Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia meminta Muhammadiyah untuk "menyuarakan isu Uighur minoritas" di Xinjiang, China.
Hal itu disampaikannya saat melawat ke kantor pengurus pusat salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dan diterima langsung oleh Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, pada Selasa (15/10/2019).
"Kami membahas sejumlah isu internasional. Dan saya mendorong Muhammadiyah untuk tetap menyuarakan keprihatinan guna melawan opresi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Uighur minoritas di China," jelas Donovan selepas lawatan ke Kantor Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah.
Advertisement
"Kami sepakat untuk segera bertemu lagi guna membahas isu-isu yang kami bicarakan hari ini," lanjutnya, namun menambahkan tidak ada bentuk kerja sama lanjutan apapun antara pihaknya dengan PP Muhammadiyah terkait isu Uighur.
Baca Juga
Donovan mendeskripsikan bentuk kunjungan "yang telah dijadwalkan sejak awal tahun, namun tertunda lama" itu sebagai "diskusi dan pertemuan rutin dengan para pemimpin organisasi masyarakat Indonesia, termasuk yang bergerak di bidang keagamaan."
Dubes AS juga mengklaim, dirinya telah bertemu dengan pemerintah Indonesia terkait persoalan serupa.
"Kami menjelaskan posisi dan menyampaikan apa yang menjadi perhatian kami tentang situasi etnis Uighur dan Kazakh di Xinjiang, serta situasi yang menimpa satu juta orang etnis minoritas tersebut di sana," jelas Donovan.
Liputan6.com telah meminta konfirmasi kepada Kementerian Luar Negeri RI terkait pertemuan tersebut. Namun hingga berita ini turun, Kemlu RI belum memberikan jawaban.
Ketika ditanya apakah semua langkah itu, termasuk kunjungan ke PP Muhammadiyah, merupakan upaya pemerintah AS --yang pekan lalu menjatuhkan sanksi kepada China terkait isu Uighur-- untuk "mendulang dukungan dari negara lain" Donovan menjelaskan:
"Isu tersebut hanya salah satu pembahasan dari sekian banyak topik yang kami bicarakan, itu saja yang bisa saya katakan."
Soal isu Uighur yang dibicarakan dengan Dubes Donovan, Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Moekti menjelaskan, "Di manapun dan oleh siapapun, pelanggaran hak asasi manusia tidak dibenarkan dan harus dihentikan."
"Oleh karena itu, persoalan ini harus dilihat secara seksama dan harus ada pembuktian secara adil mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia itu."
"Tapi, semuanya harus didasarkan pada fakta-fakta yang kuat dan dilakukan secara independen, jangan sampai persoalan hak asasi manusia ini dijadikan komoditas politik oleh negara tertentu terhadap negara yang lainnya,"Â lanjut Abdul Moekti.
AS Jatuhkan Sanksi kepada China Terkait Isu Uighur Xinjiang
Sementara itu, pekan lalu, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada 28 entitas asal China pada Senin 7 Oktober 2019, didasari atas tuduhan bahwa mereka telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia kepada kelompok etnis minoritas muslim Uighur dan lainnya di Xinjiang.
Ke-28 entitas itu masuk dalam daftar Entitas yang Dipantau oleh Kementerian Keuangan AS, di mana mereka dilarang untuk melakukan hubungan ekonomi dan bisnis dengan entitas Amerika tanpa seizin Washington DC.
Entitas yang ditimpa sanksi memiliki latar belakang beragam, mulai dari lembaga keamanan daerah; perusahaan teknologi surveilans ternama, Hikvision; dan firma teknologi kecerdasan buatan Megvii Tech dan SenseTime.
China murka atas langkah AS, menyebut aksi mereka tidak mendasar.
"Tidak ada yang namanya pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana yang diklaim Amerika," kata Menteri Luar Negeri China, Geng Shuang seperti dikutip dari BBC, Rabu (9/10/2019).
"AS sengaja untuk mencampuri urusan dalam negeri China," lanjutnya.
Penjatuhan sanksi ekonomi terbaru terjadi di tengah flutkuasi perundingan untuk mengakhiri perang dagang AS dan China, yang pekan lalu dideskripsikan oleh Presiden Donald Trump sebagai "sulit", namun kemudian mengumumkan pada pekan ini telah "menghasilkan kemajuan."
Sejumlah analis telah lama menilai bahwa isu Uighur dijadikan oleh AS sebagai poin untuk mendorong negosiasi terkait perang dagang dengan China --tulis kolumnis media in-depth Quartz, Jane Li.
Advertisement
Mencari Dukungan Ormas Islam di Indonesia?
Tidak hanya Dubes Amerika Serikat yang pernah berkunjung ke PP Muhammadiyah untuk mengangkat isu Uighur. Pada Desember 2018, Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian juga melawat ke PP Muhammadiyah, ketika isu etnis di Xinjiang itu menuai sorotan dan memicu demonstrasi di sejumlah kota besar Indonesia pada akhir tahun lalu.
Menyusul lawatan itu, pada Februari 2019, sekitar 20 ulama dan perwakilan dari berbagai organisasi Islam di Indonesia --termasuk MUI, NU, dan Muhammadiyah-- diundang oleh pemerintah China untuk menyaksikan langsung situasi muslim Uighur di Xinjiang, termasuk mengunjungi apa yang disebut oleh panel HAM PBB, dan lembaga aktivisme HAM sebagai kamp penahanan massal bagi etnis minoritas pemeluk muslim di sana.
China menolak pendeskripsian itu, dan menyebut fasilitas yang dimaksud sebagai "pusat pelatihan vokasional bagi individu yang terpapar radikalisme dan ekstremisme."
Usai kunjungan ke Xinjiang, beberapa perwakilan ormas Islam tidak satu suara dalam menyikapi isu tersebut --Liputan6.com memahami dari seorang narasumber perwakilan ormas Islam bagian rombongan. Hal ini juga ditunjukkan dari tidak adanya pernyataan pers bersama yang disampaikan oleh rombongan tersebut selepas mereka kembali ke Indonesia.
Secara individual, beberapa figur memiliki pendapat yang berbeda.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, misalnya. Bagian rombongan ulama Indonesia yang berkunjung ke Xinjiang atas undangan China akhir Februari lalu itu secara umum menilai positif tentang fungsi pusat pelatihan vokasional di Xinjiang yang ditujukan untuk "memberantas radikalisme, terorisme dan separatisme melalui sekolah pendidikan vokasional."
"Hanya saja, dalam upaya tersebut, masih terdapat pembatasan beribadah kepada para pesertanya karena dianggap menggunakan fasilitas negara," ujarnya seperti dilansir outlet media yang dikelola Muhammadiyah, Suaramuhammadiyah.id, pada 9 Maret 2019.
"Seharusnya mereka yang beragama itu diizinkan untuk melakukan aktivitas keagamaannya, setidak-tidaknya paling minimal ketika beribadah sehari-hari, khususnya umat muslim jika mereka harus masuk asrama atau mereka diminta harus dididik ulang di pusat pelatihan vokasional," jelasnya.
Trisno juga mengkritik ketidakjelasan pemerintah China dalam menentukan kriteria "siapa yang terpapar oleh radikalisme dan eksremisme, dan siapa yang tidak."
"Tim kami, delegasi yang hadir, MUI, Muhammadiyah maupun NU itu belum dijelaskan kriteria terpapar," katanya.
Di sisi lain, Lutfi Tamimi, Sekretaris Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) --gabungan 13 ormas Islam Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama, punya pandangan lain.
Lutfi juga merupakan bagian dari rombongan ulama Indonesia yang berkunjung ke fasilitas serupa di Xinjiang atas undangan China akhir Februari lalu.
"Saya rasa tidak ada masalah pada bagaimana para peserta (siswa) di fasilitas tersebut dalam hal menjalankan ibadahnya," jelasnya dalam wawancara bersama Liputan6.com di Kantor LPOI di Jakarta pada 6 Maret 2019.
"Dijelaskan kok bahwa ibadah di China itu tidak dilarang, hanya ya memang, jadwal vokasional di dalam fasilitas yang sangat padat bagi para siswa mengharuskan mereka untuk terus mengikuti kegiatan, sementara menyesuaikan rutinitas ibadah mereka."
"Kalau masalah itu tempat publik, maka salat bisa di kamar kan?," nilai Lutfi.
"Begini ya, dari yang saya pahami usai kunjunngan ke sana, para siswa itu kan beraktivitas dari pagi sampai sore. Di asrama, mereka bangun pagi, lanjut aktivitas sampai sore, kemudian masuk lagi ke kamar asrama. Mereka bisa salat Subuh di kamar sebelum keluar. Untuk Zuhur dan Ashar, karena bentrok dengan aktivitas, dirangkap saat sore ketika mereka masuk kamar. Kemudian lanjut Maghrib dan Isya pada malamnya."
"Soal penilaian apakah itu merupakan bentuk pembatasan terhadap salat, saya nilai begini, bahwa tekanan seperti itu juga berlaku bagi agama lain, tidak cuma Islam. Pemeluk agama lain juga mendapatkan perlakuan serupa."
"Dan patut diingat juga, bahwa mereka yang masuk ke dalam sana adalah terduga ekstremis, radikal."
"Selain itu, mereka kan tidak selamanya ada di dalam fasilitas, hanya sementara. Kalau sudah sepenuhnya keluar, dan memang sudah ada yang begitu, mereka bisa beribadah normal lagi. Bahkan bisa ke masjid."