Liputan6.com, Beirut - Bentrokan pecah di kota-kota di seluruh Lebanon pada Selasa 26 November 2019, ketika konfrontasi antara pendukung partai dan demonstran oposisi memasuki malam ketiga berturut-turut, sekaligus mengancam akan menggagalkan gerakan protes damai.
Yang paling simbolis adalah bentrokan selama berjam-jam antara penduduk Ain al-Remmaneh yang berbeda kubu --awal mula perang saudara Lebanon beberapa puluh tahun lalu-- dan wilayah tetangga Chyah, demikian seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (27/11/2019).
Advertisement
Baca Juga
Pendukung Hizbullah dan Gerakan Amal (Amal Movements) melemparkan batu dan benda-benda lain di seberang jalan antara dua daerah yang menandai garis pemisah antara wilayah Beirut Timur yang mayoritas Kristen dan Beirut Barat yang mayoritas Muslim dalam perang saudara Lebanon 1975-1990.
Orang-orang di sisi lain, yang banyak dari mereka mendukung partai Lebanon Forces, membalas sebelum tentara turun tangan untuk memisahkan kedua pihak.
Tetapi bahkan setelah konfrontasi mereda, ratusan orang terus berkumpul di lorong-lorong gelap Ain al-Remmaneh, memegang tongkat, merokok, dan memeriksa mobil.
Simak video pilihan berikut:
'Area Kami'
Sejumlah orang berkumpul di ambang pintu yang terbuka, menyaksikan perkembangan hanya beberapa ratus meter jauhnya, membahas bagaimana melindungi apa yang mereka sebut "daerah kami".
"Mereka menyerang kita, penghuni tempat ini, tahu itu sensitif. Ini adalah garis depan sebelumnya. Apakah mereka ingin mengulang sejarah?" Joseph, 72 tahun memegang tongkat besar, mengatakan kepada Al Jazeera.
Joseph menarik kemejanya untuk memperlihatkan luka peluru tua di bawah tulang lehernya yang menurutnya telah dideritanya selama menjadi komandan perang di daerah itu.
"Kami tidak ingin kembali ke masa lalu, tetapi kami perlu melindungi keluarga kami. Ini adalah perbatasan kami dan mereka ingin melintasinya, apakah ada yang akan menerimanya," ia bertanya.
"Mereka melakukan semua ini untuk mencoba menghancurkan revolusi. Kita dari barisan kaum revolusioner, tetapi mereka menyeret kita ke suatu tempat yang kita tidak ingin pergi."
Selama lebih dari 40 hari, warga Lebanon di seluruh wilayah agama dan politik telah melakukan demonstrasi massa menuntut agar kelas penguasa era perang saudara dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan manajemen dan korupsi selama bertahun-tahun.
Tetapi sejak Minggu 24 November, gerakan protes yang sebagian besar damai telah menyaksikan meningkatnya kekerasan dan ketegangan sektarian, dalam insiden yang sebagian besar dilakukan oleh para pendukung Hizbullah dan Amal Movements, yang merupakan bagian dari pemerintahan mantan Perdana Menteri Saad Hariri.
Para pendukung partai-partai itu pertama-tama menyerang para pengunjuk rasa di jalan lingkar utama Beirut pada hari Minggu --serangan ketiga yang kembali terjadi sejak protes dimulai.
Sekelompok massa beranggotakan ratusan orang melemparkan batu ke arah pengunjuk rasa dan pasukan keamanan, kemudian memasuki kembali jalan-jalan di daerah Monot yang mayoritas Kristen, membakar mobil dan merusak toko. Sementara itu, mereka meneriakkan: "Syiah, Syiah!"
Advertisement
Demonstrasi Massal di Lebanon
Demonstrasi massal di seluruh Lebanon memicu mundurnya Perdana Menteri Saad Hariri pada 29 Oktober lalu. Demonstrasi itu awalnya memprotes usul pajak baru, namun bergulir menjadi seruan bagi seluruh elite politik untuk mundur.
Lebanon kini dililit korupsi dan menjadi salah satu negara dengan utang terbesar di dunia, dibanding perolehan GDP-nya.
Negara beribu kota Beirut itu juga berada di ambang kehancuran finansial, menurut pakar ekonomi. Satu-satunya jalan keluar adalah membangun pemerintahan dan mengakhiri kekacauan. Tetapi pimpinan interim saat ini masih belum sepakat soal penunjukkan perdana menteri baru atau sesi sidang.
Demonstran menuding kekacauan disebabkan korupsi di antara politisi yang itu-itu saja, dan menyatakan demonstrasi akan berlanjut sampai semua mengundurkan diri dan digantikan oleh "teknokrat" yang tidak berpolitik.
Banyak karyawan yang pasrah gajinya dipotong separuh dibandingkan mereka kehilangan pekerjaan, bisnis sepi, dan bank membatasi jumlah uang yang bisa ditarik atau dikirim ke luar negeri.