Liputan6.com, Jakarta - Kelompok bersenjata di Mali telah menahan presiden negara itu, bersama dengan perdana menteri dan pejabat tinggi lainnya dalam upaya kudeta yang jelas.
Mengutip laman BBC, Rabu (19/8/2020), Presiden Ibrahim Boubacar Keïta beserta PM Boubou Cissé ditahan di kamp militer dekat ibu kota Bamako.
Advertisement
Sebelumnya, tentara pemberontak telah menguasai kamp Kati.
Hal ini dilakukan atas unsur kemarahan di antara pasukan, terkait dengan gaji dan konflik yang terus berlanjut dengan kelompok teroris, serta ketidakpuasan yang meluas terhadap Presiden Keïta.
Pemberontakan dan penangkapan yang terjadi pada hari Selasa pun kemudian memicu kecaman internasional.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kronologi Penahanan
Aksi tersebut dipimpin oleh Kolonel Malick Diaw selaku Wakil Kepala Kamp Kati dan komandan lainnya, Jenderal Sadio Camara.
Setelah mengambil alih kamp, sekitar 15 km (sembilan mil) dari Bamako, para pemberontak berbaris di ibu kota, di mana mereka disemangati oleh orang banyak yang berkumpul untuk menuntut pengunduran diri Presiden Keïtas.
Pada sore hari, mereka menyerbu kediamannya dan menangkap presiden dan perdana menterinya. Keduanya pun diketahui berada di sana.
Putra presiden, Ketua Majelis Nasional, menteri luar negeri dan keuangan dilaporkan juga termasuk di antara pejabat lain yang ditahan.
Jumlah tentara yang ikut ambil bagian dalam pemberontakan masih belum diketahui secara jelas.
Kamp Kati juga menjadi fokus pemberontakan pada tahun 2012 oleh tentara yang marah atas ketidakmampuan komandan senior untuk menghentikan kelompok teroris dan pemberontak Tuareg yang menguasai Mali utara.
Rekaman dari kantor berita AFP menunjukkan sebuah gedung milik kementerian kehakiman di Bamako pun terbakar pada hari Selasa.
Advertisement
Respons Internasional
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres menuntut "pembebasan tanpa syarat" atas para pemimpin Mali dan "pemulihan segera tatanan konstitusional".
Dewan Keamanan PBB pun akan mengadakan pertemuan darurat, menyusul permintaan Prancis dan Niger, kata seorang diplomat senior PBB kepada kantor berita AFP.
Selain itu, Ketua Komisi Uni Afrika, Moussa Faki Mahamat, mengatakan dia "dengan tegas mengutuk" penangkapan Presiden Keïta dan perdana menterinya.
Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (Ecowas) juga mengatakan, "Pemberontakan ini terjadi pada saat, selama beberapa bulan sekarang, Ecowas telah mengambil inisiatif dan melakukan upaya mediasi dengan semua pihak Mali."
Mali adalah pangkalan utama bagi pasukan Prancis yang memerangi pemberontak berbasis agama di seluruh wilayah Sahel, dan negara bekas kolonial itu pun dengan cepat bereaksi terhadap peristiwa tersebut.
Kantor Presiden Prancis Emmanuel Macron "mengutuk percobaan pemberontakan yang sedang berlangsung" dan Menteri Luar Negeri Jean Yves Le Drian mendesak para prajurit untuk kembali ke barak.
Alasan Pemberontakan
Ibrahim Boubacar Keïta memenangkan masa jabatan kedua dalam Pemilu 2018, tetapi kemudian kemarahan pun meluas atas tindakan korupsi, salah urus ekonomi, dan situasi keamanan yang memburuk dengan kelompok teroris dan kekerasan komunal meningkat.
Dalam beberapa bulan terakhir, kerumunan besar yang dipimpin oleh imam populis Mahmoud Dicko telah meminta Presiden Keïta untuk mundur.
Kerumunan yang jauh lebih kecil dilaporkan berkumpul di ibu kota pada hari Selasa untuk mendukung kelompok pemberontak.
Advertisement