Yudi Latif Kritik Pendidikan yang Latah Revolusi Industri 4.0

Pendidikan yang berorientasi revolusi industri 4.0 perlu kembali ditinjau.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 15 Agu 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2020, 11:00 WIB
Ilustrasi Robot
Ilustrasi Robot (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Revolusi industri 4.0 pada beberapa tahun terakhir sering digaungkan pejabat-pejabat tinggi Indonesia. Digitalisasi, kecerdasan buatan, mahadata, pembelajaran mesin, hingga Internet of Things (IoT), menjadi topik utama dalam revolusi ini. 

Pemerintah pun menekankan agar dunia pendidikan turut inovatif untuk menghadapi revolusi industri 4.0. Namun, pandangan berbeda diberikan oleh cendekiawan Yudi Latif. 

Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu mengkritik pendidikan yang justru latah revolusi industri 4.0. Yudi menilai Indonesia memiliki kondisi tersendiri yang belum tentu bisa diatasi digitalisasi. 

"(Sekolah-sekolah teknik) itu harus melihat dulu kesulitan masyarakat itu apa. Kesulitan dan potensi yang sekeliling itu apa. Seringkali kita ini teknologi asosiasinya 4.0. Itu aja gitu. Kita ini sering kali kok kayak latah. Di mana-mana ramainya 4.0 seolah-olah tidak ada yang lebih penting daripada digital teknologi," ujar Yudi Latif pada acara Refleksi 75 Tahun Indonesia Merdeka yang diadakan KBRI Ankara di Turki, Jumat (14/8/2020). 

Yudi mengakui bahwa teknologi digital itu memang penting, hanya saja ia meminta agar ada kepekaan terhadap kebutuhan nyata sehari-hari di Indonesia. 

Ia lantas mencontohkan pernah membawa sekelompok developer untuk membantu nelayan di Pelabuhan Ratu untuk membuat aplikasi perikanan. Program itu ternyata berjalan sukses karena nelayan lokal jadi bisa menambah tangkapan dari 5 kilogram sehari hingga menjadi 30 kilogram.

"Jadi enggak usah ikut-ikutan meniru begitu saja meng-copy perkembangan teknologi negara lain. Kadang kita harus sadar diri posisi kita," jelasnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Jangan Andalkan Ekonomi Ekstraktif

Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Yudi Latif juga mengajak bahwa Indonesia harusnya tidak terlalu bergantung pada ekonomi ekstraktif, seperti menjual sumber daya alam ke luar negeri. Ekonomi seperti itu tidak akan membantu banyak orang. 

"Ekonomi kita tumbuh karena sangat bergantung pada sektor konsumsi dan akibat ekonomi ekstraktif. Jadi menggerus sumber daya kekayaan bahan bahan mentah yang dijual murah," ujarnya.

"Garuk batu bara, jual murah. Tebang pohon-pohonan, jual murah," imbuhnya. 

Yudi pun berharap agar ekonomi Indonesia bisa makin mengembangkan pengolahan, agar tak perlu bergantung pada ekspor SDA. Hal ini contohnya bisa dilakukan dengan tanaman sawit.

Yudi bercerita bahwa Jepang memesan banyak limbah sawit yang ternyata bisa diolah untuk banyak hal, seperti untuk kosmetik hingga energi alternatif.

Cara demikian ia anggap lebih baik ketimbang ekonomi ekstraktif yang mengandalkan sumber daya alam mentah dan hanya menguntungkan kelompok tertentu.

"Jadi kita basisnya ekstraktif, kalau basisnya ekstraktif memang hanya sedikit orang yang bisa ikut mengalami mobilitas vertikal," ungkapnya. 

"Kekayaan hanya berbasis sumber daya alam itu tidak bisa sustain, dan biasanya kalau hanya bergantung melulu pada penguasaan sumber daya alam mentah, itu tak bisa melahirkan mobilitas vertikal yang luas dan inklusif," jelas Yudi. 

Ia lantas mencontohkan bahwa ekonomi ekstraktif, seperti tambang, hanya akan menguntungkan penguasa tambangnya saja untuk mendulang keuntungan besar. Inilah mengapa Yudi berkata perlu ada transformasi menuju knowledge economy, ketimbang extractive economy.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya