Liputan6.com, Ras al-Ain - Militer Turki mengklaim telah menduduki kota kunci di perbatasannya dengan Suriah pada akhir pekan. Ini merupakan perkembangan terakhir sejak Ankara melancarkan operasi tempur ke Suriah utara yang dikuasai kelompok Kurdi pada Rabu 9 Oktober 2019.
Di sisi lain, komunitas internasional telah mengecam langkah Negeri Ottoman, menilai mereka berkontribusi terhadap instabilitas yang semakin menjadi di Suriah; yang telah dilanda oleh perang saudara dan konflik dengan ISIS selama beberapa tahun terakhir.
Dilansir Al Jazeera, Minggu (13/10/2019), kementerian pertahanan Turki mengatakan pasukannya merebut Ras al-Ain dari Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi pada Sabtu 12 Oktober 2019.
Advertisement
Klaim itu segera dibantah SDF, yang sejak pertengahan pekan telah melakukan fase pertempuran paling sengit sejak Ankara meluncurkan pasukannya pada Rabu.
"Sebagai bagian dari operasi yang berhasil dilakukan dalam kerangka Operation Peace Spring (nama operasi militer Turki), kota Rasulayn (Ras al-Ain) yang terletak di sebelah timur Eufrat, telah dikendalikan," kata kementerian pertahanan Turki dalam sebuah unggahan di Twitter kemarin.
Tetapi SDF mengatakan pasukan Turki hanya memasuki satu lingkungan di distrik industri Ras al-Ain. Mereka justru mengklaim bahwa pasukan Negeri Ottoman mundur setelah berjam-jam saling jual serangan di daerah itu.
Jet tempur Turki dan unit artileri berat telah membombardir Ras al-Ain --salah satu dari dua kota perbatasan utama yang menjadi sasaran serangan Ankara, bersama Tal Abyad-- selama beberapa hari terakhir.
Al Jazeera, melaporkan dari Akcakale di perbatasan Turki-Suriah, mengatakan telah ada laporan "bentrokan di desa-desa sekitar" menyusul klaim yang bersaing atas kendali Ras al-Ain dan kontak senjata di Tal Abyad.
Warga Sipil Berhenti Beraktivitas dan Mengungsi
Di seluruh wilayah itu, pasukan Turki dan proksi pro-Turki di Suriah telah memperoleh keuntungan, menangkap beberapa desa utara dalam pertempuran yang telah menewaskan puluhan orang atau melukai dan memaksa lebih dari 100.000 orang meninggalkan rumah mereka sejak Rabu.
Sementara itu, pasar, sekolah dan rumah sakit telah ditutup, menurut PBB, dengan badan-badan kemanusiaan memperingatkan hampir setengah juta orang dianggap berisiko terdampak oleh konflik bersenjata terbaru ini.
Turki 'Menetralkan' Ratusan Milisi Kurdi
Sementara itu, Militer Turki pada Sabtu juga mengatakan telah 'menetralkan' 459 militer Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) sejak operasi dimulai Rabu lalu.
Menetralkan adalah eufemisme militer untuk menyebut pasukan lawan yang telah dibunuh --atau dalam beberapa kasus yang langka, dijadikan tawanan perang.
Kurdi membantah angka itu, mengatakan bahwa hanya 29 pejuangnya tewas.
Empat tentara Turki juga terbunuh sejak awal serangan, termasuk dua yang tewas di barat laut Suriah.
Meskipun pertumpahan darah meningkat, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menolak tawaran oleh Presiden AS Donald Trump untuk menengahi antara pasukan Ankara dan YPG.
"Kami tidak menengahi, bernegosiasi dengan teroris. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah para teroris ini meletakkan senjata," kata Cavusoglu kepada penyiar Jerman, Deutsche Welle .
"Kami mencoba solusi politik di Turki di masa lalu dan kami melihat apa yang terjadi," tambahnya.
Advertisement
Kecaman Komunitas Internasional
Perkembangan telah disertai dengan meningkatnya ketidaksetujuan atas serangan lintas-perbatasan Turki, dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump memperingatkan operasi itu menyebabkan "bahaya besar" dalam hubungan persekutuan kedua negara dalam platform NATO dan mengancam akan menjatuhkan sanksi pada Ankara.
Jerman dan Prancis, sesama sekutu Turki di NATO, mengatakan pada hari Sabtu mereka melarang beberapa ekspor senjata ke Turki, sementara ketua Liga Arab yang beranggotakan 22 negara menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah-langkah untuk memaksa Turki menghentikan "invasi" -nya.
Namun Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menepis kritik terhadap operasi itu, mengatakan pada Jumat 11 Oktober bahwa Turki "tidak akan menghentikan" serangan "tidak peduli apa kata orang".
Erdogan mengatakan, langkah itu bertujuan untuk menciptakan apa yang disebut "zona aman (buffer zone)" yang dibebaskan dari para pejuang Kurdi, di mana beberapa dari 3,6 juta pengungsi yang saat ini tinggal di Turki dapat dimukimkan kembali ke Suriah utara.
Ankara memandang elemen milisi Kurdi, seperti SDF dan YPG, serta sayap politik mereka, Partai Pekerja Kurdistan (PKK) sebagai kelompok terlarang, bahkan sebagai organisasi teroris.
Sekilas Perang Turki - Kurdi di Suriah Utara
Serangan darat dan udara Turki dimulai pada Rabu 9 Oktober 2019, atau terpaut tiga hari sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan menarik pasukan AS dari Suriah utara.
Pasukan AS telah bersekutu dengan SDF selama operasi untuk menumpas ISIS dari wilayah itu sejak kelompok teroris tersebut merajalela pada 2013 silam, hingga kekalahan teritorial mereka tahun ini. Pada periode tersebut, SDF telah memperluas kontrolnya di Suriah utara dan timur --memicu semakin terbelahnya Suriah akibat perang saudara yang turut melibatkan Pasukan Negara Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad yang didukung Rusia dan Iran.
Keputusan Trump menuai kritik domestik dan internasional yang cepat bahwa ia membahayakan stabilitas regional, meninggalkan sekutu AS dan mempertaruhkan kebangkitan ISIS.
Di tengah pertempuran sengit pada hari Sabtu, SDF menyerukan "sekutu" untuk melaksanakan "tanggung jawab moral" mereka dan memaksakan zona larangan terbang dalam sebuah teguran yang tampaknya ditujukan kepada Washington.
"Ini adalah sesuatu yang dapat mereka lakukan dengan mudah," kata juru bicara SDF Redur Xelil dalam sebuah pernyataan, menambahkan ofensif Turki telah "menghidupkan kembali" ancaman yang ditimbulkan oleh ISIS.
"Kami sekarang bertempur di dua front: satu front melawan invasi Turki dan satu front melawan Daesh (nama lain ISIS)," katanya.
SDF memegang sebagian besar wilayah utara Suriah yang pernah menjadi bagian dari "kekhalifahan" ISIS yang diproklamirkan sendiri, dan telah menahan ribuan tersangka pejuang dari kelompok bersenjata di penjara dan puluhan ribu anggota keluarga mereka di kamp-kamp.
Advertisement