Liputan6.com, Gaza - Israel memberikan izin bagi warga kristen yang berasal di jalur Gaza untuk mengunjungi Tepi Barat dan kota suci Bethlehem dan Yerusalem selama Natal. Keputusan ini berubah dari kabar sebelumnya yang menyebut Israel tak mengizinkan ada umat Kristen dari Gaza masuk ke wilayah Bethlehem.
Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (23/12/2019), pemberian izin bagi warga Kristen di Gaza untuk memasuki lokasi-lokasi vital tersebut diumumkan oleh pejabat militer Israel.
Advertisement
Baca Juga
"Izin masuk ke Yerusalem Tepi Barat akan dikeluarkan sesuai dengan penilaian keamanan dan tanpa mempertimbangkan usia," kata utusan militer Israel di Palestina, Minggu kemarin.
Belum jelas ada berapa banyak warga Kristen dari Gaza yang akan diizinkan memasuki Israel selama libur Natal. Semarak Natal sendiri sudah dimulai di Gaza.
Komunitas Kristen Gaza cukup kecil, sekitar 1.000 dari jumlah populasi penduduk 2 juta. Kebanyakan beraliran Ortodoks Yunani.
Israel menganggap Hamas sebagai kelompok teroris dan telah dua kali berperang melawan Hamas dalam 10 tahun terakhir.
Militan Hamas terus menembaki roket ke Israel. Hubungan keduanya pun kembali bergejolak karena International Criminal Court (ICC) mengumumkan untuk menginvestigasi kejahatan perang dari pasukan Israel pada Perang Gaza di 2014. Hamas juga akan ikut diperiksa.
Pihak Palestina menyambut baik keputusan ICC, sementara Israel pun mempertanyakan kedaulatan dan wilayah Palestina, serta bersikeras menganggap Palestina tidak punya hak untuk mengadu ke ICC.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Investigasi Kejahatan Perang Israel di Jalur Gaza Akan Dimulai
Sebelumnya dikabarkan, pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) memutuskan untuk menginvestigasi kejahatan perang yang terjadi antara Israel dan Palestina pada 2014 di Jalur Gaza. Israel Defense Forces (IDF) diduga melakukan kejahatan tersebut. Hamas pun akan diperiksa.
Pihak Israel marah pada keputusan tersebut, namun pihak Palestina menyambut dengan positif.
Daerah yang masuk wilayah investigasi termasuk Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Keputusan itu diambil Jaksa ICC Fatour Bensouda.
"Saya puas bahwa ada basis beralasan untuk melanjutkan investigasi terkait situasi di Palestina," ujar wanita itu dalam pernyataan resmi.
Butuh lima tahun hingga investigasi ini bisa dilanjutkan. Keputusan investigasi diumumkan ICC pada Jumat kemarin dan mendapat sambutan positif dari PBB dan organisasi HAM.
Pelapor khusus (special rapporteur) PBB Michael Lynk berkata pemimpin politik dan militer Israel dapat dituntut pertanggungjawaban, begitu pula mereka yang bermukim di wilayah Palestina.
"Terdapat argumen yang kuat bahwa pemukiman itu adalah pelanggaran hukum internasional," ujar Lynk seperti dikutip Arab News.
Tak lupa, ia pun turut mengungkit perang di Gaza pada tahun 2014 yang merenggut nyawa 1.500 warga Palestina.
Direktur Human Rights Watch di Israel dan Palestina, Omar Shakir, berkata ICC dapat melangkah maju untuk memeriksa kelompok bersenjata kedua belah pihak, termasuk kejahatan perang yang dilakukan Hamas dan kelompok militan Palestina.
"Ini seharusnya menjadi pesan yang jelas kepada pemerintah Israel bahwa usaha-usaha mereka untuk menulis ulang hukum internasional telah gagal, dan gerbang keadilan akan menang. Rakyat Israel seharusnya sadar bahwa dunia tidak lagi terbuai dengan alasan-alasan mereka," ujar Omar Shakir yang bulan lalu dideportasi Israel.
Advertisement
Jaksa Agung Israel Menentang
Satu masalah yang bisa menjegal Palestina adalah terkait yuridiksi. Pasalnya, pihak Israel berkata wilayah Palestina belum jelas, sehingga ICC tidak punya yuridiksi di Tepi Barat atau Gaza.
Israel bukan bagian dari Statuta Roma terkait pidana internasional, sementara Palestina bergabung ke dalam statuta itu pada 2015 lalu. Namun, pihak Israel terus mempertanyakan kedaulatan Palestina.
"Klaim bahwa rakyat Palestina telah bergabung ke Statuta Roma tidaklah memenuhi maupun menggantikan uji substantif bahwa yuridiksi kriminal haruslah diserahkan ke pengadilan oleh negara berkedaulatan dengan wilayah yang jelas," ujar Jaksa Agung Israel Avichai Mandelbilt seperti dikutip The Guardian.
Uji yuridiksi ini juga dikritik oleh Human Rights Watch karena memperlambat keadilan bagi korban. Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Maliki berkata uji ini akan selesai dalam 120 hari.
"Sebuah keputusan akan dibuat sebelum April 2020," ujarnya.
PM Israel Benjamin Netanyahu tentunya marah atas keputusan ICC. Ia menyebut putusan ini sebagai hari yang kelam bagi kebenaran dan keadilan.
"Keputusan itu tak berdasar dan keterlaluan," ujar Netanyahu.