Canberra - Penyebaran Corona COVID-19 begitu cepat. Hal ini lantas membuat pemerintah Australia memperketat sejumlah aturan.
Mulai dari penerapa social distancing yaitu menjaga jarak antar orang. Sehingga, aturan ini berdampak pada kegiatan masyarakat. Salah satunya yang paling berdampak yaitu penyelenggaraan ibadah bagi umat beragama yang tinggal di Australia.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, pemerintah Australia turut melarang kegiatan di dalam ruangan yang dihadiri oleh banyak orang, sekitar 100 lebih. Olehkarenanya, banyak komunitas beragama salah satunya dari warga Indonesia yang mengalihkannya menjadi ibadah online.
Seperti yang dilakukan oleh gereja 'Indonesian Christian Church', atau ICC, yang mulai menerapkannya Minggu lalu, 15 Maret.
Meniadakan ibadah Minggu di gereja menjadi pertama kalinya, sejak gereja ini berdiri lima belas tahun yang lalu.
Surat edaran telah disebarkan pengurus gereja ICC kepada anggota jemaatnya.
"Keputusan ini sulit, namun diambil sebagai wujud kasih terhadap sesama, khususnya jemaat ICC."
"Kami sangat mengimbau Anda tinggal di rumah untuk meminimalisasi kemungkinan Anda bersentuhan dengan orang yang telah terjangkiti virus (terlebih yang belum menunjukkan gejala apapun)."
Kebaktian Dilakukan Secara Online
Sebagai gantinya, ICC menggelar kebaktian online di jam yang sama seperti biasanya ibadah berlangsung. Namun kali ini melalui akun Facebook ICC.
Pendeta Christian Tirtha, gembala jemaat ICC yang melayani ibadah online mengaku merasa canggung dan tidak terbiasa.
"Kemarin Minggu itu saya pinjam salah satu ruang kantor gereja untuk duduk sendiri menghadap laptop. Satu-satunya wajah yang saya lihat adalah wajah sendiri," tutur Pendeta Christian.
"Yang saya rasakan sangat kehilangan, dan sekali lagi ini perasaan hampir seluruh jemaat kami, adalah aspek kehadiran satu sama lain."
Menurut Christian, aspek kehadiran fisik di ruang ibadah sudah menjadi faktor yang penting bagi umat Kristen, meski secara teologis gereja tidak identik dengan bangunan gedung atau ruang ibadah.
"Gereja lebih identik dengan orang Kristen yang berkumpul untuk bersama-sama belajar menjadi semakin seperti Kristus."
Kezia Wijaya, salah satu jemaat ICC yang mengikuti kebaktian online merasa cukup puas dengan metode ibadah ini meski tidak ideal.
"Menurutku ya seperti ibadah biasa. Mungkin yang mengganggu adalah kalau tiba-tiba koneksi tersendat."
"Selain itu biasanya di ibadah face-to-face ada worship untuk mempersiapkan hati. Kali ini harus worship sendiri di rumah sebelum ibadah," ujar Kezia yang pertama kali ikut ibadah online.
"Sebagai jemaat menurutku memang ada bagusnya ibadah online karena bisa mencegah penularan virusnya, dan aku menghargai gereja-gereja yang memberi opsi ini."
Ia berharap keputusan ibadah online juga bisa membantu upaya 'social distancing' yang diterapkan Pemerintah Australia.
Sementara Pendeta Christian berharap dalam situasi sekarang, jemaat tetap bertumbuh di dalam iman, pengetahuan, dan kasih.
"Kiranya social distancing ini tidak dibarengi dengan spiritual distancing yang membuat kita semakin jauh dari Tuhan dan satu sama lain," ucapnya.
Selain kebaktian hari minggu, pengurus gereja juga mengalihkan sejumlah kegiatan ICC di luar ibadah Minggu, seperti persekutuan doa dan seminar mingguan, yang kini bisa diakses online.
"Kami sudah dan terus mengadakan beberapa trial run dan sejauh ini masukannya cukup positif."
Warga Muslim Ikut Turunkan Risiko
Kesadaran untuk menerapkan 'social distancing juga sudah ditunjukkan oleh umat muslim di Melbourne, termasuk komunitas umat muslim Indonesia.
Teguh Iskanto dari Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV) menghimbau agar warga Muslim Indonesia menaati anjuran Pemerintah Federal Australia.
Perdana Menteri Scott Morisson telah melarang semua kegiatan sosial yang melibatkan lebih dari 100 orang di dalam ruangan.
Rabu kemarin 18 Maret, dewan imam di Australia, yakni Australian National Imams Council (ANIC) mengeluarkan fatwa agar semua umat muslim melakukan ibadah salat di rumah dan mengganti salat Jumat dengan salat dhuhur.
"Tentunya sebagai organisasi kemasyarakatan kami akan mengikuti semua anjuran-anjuran tersebut, dan fatwa terbaru dari ANIC kemarin juga semakin menguatkan," ujar Teguh.
Menurut Teguh, anjuran untuk melakukan social distancing dapat teratasi melalui teknologi.
"Alhamdulillah, dengan adanya kemajuan teknologi semua ini kita bisa lakukan dan fasilitasi tanpa harus memberikan risiko kepada umat atau jamaah kita," katanya.
Selain ibadah, IMCV memiliki banyak kegiatan lainnya untuk mendukung warga Muslim Indonesia di Australia, khususnya di negara bagian Victoria untuk terus memperdalam dan mempraktikkan ajaran Islam.
Sejak adanya anjuran untuk menjaga jarak demi menekan laju penyebaran virus corona, beberapa kegiatan telah dialihkan ke metode online.
"Kelas Tahfidz dan TPA (Taman Pendidikan Quran) dan kajian-kajian Islam sudah dipindahkan dalam bentuk online melalui Webex," jelas Teguh.
Menurut Teguh, keputusan untuk memakai platform online adalah agar proses kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan, walaupun dalam keaadan seperti sekarang ini.
"Metode online juga dipakai untuk penyuluhan dan advokasi perihal COVID-19 kepada jamaah perihal pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan, khususnya golongan yang rentan terpapar," tambahnya.
Beberapa masjid lain di Melbourne juga telah memutuskan untuk menghentikan sementara salat lima waktu berjamaah.
Sementara ada juga sejumlah masjid yang masih terbuka, namun mengatur barisan salat agar tidak terlalu berdekatan.
Hingga saat ini belum ada pembicaraan mengenai bagaimana kegiatan di bulan Ramadan akan berlangsung.
Masih ada ibadah yang berlangsung normalMeski demikian, masih ada beberapa komunitas beragama asal Indonesia di Australia yang memilih melangsungkan ibadahnya dengan normal.
Gereja Pantekosta Indonesia di Melbourne (GPdI), misalnya, masih akan menggelar kebaktian seperti biasa pada hari Minggu besok 22 Maret.
Tapi, ibadah yang biasanya dilakukan di dua lokasi yang berbeda akan digabungkan ke satu lokasi saja, karena gedung kebaktian yang biasanya dipakai di kawasan Melbourne CBD telah ditutup menyusul pandemi corona.
Yohanes, jemaat GPdI yang biasa beribadah di kawasan CBD mengaku akan tetap datang beribadah meski harus ke kawasan Noble Park yang berjarak tak kurang dari 30 kilometer dari CBD.
"Saya akan datang ke ibadah di Noble Park karena itu adalah ibadah."
"Kondisi infection memang sudah semakin parah, tapi masih memungkinkan untuk beribadah. Noble Park belum 'code red' saya rasa, jadi masih akan tetap beribadah," tambah Yohanes.
Tapi keputusan ini tidak mendapat tanggapan berbeda, ada pula yang memilih untuk tidak datang karena alasan pribadi, seperti diungkapkan anggota jemaat GPdI lainnya, Bella Safira.
"Saya nggak terlalu takut. Tapi karena punya anak, lebih baik kami nggak datang [ibadah].
"Saat ini ibadah online lebih bagus daripada tidak ibadah sama sekali. Lebih baik untuk menunggu hingga waktu yang tepat untuk bisa ibadah offline lagi," ujarnya.
Menyesuaikan keuskupan dan pemerintah setempatBagi umat Katolik dari Keluarga Katolik Indonesia (KKI) Melbourne hingga laporan ini diturunkan masih belum memutuskan apakah misa Minggu mendatang akan berlangsung seperti biasa.
"Pengurus KKI baru akan membicarakannya Jumat sore 20 Maret, jadi keputusannya mungkin baru akan diketahui hari Sabtu," kata Ketua KKI Budi Pranoto.
Ia menambahkan, apapun keputusannya, itu pasti akan sesuai dengan arahan dari Keuskupan dan pemerintah setempat.
"Salah satu yang akan dibahas dalam rapat pengurus besok adalah soal misa online dan alternatif lainnya. Untuk online, kami sudah ada panduannya," ujarnya.
Sementara itu mengenai aktivitas gereja yang lain di luar misa hari Minggu, menurut Budi semua aktivitas umat di masing-masing wilayah sudah ditiadakan mulai pekan ini.
Banyak cara yang dilakukan agar dalam gempuran penyakit yang mengancam jasmani, seperti virus corona, kita bisa menghadapinya dengan rohani yang sehat.
Ini mengingatkan kita pada pepatah lama: 'Orandum est ut sit mens sana in corpore sano.'
Berdoalah agar dalam tubuh yang sehat, ada jiwa yang sehat.
Advertisement