Investigasi BBC: Jual Beli Online Ribuan Pekerja Migran Bak 'Barang' di Kuwait

Ribuan pekerja migran di Kuwait diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dan perbudakan modern, yang diperjualbelikan pada sejumlah platform online.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 02 Nov 2019, 14:00 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2019, 14:00 WIB
Ilustrasi Bendera Kuwait (Pixabay)
Ilustrasi Bendera Kuwait (Pixabay)

Liputan6.com, Kuwait City - Ribuan pekerja migran di Kuwait diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dan perbudakan modern, setelah investigasi jurnalistik menemukan iklan jual-beli pada sejumlah platform, termasuk yang dimiliki oleh raksasa teknologi Google, Apple dan Facebook.

Investigasi rahasia oleh BBC News Arabic menemukan aplikasi ponsel pintar di Kuwait, di mana calon pembeli dapat menelusuri sekitar ribuan perempuan yang tersedia untuk dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga, demikian seperti dikutip dari Daily Mail, Sabtu (2/11/2019).

Aplikasi itu sendiri mirip situs jual-beli online pada umumnya, yang turut memperdagangkan barang-barang dan benda mati --di samping tentunya para korban perbudakan modern tersebut.

Para perempuan itu --yang diduga sebagai pekerja migran-- dapat 'dibeli' dengan harga sekitar 3.000 poundsterling (sekitar Rp 54,3 juta), yang dibayarkan pembeli kepada 'majikan'.

Investigasi menemukan bahwa satu 'pasar' beroperasi di Instagram, yang dimiliki oleh Facebook. Dilaporkan bahwa penjualan dilakukan melalui pesan pribadi.

Para penjual secara terang-terangan mengatakan, menjual orang secara online bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Investigasi BBC News Arabic

Demi mengungkap fenomena tersebut, reporter investigasi BBC menyamar menjadi pasangan suami-istri yang mengklaim mereka baru saja tiba di Kuwait dan sedang mencari asisten rumah tangga.

Mereka mengunjungi satu situs di mana perempuan disaring berdasarkan ras --dengan beberapa orang bernilai lebih dari yang lain.

Satu iklan mengklaim seorang pekerja dari Afrika 'yang bersih dan tersenyum', sementara iklan lain memasang info 'penjualan' pada seorang perempuan asal Nepal dengan informasi "suka meminta libur."

Iklan-iklan itu dipasang oleh para majikan asli mereka. Beberapa dipasang oleh agen penyalur tenaga kerja.

Seorang petugas polisi lokal di Kuwait berusaha menjual pekerja rumah tangganya yang dia sebut "sangat baik, murah senyum dan tidak pernah mengeluh." Namun menyarankan kepada reporter BBC yang menyamar sebagai calon 'pembeli' agar "menyembunyikan paspor (korban) agar tidak berulah."

Petugas polisi itu pun mengaku turut mencari keuntungan dari transaksi tersebut.

Tim investigasi BBC pada akhirnya 'menyelamatkan' seorang gadis berusia 16 tahun yang telah diperdagangkan dari Guinea, Afrika Barat.

Pemilik aslinya mengatakan, gadis itu tidak diizinkan cuti kapan pun dan tidak memiliki akses ke paspor atau ponselnya.

Ia kemudian telah dikirim pulang oleh otoritas Kuwait. Dia mengatakan kepada BBC: "Mereka dulu meneriaki saya dan memanggil saya binatang. Rasanya sakit, itu membuatku sedih, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan."

"Tapi sekarang, hidup saya lebih baik. Saya merasa seperti kembali dari perbudakan."

Respons Kuwait dan Berbagai Pihak

Facebook
Ilustrasi Facebook (Foto: New Mobility)

Pihak berwenang Kuwait mengatakan mereka memiliki aturan untuk mencegah eksploitasi dan perdagangan dalan aspek ketenagakerjaan.

Otoritas negara Teluk itu juga mengatakan tengah menginvestigasi dan memanggil "Sejumlah orang yang memasang iklan" seputar jual-beli pekerja migran tersebut, demikian seperti dikutip dari BBC.

Pelapor Khusus PBB Bidang Perbudakan Modern, Urmila Bhoola mengatakan kepada BBC, "Apa yang mereka lakukan sejatinya mempromosikan pasar budak online."

"Jika Google, Apple, Facebook atau perusahaan lain memfasilitasi aplikasi semacam ini, mereka harus dimintai pertanggungjawaban."

Para raksasa teknologi itu mengatakan kepada BBC bahwa mereka bekerja dengan pengembang aplikasi pihak ketiga (third-party app) untuk menghentikan segala aktivitas ilegal dan yang melanggar hukum.

Situasi Global

Ilustrasi Perbudakan Modern (Pixabay)
Ilustrasi Perbudakan Modern (Pixabay)

Di wilayah Teluk Arab, sebagian besar pekerja rumah tangga dipasok oleh agen yang awalnya mendaftarkan mereka ke pemerintah yang berlaku.

Agensi kemudian menyediakan staf untuk keluarga yang mensponsori pekerja dan membayar biaya besar.

Namun, pekerja itu tidak dapat berhenti dan tidak diizinkan meninggalkan negara tanpa izin dari majikan mereka.

Menurut BBC, pasar online baru melewati agen tradisional dan merusak kondisi pekerja migran sektor informal.

Perdagangan online informal membuat perempuan juga berisiko mengalami pelecehan.

Hampir 25 juta orang di seluruh dunia diperkirakan menjadi korban kerja paksa, sementara sekitar 25.000 kasus perdagangan manusia tercatat secara global pada tahun 2016 --menandai tertinggi 13 tahun-- menurut data terbaru yang tersedia dari lembaga-lembaga PBB.

Jumlah pekerja informal secara global akan membengkak ketika pekerja berketerampilan rendah kehilangan otomatisasi dan yang lain mengambil pekerjaan jangka pendek yang ditawarkan melalui platform digital, kata aktivis buruh yang memperingatkan akan meningkatnya risiko perbudakan modern.

Dua miliar orang --lebih dari 60 persen pekerja dunia-- berada di sektor pekerjaan informal, di mana mereka tidak dicakup oleh pengaturan formal, seperti kontrak, atau tidak memiliki perlindungan termasuk upah sakit, menurut data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya