Korupsi hingga Penggusuran Masyarakat Adat, Ini Skandal Kacaunya SEA Games 2019

Di balik SEA Games 2019 yang sedang berlangsung di Filipina, ternyata ada berbagai skandal yang terjadi dibaliknya.

diperbarui 08 Des 2019, 12:01 WIB
Diterbitkan 08 Des 2019, 12:01 WIB
Logo SEA Games 2019
Logo SEA Games 2019. (Bola.com/Dody Iryawan)

Manila - Laporan tentang buruknya persiapan dan koordinasi, serta foto-foto yang menunjukkan belum rampungnya pembangunan fasilitas SEA Games 2019 menimbulkan dugaan tentang kemungkinan salah urus dana lebih dari Rp 2 triliun.

Pesta olahraga se-Asia Tenggara atau SEA Games telah dimulai sejak Sabtu 30 November di Manila, Filipina. Namun laporan tentang tim atlet yang terlantar di bandara dan harus menunggu berjam-jam untuk bisa masuk dan beristirahat di kamar hotel mereka menjadi viral di media sosial. Demikian dikutip dari DW Indonesia, Minggu (8/12/2019). 

Dalam sebuah pernyataan singkat kepada DW, Senator Filipina Franklin Drilon mengatakan dia akan mendesak Senat untuk mengadakan penyelidikan pengeluaran anggaran SEA Games dan meminta Komisi Audit untuk memeriksa penggunaan dana pesta olahraga ini.

Dilon yang merupakan senator oposisi pemerintah ini mempertanyakan alokasi dana SEA Games yang berada di bawah Departemen Luar Negeri (DFA), yang menurutnya, tidak memiliki mandat penyelenggaraan olahraga.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pihak SEA Games Minta Audit Ditunda

Timnas Indonesia vs Laos
Pemain Timnas Indonesia, Osvaldo Haay dan Sani Rizky, berdoa usai melawan Timnas Laos dalam pertandingan Grup B SEA Games 2019 di Stadion City of Imus Grandstand, Filipina, Kamis (5/12/2019). Timnas U-22 Indonesia berhasil melaju semifinal setelah mengalahkan Laos 4-0. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

"Kami menyambut baik adanya investigasi dan audit atas dana publik yang digunakan setelah penyelenggaraan pertandingan ini selesai. Kami meminta agar saat ini kami diizinkan fokus pada penyelenggaraan SEA Games," Jarie Osias, Juru Bicara Komite Penyelenggara Olimpiade Asia Tenggara di Filipina (PHISGOC), mengatakan kepada DW.

"(Penyelidikan oleh Senat) tidak akan jadi terlambat pada saat itu. (Karena) kami diharuskan menyerahkan laporan likuidasi dan buku-buku kami diaudit pada akhir tahun ini," jelas Osias.

Sebanyak 11 negara di Asia Tenggara berlaga di 56 cabang olahraga dengan lebih dari 500 pertandingan yang akan berlangsung hingga 11 Desember 2019.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga telah memerintahkan penyelidikan terpisah terhadap dugaan kesalahan pengelolaan dana.

"Kantor Kepresidenan juga akan melakukan penyelidikan terpisah terkait penyimpangan dan ketidakteraturan dalam administrasi SEA Games segera setelah pertandingan (berakhir)," ujar Juru Bicara Presiden, Salvador Panelo, dalam sebuah pernyataan. Dalam jumpa pers pekan lalu, Panelo bertekad akan meminta pertanggungjawaban terhadap pihak yang terkait. 

Masyarakat Adat Tergusur

Ilustrasi bendera Filipina (AFP/Noel Cells)
Ilustrasi bendera Filipina (AFP/Noel Cells)

Selain skandal korupsi, penggunaan tanah komunitas adat Aeta untuk ajang ini juga menjadi berita utama di Filipina. Komunitas adat Aeta tinggal di pinggiran New Clark City yang sekarang menjadi pusat penyelenggaraan SEA Games.

Wilayah pegunungan yang oleh suku Aeta dianggap sebagai rumah telah diratakan. Tanah-tanah pertanian mereka juga telah rata guna memberi jalan bagi perangkat berat seperti buldoser untuk membangun kompleks olahraga, antara lain yaitu stadion berkapasitas 20.000 kursi dan "desa" bagi para atlet.

Sekitar 200 keluarga dari suku Aeta dilaporkan terusir ketika arena olahraga ini dibangun. Namun aktivis mengatakan akan ada sekitar 50.000 orang dari suku Aeta dan 10.000 petani yang kehilangan tempat tinggal jika rencana untuk mengubah 9.450 hektar lahan menjadi kota metropolis modern berhasil diselesaikan.

Namun Vivencio Dizon, Kepala Eksekutif Bases Conversion Development Authority (BCDA), yang mengawasi proyek ini mengklaim bahwa tidak ada komunitas adat yang dipindahkan.

Pia Montalban, aktivis organisasi kelompok seniman Kamandang, mengatakan kepada DW bahwa awal pekan ini saja ada sekitar 500 keluarga dari suku Aeta yang diberi tahu bahwa mereka punya waktu satu minggu untuk pindah.

"Ada banyak perdebatan tentang siapa yang dipindahkan: Aeta atau petani? Mereka adalah manusia. Mereka terusir dan pemerintah tidak berbuat cukup untuk membantu mereka," kata Montalban. Ia juga berpendapat bahwa orang-orang Aeta tidak diberi kompensasi yang layak.

"Orang-orang Aeta tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan. Relokasi ini telah sepenuhnya mengubah cara hidup mereka," ujar Zenaida Brigada Pawid, mantan komisioner Komisi Nasional Masyarakat Adat (NCIP), kepada DW.

"Kami tidak menentang pembangunan, tetapi pemerintah perlu mempersiapkan orang-orang ini untuk menghadapi dampak pembangunan. Anda tidak bisa hanya memberi kompensasi kepada suku Aeta seperti dengan memberi mereka toko untuk menjual produk atau membuat mereka mengenakan pakaian adat hanya untuk dipamer-pamerkan," Pawid menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya