Liputan6.com, Jakarta - Sejarah mencatat bahwa perwakilan dari Uni Soviet, Afghanistan, Amerika Serikat, dan Pakistan menandatangani perjanjian yang menyerukan penarikan pasukan Soviet dari Afghanistan.Â
Sebagai imbalan untuk mengakhiri pendudukan Soviet yang disengketakan, Amerika Serikat setuju untuk mengakhiri dukungan senjatanya untuk faksi-faksi anti-Soviet Afghanistan. Demikian seperti dilansir dari laman History.com, Senin (13/4/2020).Â
Advertisement
Selain itu, Afghanistan dan Pakistan juga sepakat untuk tidak ikut campur dalam urusan masing-masing.
Sebelumnya pada 1978, kudeta yang didukung Soviet di Afghanistan memasang pemerintahan komunis baru di bawah Nur Mohammad Taraki.Â
Namun, pada tahun 1979, kudeta kedua menggulingkan pemerintahan Taraki yang mendukung Hafizullah Amin, seorang pemimpin Muslim yang kurang disukai Soviet.
Pada Desember 1979, tank dan pasukan Soviet menyerbu Afghanistan, dan Amin pun terbunuh dalam kudeta yang didukung Soviet.Â
Perlawanan Gerilyawan Muslim
Meskipun mendapat keuntungan awal, tentara Soviet bertemu dengan perlawanan tak terduga dari gerilyawan Muslim, yang meluncurkan jihad, atau "perang suci," melawan para ateis asing.
Dipersenjatai oleh Amerika Serikat, Inggris, China, dan beberapa negara Muslim, muhajadeen," menimbulkan korban besar pada pihak Rusia.
Di Uni Soviet, kegagalan Tentara Merah untuk menekan gerilyawan, dan tingginya biaya perang dalam kehidupan dan sumber daya Rusia, menyebabkan perselisihan yang signifikan dalam Partai Komunis dan masyarakat Soviet.
Pada April 1988, setelah bertahun-tahun mengalami kebuntuan, pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev menandatangani perjanjian damai dengan Afghanistan.
Pada Februari 1989, tentara Soviet terakhir meninggalkan Afghanistan, tempat perang saudara berlanjut sampai perebutan kekuasaan Taliban di akhir 1990-an.
Advertisement