AS Tak Lagi Anggap Ilegal Permukiman Israel di Tepi Barat Palestina

Amerika Serikat mengumumkan sedang melunakkan posisinya pada status permukiman Israel di Tepi Barat Palestina yang diduduki.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 19 Nov 2019, 12:26 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2019, 12:26 WIB
Bentrok Pengunjuk Rasa Palestina dengan Pasukan Israel di Ramallah
Pasukan penjaga perbatasan Israel bergegas ke lokasi bentrokan saat pengunjuk rasa Palestina berdemonstrasi di Ramallah, Tepi Barat, Kamis (17/10/2019). Pengunjuk rasa menentang pembangunan pos terdepan Israel di dekat desa Palestina, Turmus Ayya, dan pemukiman Israel, Shilo. (Jaafar ASHTIYEH/AFP)

Liputan6.com, Washington DC - Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengumumkan pada Senin 18 November bahwa Amerika Serikat sedang melunakkan posisinya pada status permukiman Israel di Tepi Barat Palestina yang diduduki.

Ini merupakan ancang-ancang kebijakan terbaru dari pemerintahan Presiden Donald Trump yang memutarbalik konsistensi kebijakan luar negeri AS atas isu tersebut selama puluhan tahun.

Pompeo mengatakan pemerintahan Presiden Donald Trump tidak akan lagi mematuhi pendapat hukum Departemen Luar Negeri 1978, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (19/11/2019).

Memorandum Hansell dan Posisi AS Atas Permukiman Israel di Tepi Barat

Pendapat hukum 1978 dikenal sebagai Memorandum Hansell. Itu telah menjadi dasar penentangan AS --yang dinarasikan dengan hati-hati-- terhadap pembangunan permukiman selama lebih dari 40 tahun kebijakan luar negerinya.

Seorang pria Palestina memanjat pagar perbatasan yang memisahkan Tepi Barat dengan Yerusalem di Distrik Beit Hanina, Yerusalem, Senin (7/10/2019). Banyak warga Palestina dari Tepi Barat menyeberang secara ilegal ke Israel setiap hari untuk mencari pekerjaan. (AHMAD GHARABLI/AFP)

Memorandum Hansell dibentuk dengan merujuk pada konsensus komunitas internasional yang menganggap permukiman tersebut adalah ilegal berdasarkan sebagian pada Konvensi Jenewa Keempat. Konvensi itu melarang kekuatan pendudukan untuk mentransfer sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah pendudukan.

Perang Arab-Israel II dan Pendudukan Tepi Barat Palestina

Israel merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam Perang Arab-Israel II 1967 (Perang Enam Hari dalam definisi Israel) dan dengan cepat mulai menduduki wilayah yang baru ditaklukkan itu.

Saat ini, sekitar 700.000 pemukim Israel tinggal di dua daerah, yang keduanya diklaim oleh Palestina untuk negara mereka.

Setelah perang, Israel segera mencaplok Yerusalem timur, rumah bagi situs-situs keagamaan paling penting di kota suci itu, dalam suatu langkah yang tidak diakui secara internasional.

Tetapi Israel tidak pernah menganeksasi Tepi Barat, bahkan ketika Israel telah 'menghiasi' wilayah itu dengan sejumlah permukiman dan pos-pos keamanan kecil.

Sementara Israel mengklaim bahwa nasib permukiman adalah subjek negosiasi, Negeri Bintang David terus memperluasnya. Beberapa permukiman besar memiliki lebih dari 30.000 penduduk, menyerupai kota-kota kecil dan berstatus sebagai pinggiran kota Yerusalem dan Tel Aviv.

Palestina dan sebagian besar dunia mengatakan permukiman merusak harapan untuk solusi dua negara dengan melahap tanah yang dicari oleh Palestina sebagai wilayah kedaualatan masa depan negara mereka.

Kegiatan pemukiman Israel juga telah menarik perhatian pada perlakuannya terhadap Palestina.

Sementara pemukim Yahudi dapat dengan bebas memasuki Israel dan memilih dalam pemilihan Israel, orang Palestina di Tepi Barat tunduk pada hukum militer Israel, memerlukan izin untuk memasuki Israel dan tidak memiliki hak untuk memilih dalam pemilihan Israel.

Pada awal 1978, Penasihat Hukum Departemen Luar Negeri AS Herbert J. Hansel mengeluarkan pendapat, atas permintaan dari Kongres AS, bahwa menciptakan permukiman di Tepi Barat Palestina "tidak konsisten dengan hukum internasional", dan bertentangan dengan Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat.

Hansell mengatakan bahwa, "ketika Israel dapat melakukan, tindakan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan militernya di wilayah pendudukan dan untuk menyediakan pemerintahan yang tertib selama pendudukan, karena alasan yang disebutkan di atas (Konvensi Jenewa), pendirian permukiman sipil di wilayah itu tidak konsisten dengan hukum internasional" --demikian seperti dikutip dari surat yang ditulis Hansel untuk Kongres berjudul 'State Department Legal Advisor's letter to the Congress Concerning the Legality of Israeli Settlements in the Occupied Territories 21 April 1978'.

Presiden Obama beberapa jam sebelum lengser di Gedung Putih 20 Januari 2017 (Jim Watson/AFP)

Pendapat ini," belum dicabut atau direvisi", telah menjadi kebijakan Amerika Serikat selama puluhan tahun, dan telah ditegaskan oleh Menlu AS John Kerry, dan para menlu di bawah pemerintahan presiden Lyndon B Johnson , Richard Nixon, Gerald Ford, Jimmy Carter, dan Barack Obama yang semuanya menyatakan permukiman itu ilegal.

Bentuk penentangan bervariasi dalam bentuk, nada, dan kekuatannya, tergantung pada kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh presiden yang menjabat.

Pada hari-hari terakhir pemerintahan Obama misalnya. AS mengizinkan Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi yang menyatakan permukiman di Tepi Barat sebagai "pelanggaran terang-terangan" hukum internasional.

Amerika Serikat sangat jarang memberikan suara mendukung Resolusi PBB yang menyebut permukiman itu sebagai ilegal, kecuali Resolusi 465 pada tahun 1980, dan dalam hal itu pemerintahan presdien Carter kemudian mengumumkan bahwa pemilihan tersebut dilakukan karena kekeliruan akibat miskomunikasi dan akan abstain seperti yang terjadi pada Resolusi 446 dan Resolusi 452.

Tiga Duta Besar AS untuk PBB juga telah menyatakan bahwa permukiman Israel di Tepi Barat Palestina adalah ilegal: George HW Bush (kemudian presiden AS) pada 25 September 1971, William Scranton pada 25 Mei 1976, dan Samantha Power pada 23 Desember 2016. Menlu AS Cyrus Vance dan John Kerry juga mengatakan permukiman itu ilegal.

Simak video pilihan berikut:

Pemerintahan Donald Trump dan Menlu Mike Pompeo Memutarbalik Kebijakan

Bentrok Pengunjuk Rasa Palestina dengan Pasukan Israel di Ramallah
Pasukan penjaga perbatasan Israel membidik saat bentrok dengan pengunjuk rasa Palestina di Ramallah, Tepi Barat, Kamis (17/10/2019). Pengunjuk rasa menentang pembangunan pos terdepan Israel di dekat desa Palestina, Turmus Ayya, dan pemukiman Israel, Shilo. (JAAFAR ASHTIYEH/AFP)

Kini, kebijakan yang telah konsisten selama empat dekade itu akan diputarbalik oleh pemerintahan Presiden Trump dan ujung tombak pemegang kebijakan luar negeri-nya, Menlu AS Mike Pompeo.

Pompeo mengatakan kepada wartawan di Departemen Luar Negeri AS bahwa pemerintahan Trump "percaya setiap pertanyaan hukum tentang permukiman harus diselesaikan oleh pengadilan Israel. Menyatakan mereka sebagai pelanggaran hukum internasional (justru) mengalihkan perhatian dari upaya yang lebih besar untuk menegosiasikan kesepakatan damai."

"Menyebut pembentukan permukiman sipil yang tidak konsisten dengan hukum internasional belum memajukan tujuan perdamaian," kata Pompeo, seperti dilansir Associated Press.

"Kebenaran yang sulit adalah bahwa tidak akan pernah ada resolusi yudisial untuk konflik, dan argumen tentang siapa yang benar dan siapa yang salah karena masalah hukum internasional tidak akan membawa perdamaian."

Perubahan tersebut mencerminkan sikap pemerintah AS yang mendukung pandangan garis keras Israel dengan mengorbankan usaha Palestina untuk menjadi negara yang merdeka. Tindakan serupa telah termasuk keputusan Presiden Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, pemindahan Kedutaan Besar AS ke kota itu dan penutupan kantor diplomatik Palestina di Washington.

Pompeo mengatakan bahwa AS tidak akan mengambil posisi pada legalitas permukiman secara spesifik, dan bahwa kebijakan baru itu tidak akan melampaui area Tepi Barat dan bahwa itu tidak akan menciptakan preseden untuk sengketa teritorial lainnya.

Dia juga mengatakan keputusan itu tidak berarti pemerintah berprasangka terhadap status Tepi Barat dalam perjanjian damai Israel-Palestina.

Pompeo menolak saran bahwa keputusan itu akan semakin mengisolasi AS atau Israel dalam komunitas internasional, meskipun Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menulis di Twitter bahwa perubahan posisi AS atas isu permukiman tersebut berpotensi merusak prospek perdamaian.

"Kami memperingatkan tentang keseriusan perubahan posisi AS terhadap permukiman dan dampaknya pada semua upaya untuk mencapai perdamaian," kata Safadi.

Implikasi

Bentrok Pengunjuk Rasa Palestina dengan Pasukan Israel di Ramallah
Pengunjuk rasa Palestina melempari kendaraan lapis baja Israel saat berdemonstrasi di Ramallah, Tepi Barat, Kamis (17/10/2019). Pengunjuk rasa menentang pembangunan pos terdepan Israel di dekat desa Palestina, Turmus Ayya, dan pemukiman Israel, Shilo. (JAAFAR ASHTIYEH/AFP)

Meskipun keputusan AS sebagian besar simbolis, itu bisa memberikan dorongan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang berjuang untuk kelangsungan politiknya setelah gagal membentuk pemerintah koalisi setelah pemilihan baru-baru ini.

Ini juga bisa menimbulkan masalah lebih lanjut untuk rencana perdamaian pemerintah AS, yang tidak mungkin mengumpulkan banyak dukungan internasional dengan mendukung posisi yang bertentangan dengan konsensus global.

Pemerintah Netanyahu mendapat pukulan telak terhadap permukiman baru minggu lalu ketika Pengadilan Eropa memutuskan produk yang dibuat di permukiman Israel harus dilabeli demikian.

Sementara itu, tak lama setelah pengumuman Menlu AS Mike Pompeo, Kedutaan Besar AS di Yerusalem mengeluarkan peringatan untuk orang Amerika yang berencana bepergian di Tepi Barat, Yerusalem dan Gaza, dengan mengatakan, "individu dan kelompok yang menentang pengumuman (Pompeo) dapat menargetkan fasilitas pemerintah AS, kepentingan pribadi AS, dan warga AS."

Kedutaan juga menyerukan "untuk mempertahankan tingkat kewaspadaan yang tinggi dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan kesadaran keamanan mengingat situasi saat ini."

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya