PM Inggris Tak Mau Terus Tunda Brexit, Bersikukuh pada Tenggat 31 Oktober 2019

PM Inggris dilaporkan tak ingin terus menunda keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit, dan akan bertahan pada tenggat yang telah ditetapkan, yakni 31 Oktober 2019.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 16 Sep 2019, 14:04 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2019, 14:04 WIB
Perdana menteri baru Inggris Boris Johnson (AFP Photo)
PM Inggris Boris Johnson (AFP Photo)

Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dilaporkan tak ingin terus menunda keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit, dan akan bertahan pada tenggat yang telah ditetapkan, yakni 31 Oktober 2019.

Hal itu akan disampaikannya dalam pertemuan dengan Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker di Luksemburg pada Senin 16 September 2019 waktu lokal. Itu merupakan pertemuan perdana Johnson dengan Juncker, sejak mantan wali kota London itu menjabat sebagai perdana menteri pada Juli 2019 lalu.

Johnson menegaskan tetap berupaya agar keluarnya Inggris dari Uni Eropa sukses membawa sejumlah kesepakatan dagang hingga ekonomi --alias mencegah Brexit tanpa kesepakatan atau no-deal Brexit.

Tetapi, jika tidak memungkinkan, Johnson akan menolak usulan penundaan tenggat waktu dan akan "Brexit tanpa kesepakatan," kata para narasumber 10 Downing Street, seperti dikutip dari BBC, Senin (16/9/2019).

Para sumber itu menambahkan, "PM akan mengatakan (kepada Juncker) bahwa dia tidak akan menyetujui penundaan lagi" dan menegaskan akan bertahan pada tenggat waktu 31 Oktober.

Mereka menambahkan: "Perpanjangan lebih lanjut akan menjadi kesalahan besar. Ini bukan hanya masalah kemunduran dan keterlambatan tambahan - itu juga merupakan bulan-bulan panjang tambahan dendam dan perpecahan, dan semuanya berlangsung denga biaya besar."

Kabinet Inggris optimis bahwa negosiasi Brexit yang dipimpin PM Johnson selama ini akan membuahkan kesepakatan dengan Uni Eropa.

Menteri Brexit (anggota kabinet Inggris) Steve Barclay mengatakan bahwa "sejumlah besar kesepakatan telah terjadi di belakang layar."

Sedangkan Menteri Dalam Negeri Inggris Priti Patel menambahkan bahwa "seluruh mesin pemerintahan" difokuskan untuk mendapatkan kesepakatan.

Perdana menteri juga mengatakan dia "sangat optimis" kesepakatan Brexit dapat dicapai.

Akan tetapi, Ketua Negosiator Brexit (delegasi Uni Eropa) Michel Barnier tidak sependapat dan mengatakan bahwa "tidak ada alasan untuk optimis" perihal jalannya negosiasi.

Simak video pilihan berikut:

Situasi Brexit Saat Ini

20170508-Runtuhnya Bintang Uni Eropa di Tangan Banksy-AFP
Warga mengambil gambar mural seorang pria yang tengah menghancurkan salah satu dari 12 bintang kuning bendera Uni Eropa di dinding kawasan Dover, Inggris, Senin (8/5). Mural karya seniman jalanan Banksy itu berjudul 'Brexit'. (DANIEL LEAL-OLIVAS/AFP)

Saat ini, UU yang telah disetujui parlemen sebelumnya menyatakan bahwa negara itu akan meninggalkan Uni Eropa pada tanggal 31 Oktober 2019, terlepas dari apakah akan dicapai kesepakatan atau tanpa kesepakatan dengan organisasi multilateral itu.

'Tanpa kesepakatan' atau no-deal Brexit adalah skenario ketika Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa meneken bentuk kerja sama adaptif apapun dengan negara anggota UE.

Kondisi itu akan membuat London harus bernegosiasi 'dari nol', termasuk persoalan ekonomi dan perdagangan (menggunakan standarisasi World Trade Organization atau WTO), dengan negara-negara tetanga di Eropa daratan.

Tetapi undang-undang baru, yang diberikan persetujuan kerajaan pada pekan lalu, mengubah itu, dan akan memaksa perdana menteri untuk mencari penundaan hingga 31 Januari 2020.

PM Johnson mengatakan bahwa kabinetnya akan menggunakan waktu pembekuan Parlemen untuk tetap melanjutkan negosiasi kesepakatan dengan UE.

"Tidak peduli berapa banyak perangkat yang diciptakan Parlemen ini untuk mengikat tangan saya, saya akan berusaha untuk mendapatkan kesepakatan untuk kepentingan nasional," katanya.

"Pemerintah ini tidak akan menunda Brexit lebih jauh."

Tetapi dia diperingatkan bahwa mengabaikan undang-undang yang baru dapat menimbulkan tantangan hukum (termasuk membuka diskusi mosi tidak percaya untuk melengserkan PM), sementara beberapa menteri menyebutnya "buruk" dan mengatakan mereka akan "menguji sampai batas" apa yang dituntut dari mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya