Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini Presiden Donald Trump menyampaikan hendak menuntut China, atas kerugian yang diderita oleh AS akibat penyebaran pandemi Corona COVID-19.
Sebuah koran di Jerman pun melakukan kalkulasi kerugian yang diderita negaranya. Di Inggris juga ada pihak yang mengungkap hal senada.
Bahkan, di AS Jaksa Agung negara bagian Missouri telah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan setempat.
Advertisement
Seorang pengamat sekaligus Guru Besar Hukum Internasional UI dan rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana pun membagikan pandangannya terkait masalah ini.
Baca Juga
Menurutnya, permasalahan utama dalam mendapat ganti kerugian yang diderita adalah ke mana gugatan itu dilayangkan, apa yang menjadi dasar gugatan dan apakah putusan dapat dieksekusi.
Bila gugatan dilayangkan ke pengadilan di suatu negara maka pemerintah China, akan mudah mematahkannya dengan alasan pemerintah China memiliki kekebalan (immunity) di lembaga peradilan nasional.
Bila diajukan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau arbitrase internasional seperti Permanent Court of Arbitration, maka China harus menyatakan persetujuan terlebih dahulu untuk menjadi pihak yang digugat.
"Tentu pemerintah China tidak akan memberikan persetujuan tersebut. Intinya membawa pemerintah China ke lembaga peradilan maupun arbitrase nasional maupun internasional akan sia-sia, sekalipun yang mengajukan adalah pemerintah suatu negara," ungkapnya.
Menurutnya, walaupun ada lembaga peradilan yang menyatakan berwenang untuk mengadili, isu berikutnya adalah apa yang menjadi dasar gugatan.
Dasar yang digunakan oleh banyak pihak adalah tidak transparannya pemerintah China diawal penyebaran COVID-19.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Mudah Tuntut China
Dalam hukum pihak yang menggugat wajib membuktikan apa yang didalilkan.
Tentu ini tidak akan mudah bagi siapapun yang menggugat China karena pemerintah China akan tidak memberi akses kepada siapapun untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dari negara China.
Kalaulah ada suatu pengadilan yang memutuskan China bersalah dan mewajibkan pembayaran ganti rugi, permasalahan berikutnya adalan bagaimana putusan tersebut dieksekusi. Satu hal yang pasti pemerintah China tidak akan dengan sukarela menjalankan putusan.
Putusan dari lembaga peradilan hanyalah 'menang' diatas kertas. Untuk benar-benar merasakan kemenangan tersebut perlu untuk dijalankan atau dieksekusi.
"Memang terdapat aset-aset China yang tersebar di berbagai negara. Namun saat dieksekusi akan dihalangi dengan alasan aset tersebut memiliki kekebalan (bila berkaitan dengan aset kedutaan besar) atau aset tersebut bukan milik pemerintah China, melainkan BUMN China atau swasta asal China," demikian menurut pandangan Hikmahanto.
Menuntut ganti rugi dari negara yang dianggap bertanggung jawab atas suatu tindakan yang dilakukan bukanlah hal baru.
Pasca Perang Dunia Kedua, misalnya, banyak pihak yang menuntut ganti rugi atas tindakan penjajahan. Namun proses ganti rugi ini tidak dilakukan melalui lembaga peradilan, namun melalui proses di luar lembaga peradilan.
Menurutnya, proses seperti ini harus dimulai dari kesadaran negara yang memunculakan kerugian. Negara tersebut kemudian menyepakati dengan negara yang dirugikan bentuk-bentuk ganti kerugian.
"Pasca-Perang Dunia Kedua ini yang dikenal dengan sebutan pampasan perang. Dalam konteks COVID-19, tentu pemerintah China bisa memberikan pampasan bagi negara-negara terdampak," jelasnya kemudian.
Advertisement
Biaya Fantastis
"Bila dikalkulasi tentu biaya yang harus dikeluarkan akan sangat fantastis. Sepertinya pemerintah China tidak akan melakukan opsi ini," papar Hikmahanto lagi.
Namun pemerintah China dapat melakukan tiga hal penting sebagai respons dari suara-suara yang menuntut ganti rugi tanpa memberikan pampasan.
Pertama, China tidak akan mengambil keuntungan dari bencana dunia ini. Baik keuntungan ekonomi dan finansial, politik maupun sosial.
Kedua, China sedapat mungkin memberi bantuan kepada negara-negara terdampak dalam bentuk apapun untuk meringankan kerugian oleh banyak negara.
Terkahir, China harus memperbaiki 'imej'-nya di mata dunia bahwa ia bukanlah negara yang hendak mendominasi dunia dengan kekuatan finansial dan militernya.
Tiga hal ini tentunya didasarkan pada kesadaran China untuk bertanggung jawab.
"Namun bila pemerintah China tetap bersikukuh tersebarnya pandemi COVID-19 bukan karena kegagalan penanganan dini olehnya maka suara dunia untuk mendapatkan kompensasi akan terkubur," tutupnya.