Benarkah Belajar Bahasa Asing Bisa Bikin Kita Terhindar dari Demensia?

Apakah benar jika bisa berbahasa ganda, berpengaruh pada menurunnya risiko demensia? Ini penjelasannya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 25 Jul 2019, 20:10 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2019, 20:10 WIB
Menjadi orang yang disukai (5)
Ilustrasi pembicaraan orang yang seperti saling bercermin (mirroring). (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, New York - Anda mungkin pernah mendengar bahwa belajar bahasa lain adalah salah satu metode untuk mencegah, atau setidaknya menunda timbulnya demensia.

Secara umum, demensia dapat dipahami sebagai kondisi hilangnya kemampuan kognitif, demikian sebagaimana dikutip dari Time.com pada Kamis (25/7/2019).

Pada saat ini, penyebab demensia tidak dipahami dengan baik, dan akibatnya, tidak ada langkah nyata yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.

Meskipun demikian, beberapa peneliti telah memperkirakan bahwa belajar bahasa asing dapat membantu menunda timbulnya demensia.

Untuk menjelajahi kemungkinan ini lebih dalam, mari kita lihat beberapa kesalahpahaman umum tentang demensia dan otak yang menua.

Pertama-tama, demensia bukan bagian yang tak terhindarkan dari proses penuaan normal.

Kebanyakan orang dewasa yang lebih tua tidak terserang penyakit Alzheimer atau bentuk lain dari demensia.

Penting juga untuk diingat bahwa demensia tidak sama dengan kelupaan normal.

Pada usia berapa pun, kita mungkin mengalami kesulitan menemukan kata persis yang kita inginkan, atau mengalami kesulitan mengingat nama orang yang baru saja kita temui.

Penderita demensia memiliki masalah yang lebih serius, seperti merasa bingung atau tersesat di tempat yang biasa dia datangi.

Contoh sederhananya adalah: Jika Anda lupa di mana Anda memarkir mobil di mal, itu normal, namun jika Anda lupa cara menyetir, itu mungkin merupakan sinyal bahwa sesuatu yang lebih serius sedang terjadi.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Perbandingan Otak vs Otot

Ilustrasi Otak
Ilustrasi Otak (iStockPhoto)

Muncul gagasan bahwa demensia dapat dicegah didasarkan pada perbandingan otak dengan otot.

Ketika orang berbicara tentang otak, mereka kadang-kadang mengatakan hal-hal seperti "Penting untuk melatih otak Anda" atau "Agar tetap bugar secara mental, Anda harus memberikan latihan pada otak Anda".

Meskipun ini adalah analogi yang berwarna-warni, pada kenyataannya otak bukanlah otot. Otak selalu aktif bekerja, bahkan selama periode istirahat dan tidur.

Selain itu, meskipun beberapa sel otot memiliki umur hanya beberapa hari, sel-sel otak bertahan seumur hidup, dan akan selalu ada sel-sel baru yang tercipta sepanjang usia seseroang.

Dewasa ini, banyak aplikasi komputer, online, dan perangkat seluler yang mengklaim dapat "melatih otak manusia", dan mereka biasanya memanfaatkan berbagai kemampuan kognitif.

Namun, penelitian menunjukkan bahwa meskipun jenis pelatihan ini dapat meningkatkan kemampuan seseorang pada tugas tertentu, mereka tampaknya tidak menjadikan kemampuan lain bertambah.

Dengan kata lain, mempraktekkan tugas pendeteksian pesan --dari waktu ke waktu-- hanya meningkatkan tujuan terkait, tapi tidak mendorong naiknya kemampuan persepsi.

Perumpamaan sederhananya, memecahkan teka-teki silang akan membuat seseorang menjadi pemecah teka-teki silang yang lebih baik.


Menelaah Bukti Lain

Ilustrasi Otak
Ilustrasi Otak (iStockPhoto)

Bukti terbaik bahwa pembelajaran bahasa asing memberi manfaat kognitif berasal dari penelitian dengan mereka yang sudah bilingual, sebutan untuk penutur aktif lebih dari satu bahasa.

Bilingualisme paling umum terjadi ketika anak-anak dihadapkan pada kondisi dwi bahasa, baik di rumah ataupun jenjang awal sekolah. Jika dilakukan dalam intensitas tinggi, kondisi ini bisa bertahan hingga masa dedewasa.

Bilingualisme dan multibahasa sebenarnya fenomena lebih umum dari yang banyak orang kira. Bahkan, telah diperkirakan bahwa ada lebih sedikit penutur tunggal di dunia daripada bilingual.

Untuk satu hal, penutur dua bahasa mengungguli monolingual pada tes perhatian selektif dan multitasking.

Penelitian oleh psikolog Ellen Bialystok dan rekan-rekannya terhadap 184 orang, menunjukkan monolingual dalam sampel memiliki usia rata-rata saat usia 71,4 tahun.

Sebaliknya, penutur dwi bahasa menerima diagnosis yang sama pada usia 75,5 tahun. Dalam studi semacam ini, perbedaan empat tahun sangat signifikan, dan tidak bisa dijelaskan lebih lanjut dengan perbedaan sistematis lainnya antara kedua kelompok.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya