatan yang diterapkan oleh negara resettlement, UNHCR juga mengakui bahwa ada kendala terkait masalah pendanaan operasional mereka, secara keseluruhan maupun di negara transit.
"Pendanaan yang dimiliki UNHCR sekarang baru sekitar 29 persen dari anggaran yang kami rancang. Itu kurang dari setengahnya," kata Vargas.
Padahal, saat ini terjadi krisis pencari suaka global di seluruh dunia yang membutuhkan penanganan. "Jelas, kebutuhan mereka melebihi sumber daya yang ada," kata Vargas.
Dalam konteks Indonesia Thomas Vargas mengatakan, "Masih banyak sumbangan yang kami butuhkan."
Ia menambahkan, prioritas penanganan UNHCR Indonesia saat ini hanya kepada 300 hingga 400 pencari suaka, terutama mereka yang paling rentan dan paling membutuhkan.
"Kami masih terus melobi pemerintah seluruh dunia untuk berkontribusi, menunjukkan solidaritasnya, dan tanggung jawab untuk mengurus pengungsi," lanjut Vargas.
Oleh karenanya, solusi berupa kesempatan untuk menafkahi diri sendiri selagi menetap temporer di negara transit, adalah salah satu opsi yang "efektif dan sustainable," jelas pejabat UNHCR itu.
Secara global di tahun 2018, UNHCR mencatat terdapat kekurangan pendanaan yang mencapai sekitar US$ 3,5 juta, dari total kebutuhan pendanaan sebesar US$ 8,2 juta.
Hal itu berdampak pada kemampuan UNHCR serta badan lain seperti IOM (Badan PBB Urusan Migrasi) terkait penanganan pengungsi di negara-negara yang seharusnya dibantu organisasi internasional terkait.
IOM turut memiliki peran dalam persoalan pengungsi. Badan PBB itu membantu koleganya, UNHCR, dalam menyediakan penampungan sementara bagi pengungsi terdaftar di negara transit selagi menunggu suaka. IOM juga bekerjasama dengan UNHCR dalam program assisted voluntary repatriation (pemulangan ke negara asal secara sukarela).
Di Indonesia, UNHCR dan IOM mengalami kendala terkait menurunnya komitmen pendanaan dari negara-negara donor. Sebagai contoh, keputusan Australia untuk menghentikan dukungan pendanaan bagi pengungsi atau pencari suaka yang mendaftarkan diri setelah tanggal 15 Maret 2018, demikian menurut Kemlu RI dalam keterangan tertulis.
Alasan Australia Menutup Pintu
Pihak Australia mengaku punya alasan untuk menghentikan program penerimaan pengungsi dan pencari suaka, yang mendaftar di UNHCR Indonesia pada atau setelah 1 Juli 2014. Sudah lima tahun pintu ke Negeri Kanguru ditutup untuk mereka.
"Langkah ini dirancang untuk mengurangi pergerakan pencari suaka ke Indonesia melalui perjalanan berbahaya dan mendorong mereka untuk mencari pemukiman kembali di negara-negara tujuan pertama pengungsi," kata Juru Bicara Kedutaan Australia di Jakarta, Ian Gerard, dalam keterangan tertulis kepada Liputan6.com.
"Australia telah bekerja dengan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi aliran pencari suaka yang mengarus ke wilayah tersebut, serta untuk mencegah perjalanan berbahaya menggunakan kapal ilegal."
Meski menutup pintu bagi pengungsi atau pencari suaka yang terdaftar di UNHCR Indonesia, Pemerintah Australia telah meningkatkan kapasitas program kemanusiaan (Australia's Humanitarian Program) terkait penerimaan pengungsi, dari 13.750 orang menjadi 18.750 pada tahun 2018-2019 dan selama tiga tahun ke depan.
Jumlah 18.750 adalah yang terbesar dalam sejarah Australia dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun.
Pemerintah Australia juga mengaku memberikan pendanaan untuk Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), untuk memberikan dukungan dasar kepada sejumlah besar pengungsi yang terdaftar di UNHCR di Indonesia.
"Setiap orang yang terdaftar di UNHCR akan terus dapat mengakses informasi dan dukungan melalui program Pengembalian Sukarela Terencana di bawah IOM untuk meninggalkan Indonesia," lanjut Gerard.
"Australia tetap berkomitmen untuk memukimkan kembali pengungsi secara teratur dari luar negeri, menyeimbangkan program kemanusiaan yang dirancang dengan hati-hati sesuai prinsip keamanan perbatasan."
"Tapi, jalur laut ilegal ke Australia ditutup, dan akan tetap ditutup. Tidak seorang pun yang melakukan perjalanan dengan kapal ilegal ke Australia akan diizinkan untuk masuk atau menetap di Australia," tambah Gerard.
Gerard mengakui, kerumitan masalah pengungsi. Itu mengapa Canberra bekerja sama dengan komunitas Australia dan mitra internasional, termasuk UNHCR, untuk menemukan solusi soal nasib para pengungsi yang terlantar.
Berikut penjabaran Australia's Humanitarian Program terkait pengungsi:
(1) Menyediakan penempatan (resettlement) permanen bagi mereka yang paling membutuhkan, dalam situasi putus asa di luar negeri, termasuk di kamp-kamp pengungsi dan situasi pengungsi yang berlarut-larut;
(2) Menyatukan kembali para pengungsi dan orang-orang yang berada dalam 'situasi seperti pengungsi' (refugee-like situations) dari luar negeri dengan keluarga mereka;
(3) Fleksibel dan responsif terhadap perubahan kebutuhan resettlement global dan situasi kemanusiaan yang muncul di negara-negara sumber;
(4) Menggunakan kebijakan resettlement secara strategis untuk membantu menstabilkan populasi pengungsi, mengurangi kemungkinan perpindahan tidak teratur (irregular movement) dari negara-negara sumber dan negara-negara suaka pertama, dan mendukung perlindungan internasional yang lebih luas.
"Prioritas untuk program kemanusiaan Australia diberikan kepada orang-orang di luar negara asalnya, yang telah dikaji sebagai pengungsi oleh UNHCR dan mengajukan permohonan ke Australia untuk resettlement, dan pemohon yang diusulkan oleh keluarga dekat di Australia," jelas Gerard.
"Semua pemohon untuk visa Australia harus memenuhi persyaratan hukum terkait pemberian visa seperti kesehatan, karakter, dan pemeriksaan keamanan nasional."
Advertisement
Jangan Alihkan Beban ke Indonesia
Indonesia bukan negara penerima suaka (resettlement), sebagaimana diatur berdasarkan mandat Konvensi dan Protokol PBB Mengenai Status Pengungsi. Kita tidak bisa membiarkan para pengungsi menetap secara permanen.
Namun, penduduk negeri ini dianggap ramah pada pengungsi. Setidaknya, itu yang dikatakan Massoome (27), imigran asal Afghanistan. Perempuan tersebut mengaku, warga Jakarta telah memperlakukan keluarganya dengan cukup baik.
"Orang-orang Indonesia baik. Mereka sering memberi kita makanan dan uang saat lewat," cerita dia kepada Liputan6.com. Pun dengan sejumlah pengungsi Rohingya yang dibolehkan tinggal.
Bahkan, sejak 30 tahun lalu, negara ini telah menerima ratusan ribu 'manusia perahu' dari Vietnam Selatan. Selama beberapa dekade para pengungsi tinggal di Pulau Galang maupun Tanjung Pinang.
Sejak 1970-an, Pemerintah Indonesia terus mempertahankan tradisinya untuk menghargai prinsip kemanusiaan dan non-refoulement perihal pengungsi atau pencari suaka yang datang ke Tanah Air. Non-refoulement adalah prinsip kemanusiaan fundamental untuk tidak mengusir atau memaksa para pengungsi dan pencari suaka kembali ke negara asal.
Meski demikian, kita tak boleh membiarkan nasib mereka terkatung-katung. Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib meminta agar negara peratifikasi Konvensi dan Protokol PBB Mengenai Status Pengungsi untuk terus berkomitmen penuh terhadap kewajiban mereka sebagai negara resettlement.
Ia memahami bahwa kebijakan resettlement, dengan berbagai hambatan dan kendalanya, adalah keputusan internal suatu negara.
Namun, Habib menyarankan bahwa setiap kendala seharusnya bisa diselesaikan bersama antara negara resettlement, negara transit, dan badan PBB terkait, seperti UNHCR atau IOM (Badan PBB Urusan Migrasi).
"Penyelesaian isu pengungsi atau pencari suaka dengan opsi resettlement pada masa-masa ini jauh lebih menantang. Faktor utamanya, komitmen negara-negara resettlement tradisional sudah berkurang untuk menampung," kata Habib, kepada Liputan6.com, Kamis 11 Juli 2019.
"Karena alasan nasionalisme, proteksionisme, membuat mereka mengubah kebijakannya. Belum lagi sentimen domestik di negara resettlement. Amerika contohnya, memiliki kebijakan-kebijakan baru (untuk isu tersebut)," tambah Habib.
Habib juga mengatakan bahwa negara resettlement kunci, seperti Amerika, Australia dan anggota Uni Eropa, telah menggeser upaya penyelesaian isu pengungsi dengan memperkuat kapasitas negara transit. Opsi itu, kata Habib, adalah sebuah usaha yang justru bertujuan untuk memindahkan beban mereka ke negara transit.
"Negara resettlement mengatakan dalam forum-forum internasional, menawarkan opsi untuk memperkuat negara-negara transit, sehingga mereka (pengungsi atau pencari suaka) tidak berpikir lagi untuk (pergi) ke negara ketiga (resettlement)," jelasnya.
"Ini burden shifting, menggeser beban mereka ke kita (negara transit). Dan tren-nya sedang seperti itu."
Indonesia, kata Habib, telah memainkan perannya dengan maksimal --bahkan melebih kapasitasnya sebagai negara non-peratifikasi Konvensi dan Protokol PBB Mengenai Status Pengungsi. Salah satu contoh adalah dengan mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) No 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.
Secara garis besar, Perpres 125 mengatur bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa membantu pengungsi di areanya dan berkoordinasi dengan UNHCR untuk menemukan masalah dan mencari solusi bagi pengungsi.
Peran Indonesia juga diperluas dengan berbicara kepada negara resettlement, agar mereka, bersama-sama dengan RI, mampu menemukan solusi kolektif dalam tataran global.
"Untuk negara-negara penerima suaka (resettlement countries), Indonesia tidak kenal lelah, baik dalam forum multilateral, regional, dan, bilateral, untuk mengingatkan kepada mereka: yuk, kita ada tantangan, ada masalah, pengungsinya banyak, ayo kita selesaikan bersama," jelas Habib.
"Kami selalu katakan kepada negara tradisional resettlement, tolong dipikirkan bahwa Anda punya kewajiban dalam konvensi."
Alasan Pengungsi Tak Bisa Kerja
Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib mengatakan, ketiadaan regulasi ketenagakerjaan untuk pengungsi dan pencari suaka di negara transit seperti Indonesia, membuat mereka kesulitan bekerja, khususnya di sektor formal.
"Kita tidak punya regulasinya. Ketiadaan nomenklatur soal itu akan berbenturan dengan aturan ketenagakerjaan, termasuk ketentuan pengupahan dan pemenuhan hak-hak pekerja," kata dia.
"Namun yang paling utama, kita ingin menjaga adanya keseimbangan sosial, sehingga, tidak timbul persepsi 'mengapa pemerintah memberi mereka (pengungsi) pekerjaan', sementara buat warga sendiri, kita masih berjuang," tambahnya.
Tetapi, Indonesia terbuka untuk berkoordinasi dengan UNHCR atau organisasi mitra lain untuk "membantu dalam kapasitas sementara, selagi mereka menunggu pada penyelesaian resettlement atau solusi terbaik lainnya, seperti pemulangan sukarela (voluntary repatriation)," jelas Habib.
Memanusiakan Para Pengungsi
Pengungsi butuh makanan dan tempat tinggal. Tapi, itu saja tak cukup. Bagaimana pun mereka manusia yang mendambakan kepastian masa depan.
Pengungsi asal Ethiopia, Sharmake Abdi tinggal di sebuah penampungan (community housing) yang disediakan oleh IOM. Kehidupannya jauh lebih baik daripada mereka yang tinggal beratap tenda,
"Anak saya juga dibolehkan bersekolah di sini. Saya senang," kata perempuan 23 tahun itu.
Berbicara kepada Liputan6.com di Tangerang pada 15 Juli 2019, staf IOM Indonesia Mia Tri Fitriani mengatakan, setidaknya ada 38 anak pengungsi bersekolah di SD negeri yang berlokasi cukup dekat dengan community housing tersebut.
Pemerintah Daerah Tangerang memberikan lampu untuk memenuhi hak pendidikan sejumlah anak-anak pengungsi sejak Agustus 2018.
Pemenuhan hak pendidikan, kata Mia, meringankan beban tak hanya bagi anak pengungsi, namun juga para orangtua.
"Secara perkembangan, mereka pastinya lebih baik dibanding anak pengungsi lain yang belum bisa bersekolah. Mereka bisa bersosialisasi dengan yang lain," ujar Mia.
"Dari sisi orangtua, mereka punya banyak masalah. Mereka datang dari negaranya yang sedang konflik atau perang. Datang ke sini dengan masa depan yang belum pasti. Tingkat stresnya bisa jauh lebih berkurang saat anak-anaknya bisa bersekolah," lanjutnya.
Ia menambahkan, salah satu faktor pemicu stres paling besar, selagi mereka menunggu penempatan, adalah melihat anak-anaknya tidak bisa bersekolah," tambah perempuan yang berlatar pendidikan sebagai psikolog tersebut.
Mia menambahkan, sejumlah pengungsi dan pencari suaka yang mereka ko-sponsori dengan UNHCR, telah 'memberikan sumbangsih' kepada komunitas lokal yang menjadi tempat 'community housing' mereka.
Mia memberi contoh, misalnya di community housing IOM di Medang, Tangerang, Banten. Pengungsi yang tinggal di sana "telah hidup berdampingan secara harmonis dengan warga lokal."
"Hubungan para pengungsi dengan warga lokal sangat baik sekali. Warga lokal menerima kehadiran mereka. Para pengungsi juga sadar dengan tanggung jawab mereka ketika berada di sekitar orang lokal," jelas Mia.
"Beberapa dari pengungsi mau berkontribusi dengan warga lokal di sini. Mereka sukarela mengajar di PAUD lokal, mengajar bahasa Inggris, hingga kerajinan tangan."
Kepala Perwakilan UNHCR Indonesia, Thomas Vargas mengatakan bahwa pihaknya senantiasa membujuk dan berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia dalam hal penyediaan kesempatan agar para pengungsi mampu berdikari, selagi mereka transit.
Ia menekankan, "sangat penting bagi para pencari suaka agar difasilitasi untuk memiliki kemampuan guna mengurus diri mereka sendiri, di mana pun mereka saat ini untuk sementara."
Keterbatasan dana UNHCR adalah satu faktor yang mendorong perlunya inisiatif tersebut. Namun, Vargas menekankan alasan lain.
"Agar mereka tidak perlu bergantung pada sedekah dari orang lain (selama di negara transit). Karena hal tersebut tidak berkelanjutan," jelasnya.
"Pada dasarnya, pengungsi sama seperti orang lain pada umumnya. Mereka butuh keahlian dan kemampuan yang (jika diberdayakan) bermanfaat untuk mengurus dirinya sendiri," kata Vargas.
"Bahkan, sejumlah di antaranya sudah ada yang memiliki hal demikian."
Liputan6.com sempat bertemu dan berbincang seorang pengungsi dari Aleppo, Suriah. Pria yang tak ingin disebut namanya itu mengaku, di kampung halamannya, ia adalah seorang pengrajin dan pegiat mode.
Namun, karena kondisi dan keterbatasan yang ia alami selama transit di Indonesia, keahliannya itu sulit untuk disalurkan. "Saya desainer sepatu di Aleppo. Saya menjual apapun yang saya punya agar bisa lari dan ke Indonesia," kata dia.
Pemuda itu berharap, kelak, di negara tujuan, ia bisa menggunakan kemampuannya untuk menghasilkan uang.
Advertisement
Opsi Kembali ke Kampung Halaman
Ketika para pengungsi memilih bertahan, dengan kondisi memprihatinkan sekalipun di negeri orang, Pemerintah Afghanistan mengundang mereka pulang. Skema pemulangan sukarela (voluntary repatriation) ditawarkan.
"Ketika kembali ke negara asal, ada paket khusus untuk mereka. Ada program pelatihan untuk mereka. Ada program kerja untuk mereka. Ada program alokasi lahan atau rumah," kata Pelaksana Tugas Duta Besar Afghanistan (Charge d’Affaires), Zalmai Wafamal kepada Liputan6.com.
Wafamal mengatakan, pihaknya memiliki kerja sama dan berkoordinasi erat dengan IOM. Terutama dalam hal bantuan pemulangan sukarela (assisted voluntary repatriation).
Pengungsi Afghanistan atau pencari suaka yang ingin secara sukarela kembali ke Afghanistan, mereka akan didaftarkan ke kedutaan melalui IOM.
Kemudian, kedutaan akan mengurus soal prosedur, dokumen dan segala hal yang berkaitan. Kedutaan juga menerbitkan dokumen perjalanan repatriasi, berkoordinasi dengan IOM.
"Kami juga memberi tahu otoritas di tanah air terkait mereka yang kembali," tambah dia. Pemberitahuan diberikan soal jumlah, termasuk nomor penerbangan -- yang tiketnya diberikan secara cuma-cuma.
"Jadi ketika sampai bandara, akan dijemput, dan dipulangkan ke alamat mereka di Afghanistan. Semua dilakukan dengan cara bermartabat."
Para pengungsi, kata Wafamal, akan mendapatkan bantuan berupa uang, barang-barang kebutuhan pokok, termasuk makanan.
Kemudian, mereka akan didaftarkan untuk mengembangkan pelatihan, pengembangan keterampilan khusus, pendidikan untut dapat peluang kerja. Dan tahap selanjutnya, mereka bisa dapat lahan atau rumah gratis.
Wafamal menambahkan, ada sekitar 7.000 hingga 8.000 pengungsi dan pencari suaka asal Afghanistan di Indonesia.
"Selama mengungsi atau menjadi pencari suaka yang transit di Indonesia, mereka di bawah kewenangan UNHCR atau IOM," kata dia.
Wafamal mengakui, konflik menahun di negaranya adalah penyebab utama warga Afghanistan melarikan diri ke luar negeri. Namun, pemerintah telah berusaha sebaik mungkin untuk menghadirkan perdamaian di negara mereka, termasuk duduk bersama dengan Taliban.
"Kami mencoba agar para pengungsi memahami bahwa upaya perdamaian tengah dilakukan di Afghanistan. Kami berbicara dengan pemerintah Indonesia, UNHCR, dan IOM bahwa opsi repatriasi adalah mungkin," kata Wafamal. Ia membantah, Taliban menyerang etnis tertentu dan melakukan genosida.
Kedutaan Afghanistan di Jakarta mencatat bahwa pada 2018, mereka telah membantu pemulangan sukarela sekitar 110 eks pengungsi atau pencari suaka Afghanistan yang transit di Indonesia. Sementara tahun ini, per Juli 2019, kedutaan telah memulangkan sekitar 76 orang.
"Tren tahun ini berubah baik, banyak orang yang sukarela pulang ke Afghanistan," kata Wafamal.
Pulang -- sebenarnya itu yang dirindukan Farzad Hussaini. Tapi ada syaratnya: damai kembali ke Afghanistan.
"Karena yang kami butuhkan adalah perdamaian," kata dia. "Tapi jika harus kembali dengan kondisi (konflik bersenjata) seperti itu, saya tak mau."