Bahas Pengayaan Nuklir, Kepala IAEA PBB Akan Menemui Pejabat Iran

Kepala pengawas nuklir PBB akan bertemu dengan para pejabat Iran.

oleh Afra Augesti diperbarui 07 Sep 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2019, 15:00 WIB
Ilustrasi nuklir Iran
Ilustrasi nuklir Iran (AFP)

Liputan6.com, Teheran - Kepala pengawas nuklir PBB atau Badan Energi Atom Internasional (IAEA), akan melakukan perjalanan ke Iran akhir pekan ini untuk bertemu para pejabat tinggi di Teheran.

IAEA mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Jumat, 6 September 2019, Direktur Jenderal Cornel Feruta akan melawat pada hari ini (waktu setempat) guna bertemu dan berdiskusi dengan para petinggi di negara tersebut pada Minggu, 8 September 2019.

"Kunjungan itu adalah bagian dari interaksi yang sedang berlangsung antara IAEA dan Iran," tulis pernyataan itu, seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (7/9/2019).

IAEA menambahkan, perjumpaan tersebut termasuk untuk memverifikasi dan memantau terkait pengayaan nuklir Iran di bawah JCPOA atau perjanjian nuklir Iran.

Feruta melaporkan pada pekan lalu bahwa stok pengayaan uranium Iran telah melampaui batas yang ditentukan oleh pakta (JCPOA).

Selain itu, Iran dikhawatirkan akan terus memperkaya uranium mereka pada tingkat kemurnian yang lebih tinggi dari yang ditetapkan.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Iran Minta Bantuan RI Dorong Pakta Nuklir Multilateral Kembali Efektif

Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, bertemu Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI (Liputan6.com/Rizki Akbar Hasan)
Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, bertemu Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2019). (Liputan6.com/Rizki Akbar Hasan)

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif meminta Indonesia mendorong negara-negara penandatangan pakta limitasi nuklir Iran untuk kembali mematuhi perjanjian tersebut. Hal itu disampaikannya dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Jakarta, Jumat 6 September.

Menimpali, Indonesia menyatakan keinginan agar pakta tersebut bisa kembali berjalan "secara penuh dan efektif."

Permintaan itu datang di tengah eskalasi perihal Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan limitasi untuk mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir --yang ditandatangani oleh Iran bersama Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, China, Jerman dan Uni Eropa pada 2015.  

Awal ketegangan dipicu oleh langkah Amerika Serikat --selaku salah satu penandatangan-- yang menarik diri dari pakta tersebut pada pertengahan 2018.

Menjustifikasi langkah unilateralnya, AS menuduh bahwa Iran telah melanggar sejumlah klausul dalam JCPOA, seperti: menambah produksi uranium yang diperkaya (enriched uranium, bahan baku nuklir) hingga melewati persentase limitasi yang ditentukan pakta (ambang batas limitasi maksimum adalah 3,67), hingga tuduhan mensponsori terorisme dan kelompok bersenjata di sejumlah wilayah konflik di Timur Tengah.

Sebagaimana diatur dalam JCPOA, kepatuhan Iran dibalas dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan --di mana masing-masing dari mereka pernah memberlakukan sanksi ekonomi sebelum adanya pakta yang diteken pada 2015.

Namun, ketika AS keluar pada 2018, Washington DC kembali menerapkan dan menambah sejumlah sanksi baru kepada Iran.

Teheran mengecam langkah AS, sekaligus membantah segala tuduhan dari DC bahwa mereka telah melanggar JCPOA. Negeri Persia juga menuding bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump "mencari-cari alasan" agar bisa kembali menjatuhkan sanksi kepada Iran, sekaligus melemahkan perekonomiannya.

Menyikapi keluarnya AS dari JCPOA,  Iran mengumumkan akan melakukan pengayaan uranium bertahap hingga melewati ambang batas 3,67. Pada Juli 2019, Iran menetapkan target peningkatan sampai 5 persen (bahkan lebih) jika AS tidak kembali ke perjanjian hingga tenggat waktu 60 hari yakni pada September 2019.

Tak ingin perjanjian itu hancur, Prancis dan Uni Eropa telah mengadakan sejumlah pembicaraan diplomatik dengan Iran untuk mengkaji ulang klausul JCPOA serta membantu Teheran meringankan dampak sanksi yang diberikan AS. Iran pun proaktif dan terbuka dalam melakukan langkah-langkah diplomasi tersebut.

Negeri Persia juga menekankan bahwa diplomasi masih menjadi pilihan, asalkan sanksi Amerika Serikat terhadap Iran dicabut dan DC kembali menjadi bagian dari JCPOA.

Sementara itu, Presiden Trump menyatakan kesediannya untuk berunding dengan Iran terkait JCPOA, namun, menyatakan ketidaksukaan atas langkah Teheran yang kembali melakukan pengayaan uranium bertahap --menganggapnya sebagai bentuk pemerasan.

Badan Atom PBB Benarkan Pengayaan Nuklir Iran Lampaui Batas

Presiden Iran Hassan Rouhani sedang meninjau program pengembangan nuklir negaranya (AFP Photo)
Presiden Iran Hassan Rouhani sedang meninjau program pengembangan nuklir negaranya (AFP Photo)

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) membenarkan bahwa pengayaan uranium Iran melampaui aturan kesepakatan nuklir 2015. IAEA mengatakan, para inspekturnya memverifikasi pada Senin, 8 Juli 2019 bahwa Iran telah melampaui batas pengayaan 3,67 persen yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Batas pengayaan uranium itu bertujuan untuk membatasi kemampuan Teheran untuk mengembangkan senjata nuklir, dengan imbalan mencabut sanksi, lapor VOA Indonesia dilansir pada Selasa, 9 Juli 2019.

Laporan PBB tidak merinci seberapa besar Iran sudah melampaui batas pengayaan. Namun, Associated Press mengutip juru bicara Organisasi Energi Atom Iran, Senin, yang mengatakan Teheran telah memperkaya uranium dengan kemurnian "sekitar 4,5 persen".

Iran sebelumnya mengatakan dapat memperkaya uranium hingga 20 persen. Pernyataan itu membuktikan sikap Teheran yang ingin mengurangi komitmennya terhadap perjanjian nuklir.

Sudahkah Mampu Membangun Senjata Nuklir?

Pengayaan uranium hingga 5 persen sudah cukup untuk menghasilkan bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Namun jumlah itu masih jauh di bawah 90 persen yang dibutuhkan untuk membangun senjata nuklir.

Bagaimanapun eskalasi pengayaan uranium Iran tetap saja mengkhawatirkan. Langkah itu telah dikecam oleh tiga negara Eropa yang turut serta dalam kesepakatan: Inggris, Prancis, dan Jerman.

Sementara China, yang juga turut serta dalam perjanjian, mengatakan semua itu terjadi akibat AS. Sebagaimaa diketahui, Presiden AS Donald Trump menarik Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir tahun lalu dan menjatuhkan sanksi keras terhadap Iran.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya