Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, pada 29 Agustus 2019 waktu lokal, mengatakan telah menerima restu dari Pemimpin Monarki Britania Raya Ratu Elizabeth II, terkait keputusannya untuk membekukan/menunda sementara kerja Parlemen (prorogued).
Restu Ratu, meskipun bersifat formalitas, adalah sebuah hak prerogatif pemimpin monarki dalam sistem parlementer Inggris.
Namun, muncul diskusi di kalangan politikus Britania yang berusaha melakukan peninjauan kembali atas keputusan itu di tataran parlementer, dengan menyusun argumen bahwa apa yang diusulkan oleh perdana menteri adalah "ilegal, inkonstitusional, serta membatasi kedaulatan parlemen," BBC melaporkan, dikutip pada Jumat (30/8/2019).
Advertisement
Baca Juga
Sebelumnya, pada 28 Agustus 2019, PM Johnson mengumumkan penangguhan Parlemen Inggris.
Keputusan itu menuai pro-kontra, karena dilakukan menjelang batas akhir negosiasi Brexit antara Inggris dengan Uni Eropa (UE) --yang berarti anggota parlemen memiliki lebih sedikit waktu untuk menegosiasikan kesepakatan berkenaan keluarnya Britania Raya dari organisasi negara-negara Eropa daratan itu.
Parlemen akan ditangguhkan selama lima minggu terhitung sejak 3 September. Legislator akan kembali bekerja pada 14 Oktober, dua setengah minggu sebelum Inggris meninggalkan UE.
Waktu yang tersisa bagi Inggris untuk bernegosiasi dengan Uni Eropa semakin menipis, di mana pada 31 Oktober nanti London dijadwalkan akan meninggalkan UE.
Simak video pilihan berikut:
Pro-Kontra
Kelompok yang mendukung keputusan Johnson untuk menangguhkan parlemen beranggapan bahwa hal tersebut mampu mempercepat proses Brexit --yang telah berlarut secara keseluruhan.
Namun, pihak kontra, terutama politikus yang ingin Inggris tetap berada di UE menyebut keputusan itu sebagai 'kudeta'.
Dengan waktu yang begitu singkat, para anggota parlemen akan kesulitan menghentikan Inggris meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan atau no-deal Brexit.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Inggris, John Bercow, menyebut penangguhan itu sebagai "kemarahan konstitusional" yang dirancang untuk mencegah anggota parlemen dari perdebatan Brexit.
Advertisement
Oposisi Ingin Memblokade Rencana PM, Termasuk Mosi
Sementara itu, pemimpin Labor Party yang beroposisi di Parlemen, Jeremy Corbyn mengatakan: "Parlemen yang ditangguhkan tidak dapat diterima. Apa yang dilakukan perdana menteri adalah menghancurkan dan mengambil demokrasi kita untuk memaksa melalui kesepakatan."
Dia menambahkan, ketika parlemen kembali bekerja usai reses musim gugur pada Selasa pekan depan (3/9), "Hal pertama yang akan kita lakukan adalah mencoba undang-undang untuk mencegah apa yang (PM) lakukan", diikuti oleh mosi tidak percaya "pada titik tertentu."