AS Intai Minyak Suriah Bikin Rusia Geram, Akan Bernasib seperti 4 Perang Ini?

Presiden AS Donald Trump telah menyetujui misi militer yang diperluas untuk mengamankan bentangan ladang minyak di seluruh Suriah bagian timur.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 11 Nov 2019, 21:00 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2019, 21:00 WIB
Pasukan AS bergerak mengamankan ladang minyak Suriah atas perintah Presiden Donald Trump (Bederkhan Ahmad / AP PHOTO)
Pasukan AS bergerak mengamankan ladang minyak Suriah atas perintah Presiden Donald Trump (Bederkhan Ahmad / AP PHOTO)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden AS Donald Trump telah menyetujui misi militer yang diperluas untuk mengamankan bentangan ladang minyak di seluruh Suriah bagian timur.

Namun, operasi itu menimbulkan sejumlah pertanyaan hukum krusial hingga potensi pasukan AS melancarkan serangan terhadap pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang didukung penuh oleh Rusia, atau pihak lainnya, jika mereka mengancam untuk merebut minyak, kata pejabat AS.

Di bawah rencana baru, pasukan AS akan melindungi petak besar tanah yang dikontrol oleh pejuang Kurdi Suriah yang membentang hampir 150 kilometer dari Deir ez-Zor ke al-Hassakeh, tetapi ukuran pastinya masih ditentukan, demikian seperti dikutip dari Associated Press (AP), Rabu 6 November 2019.

Kementerian Pertahanan Rusia telah mengkritik keputusan Amerika Serikat, menyebut mereka sebagai "bandit" dan menegaskan bahwa ladang 'emas hitam' tersebut merupakan milik sekutu yang mereka dukung selama ini, pemerintahan Suriah di bawah Presiden Bashar al-Assad.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Igor Konashenkov, pada akhir Oktober 2019 mengatakan: "Apa yang dilakukan Washington sekarang, perebutan dan penguasaan ladang minyak di Suriah timur di bawah kendali bersenjatanya, adalah, secara sederhana, menunjukkan sikap mereka sebagai bandit internasional."

"Semua deposit hidrokarbon dan mineral lainnya yang terletak di wilayah Suriah bukan milik teroris ISIS, dan bahkan bukan milik 'pembela Amerika dari teroris ISIS,' tetapi secara eksklusif merupakan milik Republik Arab Suriah," tambahnya.

Minyak Telah Faktor Pendorong Perang

Selama 100 tahun terakhir, minyak telah sering menjadi alasan pecahnya perang.

Negara-negara telah berperang, atau membentuk strategi militer mereka selama perang, untuk menaklukkan ladang minyak atau mencegah saingan mengendalikan komoditas yang merupakan sumber kehidupan ekonomi industri dan militer modern.

Beberapa negara telah belajar dengan susah payah bahwa harga untuk menangkap minyak bisa jauh lebih besar dari nilainya.

Namun, sejarah terus berulang, dengan perang yang dimotivasi oleh minyak kembali terjadi di sejumlah wilayah dunia.

Berikut 4 perang terkenal di dunia yang dimotivasi (sebagian atau seluruhnya) oleh minyak, seperti dikutip dari the National Interest, Senin (11/11/2019).

Simak video pilihan berikut:

1. Pertempuran Stalingrad pada Perang Dunia II

Pertempuran Stalingrad (RIA Novosti / Creative Commons / Wikimedia)
Pertempuran Stalingrad (RIA Novosti / Creative Commons / Wikimedia)

Jika ada pemimpin yang terobsesi dengan minyak, itu adalah Hitler, yang mengeluh bahwa "jenderal saya tidak tahu apa pun tentang aspek ekonomi perang." Tapi tidak seperti Führer mereka, mereka akan tahu lebih baik daripada mengirim panzer mereka dengan cepat untuk menangkap minyak, yang pada akhirnya hanya berujung kekalahan.

Upaya Jerman untuk mengalahkan Uni Soviet dalam satu kampanye serangan kilat telah gagal pada musim panas 1941.

Pada Juni 1942, pasukan Jerman yang terkuras hanya cukup kuat untuk melakukan serangan di satu sektor di front Rusia yang luas. Hitler memusatkan divisi-divisi terbaiknya di Rusia selatan, untuk merebut ladang minyak Kaukasus yang kaya.

Meskipun Operasi Biru (Fall Blau) pasukan Nazi Jerman dimulai dengan baik dan hampir mencapai Stalingrad pada bulan Agustus 1942, Jerman segera menghadapi dilema: mengerahkan pasukan mereka dan berbelok ke selatan untuk merebut minyak seutuhnya, atau terus mengemudi ke barat untuk menangkap Stalingrad sebagai benteng pertahanan melawan pasukan Soviet yang berkumpul di pedalaman Rusia.

Secara khas Hitler mencoba memiliki semuanya. Pasukan Jerman terbelah, dengan satu cabang bergerak ke Kaukasus, dan satu lagi bergerak ke arah Stalingrad. Kedua cabang nyaris berhasil, tetapi tidak ada pasukan pendukung atau persediaan yang cukup untuk menyelesaikan misi mereka.

Nazi tidak dapat merebut pusat-pusat minyak di Grozny dan Baku, meskipun mereka dapat membanggakan penanaman bendera mereka di Gunung Elbrus, gunung tertinggi di Kaukasus.

Sementara itu, di utara, Soviet diam-diam mengerahkan pasukan mereka untuk serangan balik di Stalingrad. Dalam waktu enam bulan, ekspedisi Kaukasus Jerman mundur sepenuhnya, sementara lebih dari 100.000 orang Jerman menyerah di Stalingrad, menandai titik balik dalam Perang Dunia II. Mimpi minyak Hitler akhirnya sirna.

2. Perang Iran - Irak

Sadam Hussein di Perang Iran-Irak
Sadam Hussein di Perang Iran-Irak (Foto:AFP)

Perang Iran-Irak 1980-88 berlangsung selama delapan tahun berdarah.

Frustrasi oleh kebuntuan di darat, kedua belah pihak berusaha untuk menyerang musuh mereka melalui jalur distribusi minyak via laut, yang dikenal sebagai Tanker War 1984.

Irak memulainya dengan menyerang fasilitas minyak Iran dan perdagangan kapal dengan Iran.

Iran menyerang balik dengan serangan udara dan laut terhadap kapal-kapal Irak dan situs-situs minyak dan, yang lebih penting, meletakkan ranjau laut di Teluk Persia.

Meskipun diserang sekitar 450 kapal, tidak ada pihak yang dapat menghancurkan yang lain atau memaksa menyerah. Tetapi Perang Tanker memang memiliki satu hasil besar: itu membawa Amerika Serikat ke permusuhan langsung dengan Iran setelah kapal perang Amerika mulai mengawal lalu lintas pedagang Teluk Persia.

Setelah ranjau dan rudal Iran merusak lalu lintas sipil dan perusak Amerika, kapal perang AS, pesawat terbang, dan pasukan komando SEAL menghancurkan kapal dan fasilitas angkatan laut Iran --sebuah peristiwa yang dikhawatirkan bisa berulang kembali menyusul ketegangan terbaru AS-Iran 2018-sekarang.

3. Perang Teluk II

Perang Teluk I pecah pasca-invasi Irak ke Kuwait
Perang Teluk I pecah pasca-invasi Irak ke Kuwait (AP)

Pada 1991, Irak menginvasi tetangganya, Kuwait, karena perselisihan tentang utang perang Irak, kelebihan produksi minyak Kuwait, Irak mengklaim bahwa Kuwait adalah bagian dari Irak dan mungkin keinginan untuk merebut cadangan minyak Kuwait.

Tentara Irak memiliki sedikit kesulitan dalam mengusir tetangganya yang kecil, tetapi invasi dengan cepat menempatkannya pada perselisihan dengan Amerika Serikat, yang sebenarnya mendukung Irak selama Perang Iran-Irak.

Meskipun ada ultimatum PBB untuk mundur dari Kuwait, Saddam Hussein menolak untuk mengalah. Hasilnya adalah 500.000 tentara AS di Arab Saudi, serangan kilat Desert Storm pimpinan Amerika dan kehancuran kekuatan militer Irak.

Irak sebelumnya menjadi salah satu kekuatan utama di dunia Arab; namun, ambisi minyak Saddam Hussein membuatnya rusak dan terisolasi.

4. Perang Teluk II

Invasi AS ke Irak 2003 (John L. Houghton/US Air Force)
Invasi AS ke Irak 2003 (John L. Houghton/US Air Force)

Persoalan motivasi minyak pada partisipasi kedua AS di Perang Teluk 2003 masih jadi perdebatan panas selama bertahun-tahun.

Namun ketika banyak justifikasi atau alasan lain untuk intervensi militer besar-besaran ke Irak, sulit untuk percaya bahwa Amerika akan melakukan hal yang sama (mengirim setengah juta pasukan ke Negeri 1001 Malam) jika perang terjadi di belahan dunia lain.

Di sisi lain, apapun rasionalisasi dari aksi AS, Perang Teluk I (1991) dan II (2003) memicu saling keterkaitan masalah paling besar di dunia selama periode modern ini, mulai dari: Osama bin Laden, Al Qaeda, akhirnya 9/11 dan ISIS. Biaya penuh invasi AS ke Irak pada tahun 2003 akan dibayar oleh pembayar pajak Amerika selama beberapa dekade.

Sejak itu, bagi para pemimpin Amerika, dan banyak orang lain sepanjang sejarah, harga minyak memang terbukti lebih tinggi daripada yang bisa dibayangkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya