Liputan6.com, Beijing - China National Biotec Group (CNBG) yang merupakan anak usaha BUMN China Sinopharm telah memberikan vaksin COVID-19 ke publik. Pemberian itu di luar uji klinis yang berlangsung.
Sinovac Biotech juga sudah memberi vaksin COVID-19 kepada 90 persen pegawainya beserta keluarganya. Jumlahnya sekitar 3.000 orang.
Hal itu dapat dilakukan karena pemerintah China memberikan izin untuk penggunaan vaksin yang sifatnya masih eksperimental. Vaksin diberikan kepada petugas medis di garis depan, staf BUMN, hingga pegawai pemerintah sejak Juli lalu.
Advertisement
Baca Juga
Namun, pemberian vaksin COVID-19 yang belum lolos uji itu mendapat kritikan dari pakar kesehatan internasional. Tindakan China dinilai gegabah karena uji klinis Fase 3 belum selesai, padahal itu penting.
Dr. Arthur Caplan, kepala divisi etika medis dari Grossman School of Medicine di di New York University menyebut bahwa tindakan China membawa risiko ke banyak orang.
"Itu gegabah dan berbahaya untuk mendistribusikan vaksin yang dites minimal yang (informasinya) belum ada yang diterbitkan," ujar Dr. Arthur Caplan, kepala divisi etika medis di New York University's Grossman School of Medicine, seperti dilansir VOA News, Selasa (29/9/2020).
Vaksin biasanya butuh bertahun-tahun penelitian dan testing sebelum disediakan ke publik. Uji klinis Fase 3 umumnnya melibatkan ribuan orang untuk menguji keselamatan vaksinnya.
"Sebelum penyelesaian uji Fase 3, kita tidak memiliki kepercayaan diri penuh pada keselamatan dan efektivitas dari sebuah vaksin," terang Lawrence Gosting, profesor Hukum Kesehatan Global di Georgetown University.
Berdasarkan hukum China, vaksin-vaksin dapat dapat digunakan secara darurat jika Administrasi Produk Medis Nasional menilai keuntungannya lebih tinggi ketimbang mudaratnya.
Pengamat lain Dr Jennifer Huang Bouey dari RAND Corporation berkata pemberian vaksin darurat, apabila gagal, justru bisa membuat banyak orang tak percaya vaksinnya. Risiko lainnya bisa saja timbul penyakit parah akibat uji klinis yang terlalu buru-buru.
Meski demikian, CNBG tetap percaya diri. Pasalnya, ada orang-orang yang pergi ke luar negeri setelah menerima vaksin ini, tapi mereka sehat.
"Puluhan ribu orang yang divaksinasi telah bepergian ke negara-negara dan daerah-daerah dengan risiko tinggi COVID-19. Tak ada yang terinfeksi sejauh ini, dan ini membuktikan keefektivan vaksin-vaksinnya," ujar Zhou Zong, chief legal adviser CNBG.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Jangan Menunggu Vaksin
Eksekutif Direktur WHO Mike Ryan pernah menjelaskan agar dunia tidak bergantung pada vaksin saja, sebab pasien COVID-19 tetap saja bisa meninggal saat vaksin masih dibuat. Pakar kesehatan dari Universitas Indonesia sepakat dengan WHO dan menyebut kuncinya ada di perilaku pemerintah dan masyarakat.
"Ingat tak semua penyakit menular ada vaksinnya, apalagi virus corona. Virus corona ini kan masih satu keluarga dengan influenza, sama-sama corona. Cuman bedanya ada yang dahsyat seperti SARS, tapi kayak influenza atau flu kan tidak divaksin, ada juga manusianya yang kuat kemudian sembuh," jelas pakar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia Ede Surya Darmawan kepada Liputan6.com, Selasa (29/6/2020).
"Jadi vaksin itu bukan solusi utama. Yang utama adalah menemukan orangnya, jadi tracing itu pemerintah tugasnya. Tracing, testing, lalu treat. Yang sakit diobati," ia melanjutkan.
Isu lainnya adalah terkait berapa lama vaksin bisa memberikan antibodi. Ede mencontohkan apabila antibodi hanya bertahan singkat, maka orang malah perlu berkali-kali divaksin. Menteri BUMN Erick Thohir pernah berkata biaya vaksin bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Ede lantas mengingatkan bahwa mengingatkan bahwa ada solusi yang lebih murah, yakni perubahan perilaku. Misalnya, tidak nekat ke kantor ketika ada gejala seperti demam atau batuk.
"Masyarakatnya harus melakuan perubahan perilaku, ingat perubahan perilaku lebih cepat dan lebih murah tapi kita enggak fokus ke situ," jelasnya.
Advertisement