Mengenal Indonesian AID, Lembaga Dana Bantuan Internasional Perdana dari RI

Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional Indonesia (LDKPI) atau Indonesian AID, ditujukan untuk menyalurkan kerja sama teknik, fisik, dan kemanusiaan bagi negara berkembang lain.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 22 Okt 2019, 13:21 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2019, 13:21 WIB
Gedung Pancasila dan Ilustrasi Bendera Indonesia (Liputan6.com/Gempur M Surya)
Gedung Pancasila dan Ilustrasi Bendera Indonesia (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Saat diresmikan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada 18 Oktober 2019, Indonesia, untuk pertama kali dalam sejarah, memiliki lembaga pengelola dan penyalur dana negara untuk pemberian bantuan internasional.

Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional Indonesia (LDKPI) atau Indonesian Agency for International Development (Indonesian AID) ditujukan untuk "menyalurkan kerja sama teknik (pengembangan kapasitas), fisik, dan kemanusiaan bagi negara berkembang lain yang membutuhkan bantuan pemerintah RI, sesuai dengan target Sustainable Development Goals 2030," kata Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik-Kementerian Luar Negeri RI, Cecep Herawan, dalam sebuah pengarahan kepada jurnalis di Jakarta, Senin 21 Oktober 2019.

Indonesian AID dibentuk dengan payung hukum di bawah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI).

LDKPI menjadi lembaga yang bertugas mengelola dana kerja sama pembangunan internasional sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Hibah kepada Pemerintah Asing atau Lembaga Asing.

Badan yang setara dengan USAID Amerika Serikat, JICA Jepang, dan AUSAID Australia itu digawangi oleh empat kementerian RI, yakni; Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencana Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Sekretariat Negara.

Nantinya, ketika LDKPI atau Indonesian AID 'beroperasi secara penuh pada 2021' mendatang, badan itu akan dipimpin oleh seorang Direktur Utama, dan dua direktur; Direktur Keuangan dan Umum, serta Direktur Investasi dan Penyaluran Dana. Lembaga itu juga akan memiliki pengawas keuangan internal atau 'Satuan Pemeriksaan Keuangan'.

'Bukan Barang Baru'

"Ini bukan barang baru," jelas Dirjen Cecep. "Pemerintah Indonesia telah sejak lama menyalurkan bantuan internasional kepada sejumlah negara berkembang yang membutuhkan, selaras dengan prinsip Kerja Sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation)," lanjutnya.

"Tapi, sebelum adanya Indonesian AID, penyaluran bantuan dilaksanakan secara tersegmentasi dan mandiri berdasarkan kementerian yang memberikan. Misal, Kementerian Pertanian ingin memberikan bantuan teknik pemberdayaan kapasitas agrikultur di negara A. Maka mekanisme dan sumber pendanaannya secara mandiri dilakukan oleh instansi terkait," jelas diplomat Kementerian Luar Negeri itu.

"Selain tersegmentasi, model penyaluran bantuan ke luar negeri seperti itu sulit dimonitor, sehingga berpotensi kurang selaras dengan kebijakan luar negeri (foreign policy) pemerintah," jelasnya.

"Oleh karenanya, pembentukan LDKPI adalah demi menyatukan upaya penyaluran bantuan ke luar negeri dalam sebuah sistem satu atap dan tersentralisasi," lanjut Cecep.

Alasan lain dari pembentukan Indonesian AID adalah memangkas birokrasi pencairan dana bantuan internasional.

"Dalam kerangka bantuan kemanusiaan internasional misalnya, anggarannya ada di anggaran cadangan di Kemenkeu. Tapi proses pencairannya panjang dan berjenjang. Perlu ada usulan dari kementerian terkait ke presiden, disposisi presiden, pengalokasian di Kemenkeu, prosesnya lama."

"Misal; bencana alam di negara A terjadi hari ini, kemudian, datang keputusan politik RI untuk membantu. Namun, dalam model sistem yang dulu, proses realisasinya akan terhambat, pencairan dari anggaran cadangan Kemenkeu mungkin baru tahun depan setelah penganggaran RAPBN selanjutnya. Padahal, bencananya sudah tahun lalu," jelas Cecep.

"Dengan adanya sistem baru, akan jadi lebih mudah. Sumber anggarannya tidak lagi dari anggaran cadangan Kemenkeu, tapi di ambil langsung dari endowment fund LDKPI. Penyalurannya juga akan lebih cepat," lanjut Cecep.

Endowment Fund LDKPI

Bendera Indonesia (Unsplash / stock photo)
Bendera Indonesia (Unsplash / stock photo)

Endowment fund atau dana abadi adalah dana investasi yang didirikan oleh sebuah yayasan yang melakukan penarikan secara konsisten dari modal yang diinvestasikan. Modal dalam dana abadi umumnya digunakan untuk kebutuhan spesifik atau untuk memajukan proses operasi, yang didanai sepenuhnya oleh sumbangan yang dapat dideduksi bagi para donor.

Dana abadi biasanya terstruktur sehingga jumlah pokok yang diinvestasikan tetap utuh, sementara pendapatan investasi tersedia untuk pendanaan segera untuk digunakan secara efisien.

Dalam hal LDKPI atau Indonesian AID, endowment fund merupakan anggaran yang dialokasikan oleh empat kementerian pengelola; Kemlu RI, Kemenkeu RI, KemenPPN/Bappenas, dan Kemensesneg.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dana bantuan dalam Indonesian AID tersebut diatur di pos anggaran below the line atau model pembiayaan, sehingga penggunaannya tidak harus habis. Nilai anggaran yang telah dikeluarkan Pemerintah untuk Indonesian AID sebesar Rp 3 triliun, dengan perincian Rp 1 triliun untuk tahun pertama di 2018 dan Rp 2 triliun di 2019.

"Ini ditaruhnya di below the line kalau istilah teknisnya. Jadi dia tidak harus habis, bahkan mungkin bisa jadi dana abadi," kata Sri Mulyani saat peresmian LDKPI di Kementerian Luar Negeri RI pada 18 Oktober 2019 lalu, seperti dikutip dari Antara.

Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri RI menargetkan, pada saat LDKPI atau Indonesian AID 'beroperasi secara penuh pada 2021' mendatang, lembaga itu akan memiliki endowment fund senilai Rp 10 triliun yang bersumber dari donasi atau investasi. Sementara, soal endowment fund awal yang disebutkan oleh Menteri Sri Mulyani, pejabat Kemlu RI itu mengatakan bahwa "sumbernya telah lama dikumpulkan oleh pemerintah Indonesia sejak 1998."

Pada waktu dan kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik-Kemlu RI, Cecep Herawan mengatakan bahwa LDKPI akan menginvestasikan dana yang ada dengan suku bunga 6 persen.

"Dengan begitu, dalam satu tahun ada dana yang disiapkan Rp 600 miliar. Angka kasar bisa mencapai hingga Rp 700 - 800 miliar per tahun dengan suku bunga 7-8 persen," jelas Cecep.

"Dan semua dana akan bersumber dari investasi, sehingga tidak lagi membebani APBN yang dialokasikan untuk masing-masing kementerian pengelola, dan dana dikelola secara mandiri," lanjutnya.

Soal mekanisme checks and balances serta transparansi arus keuangan, Cecep menjelaskan bahwa "semuanya akan berkoordinasi dengan DPR-RI selaku pengesah anggaran negara dan Badan Pemeriksa Keuangan RI. LDKPI juga akan memiliki pemeriksa keuangan internal atau Satuan Pemeriksaan Keuangan," jelasnya.

Negara Sasaran

Warga Palestina membentang bendera negara mereka, bergembira menyambut rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah
Warga Palestina membentang bendera negara mereka, bergembira menyambut rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah (AP Photo/Khalil Hamra)

Meski belum berdiri secara penuh, namun, pemerintah Indonesia telah dan akan menyalurkan sejumlah bantuan internasional kepada sejumlah negara menggunakan endowment fund tersebut.

"Sudah ada tujuh negara; lima di Pasifik dan dua di Asia Tenggara yang menerima dana hibah LDKPI pada 2019," kata Dirjen Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik-Kemlu RI, Cecep Herawan.

Ketujuh negara itu antara lain; Tuvalu, Nauru, Kepulauan Solomon, Fiji dan Kiribati (Pasifik); serta Myanmar dan Filipina.

"Beberapa sudah ada yang rampung, beberapa yang lain masih dalam tahap negosiasi," jelasnya.

Indonesian AID atau LDKPI juga telah menyalurkan bantuan dalam bentuk teknik pengembangan kapasitas.

"Ke Palestina dan Serbia sudah diberikan bantuan dalam fokus pengembangan kapasitas. Ada beberapa juga ke negara lain. Total bentuk bantuan teknis ada 1.041 program yang menyasar lebih dari 13.000 peserta pengembangan kapasitas," jelas Cecep.

Cecep juga menyadari bahwa LDKPI tidak bisa bekerja sendiri, mengingat, status Indonesia sebagai negara ekonomi berkembang yang belum setara dengan negara ekonomi besar lain pemilik lembaga serupa; seperti USAID AS, JICA Jepang, atau AUSAID Australia. Indonesia masih masuk dalam daftar salah satu negara penerima bantuan dari AUSAID dan pernah masuk dalam daftar 20 negara penerima bantuan terbesar USAID pada 2012.

"Oleh karenanya Indonesian AID akan menggandeng lembaga-lembaga tersebut, termasuk UNDP (Badan PBB untuk Program Pengembangan Kapasitas) dalam penyaluran bantuan menggunakan mekanisme triangular," jelas Dirjen Kemlu RI itu.

Lebih lanjut, Cecep mengatakan, "Tapi kan pada akhirnya Indonesia tidak akan menjadi negara ekonomi berkembang terus. Proyeksi kita pada 2030 adalah menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima dunia. Jadi, ada obligasi moral Indonesia sedari sekarang, untuk membentuk lembaga bantuan internasional untuk membantu negara berkembang lain."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya