Pandemi COVID-19 Jadi Cara Pemerintah Batasi Kebebasan Berpendapat, Benarkah?

Pandemi COVID-19 yang membuat banyak orang membatasi pertemuan dengan massa dalam jumlah banyak tanpa disadari juga turut membatasi kebebasan berpendapat.

diperbarui 20 Okt 2020, 07:00 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2020, 07:00 WIB
Korupsi
Ilustrasi unjuk rasa korupsi (Foto: unsplash)

Jakarta - Kebebasan berpendapat di internet makin dibatasi, yang mengakibatkan penurunan tahunan ke-10 berturut-turut dalam indeks kebebasan internet. Demikian disebutkan dalam laporan tahunan lembaga hak asasi Freedom House di Washington yang dirilis pada Rabu 14 Oktober 2020.

Laporan tahunan terbaru Freedom House menyebutkan, pihak berwenang di puluhan negara telah memanfaatkan wabah COVID-19 "untuk membenarkan pengawasan yang lebih luas dan membatasi akses terhadap teknologi baru yang dianggap terlalu mengganggu." Demikian seperti mengutip laporan DW Indonesia, Senin (19/10/2020). 

Hal ini mengarah pada peningkatan sensor terhadap pengungkapan pendapat dan penerapam sistem teknologi untuk kontrol sosial, kata Freedom House.

"Pandemi telah mempercepat ketergantungan masyarakat pada teknologi digital, pada saat internet menjadi semakin tidak bebas," kata Direktur Freedom House, Michael Abramowitz.

"Tanpa perlindungan yang memadai untuk privasi dan supremasi hukum, teknologi ini dapat dengan mudah digunakan untuk represi politik."

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Juga Video Ini:

Teknologi Ikut Membatasi Kebebasan Berpendapat

Polisi Tembakkan Gas Air Mata Bubarkan Demo Mahasiswa di Depan DPR
Polisi menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa saat demonstrasi menolak pengesahan RUU KUHP dan revisi UU KPK di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mahasiswa lari tunggang langgang setelah aparat kepolisian menembakkan gas air mata. (merdeka.com/Arie Basuki)

Indeks internet Freedom House berdasarkan pada skor yang diberikan pada skala 100 poin untuk 65 negara yang diteliti. Indeks itu menunjukkan penurunan dalam kebebasan internet selama 10 tahun berturut-turut.

Skala tersebut didasarkan pada 21 indikator yang berkaitan dengan hambatan terhadap akses, pembatasan terhadap konten dan pelanggaran hak pengguna internet.

China disebut dalam laporan Freedom House sebagai negara dengan peringkat terburuk selama enam tahun berturut-turut. Pihak berwenang China "menggabungkan penerapan teknologi rendah dan tinggi tidak hanya untuk mengelola wabah virus corona, melainkan juga untuk mencegah pengguna internet berbagi informasi dari sumber independen yang bertentangan dengan narasi resmi."

Laporan itu mengatakan, tren pengawasan internet kini berkembang menuju "otoriterisme digital" gaya China, yang mulai menjadi tren global, karena banyak pemerintahan yang menirunya dan memberlakukan peraturan mereka sendiri.

Freedom House mengatakan, dari sekitar 3,8 miliar orang yang menggunakan internet, hanya 20 persen yang tinggal di negara-negara dengan internet gratis, 32 persen tinggal di negara-negara "sebagian gratis", sementara 35 persen berada di tempat-tempat di mana aktivitas online tidak gratis.

Penurunan Kebebasan Mencolok di Sejumlah Negara

Aksi unjuk rasa oleh warga Minneapolis atas kematian George Floyd, pria kulit hitam yang meninggal akibat ulah polisi AS.
Aksi unjuk rasa oleh warga Minneapolis atas kematian George Floyd, pria kulit hitam yang meninggal akibat ulah polisi AS. (Twitter: @kmohanty99)

Laporan Freedom House juga menyeburkan adanya penurunan kebebasan yang mencolok di negara-negara, di mana pihak berwenangnya telah memberlakukan penutupan internet, termasuk Myanmar, Kyrgyzstan, India, dan di Rwanda.

“Berbagai spyware canggih digunakan untuk memantau dan mengintimidasi para penentang kebijakan pemerintah”, kata Freedom House lebih lanjut dalam laporannya.

Amerika Serikat tetap berada di antara negara-negara dengan peringkat internet yang relatif bebas, namun mengalami penurunan skor, karena meningkatnya pengawasan oleh penegak hukum terhadap gerakan protes, adanya perintah eksekutif untuk mengatur penggunaan media sosial, dan disinformasi yang disebarkan Presiden Donald Trump.

Selain itu, pemerintah AS juga melarang aplikasi TikTok dan Wechat yang berasal dari China. Larangan aplikasi tersebut digambarkan Freedom House sebagai "tanggapan sewenang-wenang dan tidak proporsional terhadap risiko " yang berasal dari layanan itu.

Ekonomi Indonesia di Tengah Wabah Corona COVID-19

Infografis Ekonomi Indonesia di Tengah Wabah Corona
Infografis Ekonomi Indonesia di Tengah Wabah Corona (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya