Liputan6.com, Jakarta - Dunia sedang melakukan 'eksperimen' bekerja dari jauh yang paling besar dalam sejarah. Pemicunya: pandemi global virus corona. Namun, beberapa orang ini telah memikirkan kehidupan seperti apa setelah lockdown nanti.
Ada banyak kekhawatiran, seperti PHK besar-besaran, infrastruktur transportasi, dan bagaimana kita harus tetap melakukan physical distancing setelah lockdown. Pemerintah pun membuat rencana untuk orang-orang untuk kembali bekerja.Â
Bahkan di Amerika Serikat, riset menunjukan 74% bisnis menginginkan pekerja untuk tetap bekerja dari jarak jauh dan para pengusaha mulai perlahan mengurangi ruang kantor mereka, menisyaratkan untuk orang-orang lebih banyak bekerja dari rumah.Â
Advertisement
Jadi ini adalah beberapa hal yang mungkin akan berbeda ketika kita kembali bekerja menyusul pandemi virus corona, seperti dikutip dari BBC, Minggu (17/5/2020).
Simak video pilihan berikut ini:
1. Komuter ke Kantor Akan Berubah Selamanya
Kita mungkin rindu interaksi sosial di kantor, namun sepertinya mereka tidak merindukan komuter, atau perjalanan jauh yang harus ditempuh ke tempat kerja.
Sebelum lockdown, total komuter di Amerika telah melampaui batas dan di Inggris pekerja memiliki total perjalanan setidaknya enam bulan dalam satu tahun hanya untuk menempuh jarak daro rumah ke tempat kerja. Orang-orang berpikir bahwa kerja hybrid di kantor dan rumah merupakan salah satu skenario yang ideal.Â
Bagi mereka yang ingin kembali bekerja seperti normal di kantor, sepertinya harus menunggu beberapa minggu bahkan bulan ke depan. Bahkan meski situasinya lancar dan memungkinkan orang untuk kembali, tapi pemerintah memiliki rencana agar transportasi tidak kewalahan.
Advertisement
2. Etiket Email yang Buruk Tidak Akan Ditoleransi
Cara berkomunikasi di tempat kerja pun dengan cepat berubah, hal ini juga terjadi pada penulisan email. Saat menulis email sangat penting membedakan email untuk kerja dengan email yang santai.Â
Riset menunjukan bahwa mengirim email di luar jam kerja bukan saja etiket yang buruk, namun itu juga membentuk budaya kerja koersif, dimana orang harus ada selama 24 jam selama satu minggu. Ilmuwan Sosial berpendapat bahwa hal itu membuat seseorang menjadi hibrida pekerja dan smartphone dan bisa menyebabkan stress. Bahkan menanti email agar cepat dibalas juga merupakan bullying.Â
Banyak para kolega membutuhkan kerja yang fleksibel karena tanggung jawab mereka yang lain. Lockdown ini telah mendorong orang untuk lebih fleksibel dalam tempat bekerja. Tapi, bukan berarti budaya ini dikembangan untuk membuat orang siap siaga sepanjang waktu.
3. Meeting Video Mungkin Akan Terbatas
Panggilan video Zoom telah menjadi bagian hidup kita, namun kita juga harus siap beradaptasi untuk kedepannya. Riset menunjukan bahwa panggilan secara video lebih menguras dan melelahkan dibanding pertemuan perorangan.Â
Meski panggilan video dapat digunakan untuk beberapa pertemuan, namun kita tidak harus menggunakan mereka untuk berkomunikasi. Riset menunjukkan bahwa panggilan telepon dari manager lebih mudah dipahami.
Advertisement
4. Munculnya Ruang Kerja Co-Working
Para pekerja juga harus rela bekerja di ruang yang sempit sebagai alternatif. Bahkan ketika lockdown sudah dicabut, mereka akan beralih ke cafe dan co-working space yang masih buka. Bahkan sebelum ada COVID-19 co-working space bertumbuh 40%Â
Paradoks kerja dari rumah memang menginginkan fleksibilitas kerja yang baru, namun perlu digaris bawahi bila orang juga bisa lebih menjadi produktif ketika berada di samping orang lain. Riset menunjukan bahwa bekerja secara jarak jauh dapat membuat orang rindu dari kedekatan secara fisik yang bisa dirasakan bersama orang lain. Hal ini menunjukan mengapa pekerja IBM pada tahun 2017 mendukung untuk kembali ke kantor setelah mereka bekerja dari jarak jauh sejak 2014.Â
Ruang kerja bersama, yang bertentangan dengan merek besar yang didanai investor seperti WeWork, akan berhasil. Ruang kerja mandiri yang independen di beberapa daerah berkembang pesat sebelum COVID-19 dan akan terus berkembang --setidaknya jika mereka selamat dari kebijakan lockdown yang membuat bisnis terhenti sementara.
5. Nomaden Digital Paruh Waktu
Nomaden digital adalah pekerja jarang jauh yang ekstrem yang memposting story Instagram di tempat-tempat yang menarik. Saat ini, di tenngah pandemi, kehidupan seperti itu tidak berhubungan dan tidak mungkin, bahkan kehidupan seperti itu tidaklah etis.Â
Bahkan meskipun begitu banyak dari mereka mendapatkan gaji yang cukup, terutama bagi mereka yang berada di New York, London, dan Paris, mereka terkunci di apartemen mungil yang tidak nyaman dan berharap bisa keluar dari lockdown. Bahkan seorang manajer perumahan mengatakan "Kehidupan di kota London tanpa adanya hiburan malam tidaklah menyenangkan. Semua orang ingin bepergian kemana saja ketika diizinkan. Aku tidak tahu jika aku mengizinkannya, tapi itu sangat dipahami."
Untuk saat ini kerja jarak jauh dari tempat yang berbeda tidak diperbolehkan. Namun daya pikat untuk pindah ke tempat dengan pemandangan indah tetap memikat, CEO AirBnB, Brian Chesky, mendukungnya. Dia melihat situasi COVID-19 ini menjadi peluang bisnis yang besar, dirinya pun mengatakan  kepada Bloomberg: "Orang-orang menyadari bahwa mereka dapat bekerja dari jauh ... itu peluang besar."
Tapi tidak semua orang akan setuju, akan ada masalah sustainability dan tidak semua orang memiliki fasilitas tersebut. Namun ketika lockdown benar-benar dicabut, orang mungkin akan dihadapi konsep bekerja dari jarak jauh dari berbagai belahan dunia, di luar ruang keluarga mereka.
Advertisement