Perkuliahan di AS Akan Sepenuhnya Online Imbas COVID-19, Begini Dampaknya

Dengan penutupan perbatasan yang masih dilakukan akibat pandemi Virus Corona COVID-19, banyak siswa internasional tak dapat melanjutkan studi mereka secara tatap muka. Bagaimana nasib mereka?

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Jul 2020, 11:01 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2020, 11:01 WIB
Harvard University
Harvard University (iStock)

Liputan6.com, Amerika - Belum lama ini, Amerika mengeluarkan peraturan baru agar para murid internasional diharapkan kembali ke negara asal bila mengikuti sistem kuliah virtual. Langkah itu diambil karena pandemi Virus Corona COVID-19 yang tak kunjung usai. 

Salah satu yang terdampak aturan ini adalah Huang Liqin, seorang murid dari China yang berkuliah di Minnesota.

Huang menjadi salah satu murid internasional yang saat ini studinya akan menjadi sedikit berantakan akibat peraturan baru akibat pandemi Corona COVID-19 ini, karena Amerika melarang para murid internasionalnya tinggal di negeri Paman Sam itu ketika semua universitas menawarkan kelas online. Demikian seperti dikutip dari South China Morning Post, Kamis (9/7/2020).

Divisi Imigrasi dan Bea Cukai Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengatakan pada Senin 6 Juli 2020 bahwa siswa non-imigran yang menghadiri sekolah yang beroperasi sepenuhnya online tidak dapat mengikuti kursus online penuh dan tetap berada di AS.

"Departemen Luar Negeri AS tidak akan mengeluarkan visa kepada siswa yang terdaftar di sekolah dan / atau program yang sepenuhnya online untuk semester [musim gugur] juga tidak akan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS mengizinkan siswa ini untuk memasuki Amerika Serikat," katanya.

“Siswa aktif yang saat ini berada di Amerika Serikat yang terdaftar dalam program tersebut harus meninggalkan negara itu atau mengambil tindakan lain, seperti mentransfer ke sekolah dengan instruksi langsung untuk tetap dalam status sah menurut hukum.”

Sekitar 370.000 Murid dari China Studi di Amerika

Ilustrasi mahasiswa. Dok: goKampus
Ilustrasi mahasiswa. Dok: goKampus

Diperkirakan ada sekitar 370.000 murid China ke Amerika untuk melakukan studi lanjutan setiap tahunnya, Huang mengatakan bahwa tak seorang pun perwakilan sekolahnya merespons mengenai peraturan terbaru Amerika. Ia pun berencana pindah sekolah jika masih belum mendapat tanggapan.

Namun ternyata, untuk pindah ke sekolah lain, hal ini sudah tak mungkin karena jadwal pendaftarannya telah ditutup.

"Pilihannya sangat terbatas. Saya mungkin hanya berkeliling untuk melihat universitas mana yang belum ditutup, ”katanya.

Lilu Li, yang berusia 19 tahun juga harus kembali ke China jika peraturannya berlaku, saat ini dirinya beresekolah di California. 

"Kalau peraturannya berlaku, saya harus meninggalkan Amerika sebelum pertengahan Agustus, ketika universitas kembali dibuka," katanya, dia juga menambahkan bahwa membeli tiket pulang juga tidak mudah.

Sekolah Li sejauh ini telah memperingatkan para murid untuk memperpanjang visanya jika tidak bersekolah di Amerika selama enam bulan terakir. 

"Kedutaan Amerika di China belum dibuka, dan saya belum tahu kapan bisa mengajukan visa baru," ujarnya. 

Dia mengatakan akan pindah ke community college sebentar untuk mengisi waktu.

Qian Jianan, seorang kandidat doktoral di University of Southern California, mengatakan dia merasa aman untuk saat ini karena memiliki satu kelas penelitian terarah, di mana dia bertemu seorang profesor secara langsung. Atau bisa disebut kelas face-to-face, namun Qian akan tetap berkonsultasi kepada sekolahnya mengenai aturan baru ini.

Di Beijing, perempuan yang biasa dipanggil Claire ini juga harus mengubah seluruh rencananya, karena dia baru saja menerima program pasca sarjana dari Harvard, dia sendiri berencana ke Amerika bulan Agustus mendatang. Namun sepertinya rencana itu berantakan akibat pandemi Virus Corona COVID-19.

Dia tidak bisa pergi karena sekolahnya sedang memindahkan programnya secara online. 

"Saya akan tinggal di Beijing dan melakukan pembelajaran jarak jauh. Tetapi tinggal di Beijing berarti saya harus melakukan banyak upaya untuk operasional sekolahnya," kata Claire, karena saat ini seluruh sistem belajar pindah ke online.

Claire yang juga memiliki sebuah sekolah swasta, mengaku "belajar dan bekerja akan membuatnya sangat lelah". Dirinya ingin memiliki kehidupan bersekolah di luar negeri yang "nyata" dan bertemu dengan murid-murid lain dari seluruh penjuru dunia. 

Dalam sebuah surat publik, Presiden Universitas Harvard Lawrence Bacow mengatakan pihak kampus sangat prihatin dengan bimbingan baru, menyebutnya "pendekatan yang tumpul, satu ukuran untuk semua masalah kompleks".

"Kami akan bekerja erat dengan perguruan tinggi dan universitas lain di seluruh negeri untuk memetakan jalur ke depan. Kita harus melakukan semua yang kita bisa untuk memastikan bahwa siswa/i dapat melanjutkan studi tanpa takut dipaksa meninggalkan negara di tengah tahun, mengganggu kemajuan akademis mereka dan merusak komitmen - dan pengorbanan - yang telah dibuat oleh banyak dari mereka untuk mengembangkan pendidikan mereka," kata Bacow.

Universitas-universitas di Amerika lainnya mengatakan mereka akan melihat dan membuat rencana solusi masalah ini. 

Seorang konsultan di lembaga penelitian luar negeri, Kim Wang, mengatakan bahwa sudah ada kemunduran dari murid yang belajar di Amerika. Hal ini dikarenakan adanya perseteruan dagang dan rencana Presiden Donald Trump untuk membatasi peluang pekerjaan bagi lulusan internasional universitas Amerika.

Kanada adalah tujuan akademis alternatif paling populer karena sistem sekolah menengah dan universitas yang serupa, kata Kim Wang.

"Masih banyak keluarga dari China ingin mengirim anak-anak mereka untuk belajar di AS," kata Wang."Mereka mengatakan bahwa sementara universitas Amerika adalah yang paling mahal dan membutuhkan lebih banyak tes, pendidikan Amerika adalah yang paling dihargai di beberapa bidang."

Reporter: Yohana Belinda

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya