Psikiater Waspadai Gelombang Pasien Kejiwaan Baru Usai Lockdown Corona

Masalah kesehatan mental juga merupakan hal yang tumbuh ditengah pandemi COVID-19 ini, seperti apa kelanjutannya?

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Mei 2020, 19:40 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2020, 19:40 WIB
psikiater-131002c.jpg
Konsultasi dengan psikiater

Liputan6.com, London - Psikiater memperingatkan "tsunami" penyakit mental dari masalah yang tersimpan selama lockdown pandemi virus corona.

Mereka khususnya prihatin bahwa anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan karena penutupan sekolah, isolasi diri, dan ketakutan akan rumah sakit di tengah pandemi virus corona, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (17/5/2020).

Dalam sebuah survei, psikiater melaporkan peningkatan dalam kasus darurat dan penurunan janji temu rutin dengan psikiater.

Mereka menekankan bahwa layanan kesehatan mental masih terbuka untuk bisnis di tengah pandemi virus corona.

Simak video pilihan berikut:


Banyak Pasien Takut Mencari Bantuan

[CERITA] Terkurung Sepi
Pasien duduk di kursi di halaman rumah sakit jiwa "EPS de Ville Evrard, psikiatri pusat du Bois de Bondy", di Bondy, Paris pada 7 Mei 2020. Para pasien telah mengalami kebijakan lockdown dari awal pandemi Covid-19 di Prancis pada Maret lalu dan belum menerima kunjungan sejak itu. (Loic VENANCE/AFP)

"Kita telah melihat efek yang besar terhadap kejiwaan akibat COVID-19, dengan lebih banyaknya orang yang ada di tengah krisis," ujar Profesor Wndy Burn, presiden dari Royal College of Psychiatrist. 

"Namun kita juga harus tetap peduli kepada orang-orang yang membutuhkan tapi mereka tidak mendapatkan dukungan. Ketakutan kita adalah lockdown menyimpan masalah yang kemudian dapat menyebabkan 'tsunami' kasus baru," ujarnya. 

Sebuah survei menunjukan 1.300 dokter kejiwaan dari seluruh Inggris menunjukan bahwa 43% orang membutukan bantuan secepatnya, sedangkan 45% menunjukan pengurangan janji rutin kepada psikiater. 

Salah satu psikiater berkata: "Dalam praktisi psikiater kuno pasien saat ini telah 'menguap', saya rasa mereka terlalu takut untuk mencari bantuan."

Ada juga yang menulis: "Banyak pasien kita menunjukan gejala mental disorder akibat gangguan novel coronavirus, seperti social isolation menyebabkan stress meningkat dan kehabisan obat-obatan."

Dr Bernadka Dubicka dari Royal College of Psychiatrist yang berada di fakultas anak-anak dan pemuda mengatakan: "Kita khawatir jika anak-anak dan remaja yang memiliki gangguan mental yang saat ini kesulitan tidak mendapatkan dukungan."

"Kita harus memberikan pesan bahwa layanan untuk kesehatan mental masih dibuka."

Dr Amanda Thompsell, seorang pakar untuk psikiatri usia tua mengatakan bahwa menggunakan teknologi untuk orang lanjut usia selama lockdown cukup menyulitkan.

"Sering kali mereka enggan untuk mencari bantuan, dan saat ini mereka membutuhkan dukungan mental yang lebih besar dari sebelumnya," ujarnya.


Prioritas Utama

Ilustrasi Stress
Ilustrasi Stres karena terjerat utang | foto : istimewa

Organisasi amal untuk kesehatan mental, Rethink Mental Illness mengatakan bahwa kekhawatiran meningkat dengan adanya bukti dari orang-orang yang telah memiliki gangguan mental sebelumnya. 

Survei menunjukan bahwa 1.000 orang telah mengatakan bahwa kesehatan mental mereka menurun sejak adanya pandemi. Hal ini diakibatkan berubahanya pada rutinitas mereka yang membuat mereka merasa aman dan baik-baik saja. 

"NHS saat ini telah melakukan pekerjaan terbaik mereka, tapi kesehatan mental juga harus menjadi prioritas yang jelas, dengan investasi memastikan layanan kesehatan mental dapat mengatasi karena adanya lonjakan permintaan yang telah diantisipasi," ujar Danielle Hamm. Menurut Danielle Hamm, masyarakat akan membutuhkan waktu seperti beberapa tahun untuk orang-orang bisa kembali beraktivitas normal. 

 

Reporter: Yohana Belinda

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya