Washington D.C - Apakah orang yang pernah terinfeksi COVID-19 bisa kembali tertular?
Laporan DW Indonesia yang dikutip Selasa (17/11/2020) menyebutkan, orang yang sembuh dari infeksi COVID-19 terbukti bisa terinfeksi ulang. Kasus resmi infeksi ulang Virus Corona jenis baru ada lima orang. Namun hal ini juga memicu pertanyaan baru, bagaimana fungsi imunitas terhadap SARS-CoV-2?
Kasus teranyar terinfeksi COVID-19 untuk kedua kalinya beberapa bulan setelah sembuh, dilaporkan terjadi pada seorang lelaki berusia 25 tahun dari Washoe County, Nevada, Amerika Serikat (AS). Dalam rentang waktu 48 hari, dia dua kali dinyatakan positif dua jenis infeksi SARS-CoV-2 berbeda strain.
Advertisement
Sebelumnya bulan April 2020 untuk pertama kali dinyatakan positif COVID-19.
Infeksi COVID-19 kedua kalinya dilaporkan terjadi bulan Juni 2020 dan memicu gejala lebih cepat dan lebih gawat dari infeksi pertama. Pasien dilaporkan mengalami demam tinggi, nyeri kepala, batuk, pusing, mual-mual dan diare. Setelahnya, ia segera dilarikan ke rumah sakit.
Dalam rentang waktu 48 hari di antara dua infeksi COVID-19, pasien dua kali menjalani tes dan hasilnya dinyatakan negatif. Ia kini kembali dinyatakan sembuh dan sudah pulang dari rumah sakit.
Hasil riset yang dirilis dalam jurnal ilmiah "The Lancet - Infectious Diseases" itu menjadi kasus re-infeksi COVID-19 kelima sedunia yang terdokumentasikan dengan resmi. Empat kasus infeksi ulang lainnya terjadi di Belgia, Belanda, Hongkong dan Ekuador.
Pertanyaan Menyangkut Imunitas
Walaupun kasus global re-infeksi SARS-Cov-2 resminya hanya lima, namun para peneliti memperkirakan ada kasus serupa yang tanpa gejala. Para peneliti mengakui, masih banyak yang belum diketahui terkait infeksi virus SARS-Cov-2, juga bagaimana reaksi sistem kekebalan tubuh.
"Namun hasil riset kami menunjukkan indikasi, mereka yang sudah terinfeksi COVID-19, tidak berati mutlak terlindungi dari infeksi berikutnya di masa mendatang,'' ujar Mark Pandori, dari Nevada State Public Health Laboratory di Nevada University, yang merupakan penulis utama riset itu.
“Penting untuk diperhatikan, bahwa ini temuan individual dan bukan fenomena yang bisa ditarik secara general. Masih diperlukan riset berikutnya untuk tema ini“, tegas Pandori lebih lanjut. Akan tetapi, adanya kemungkinan infeksi ulang COVID-19 pada beberapa pasien, memiliki dampak besar pada pemahaman imunitas. Khususnya pada saat belum adanya vaksin yang ampuh dan efektif.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Terinfeksi Dua Strain Berbeda
Genom dari sampel virus pasien di Nevada dianalisis, sekuensnya dari sampel kasus April dan kasus Juni menunjukkan perbedaan genetis yang signifikan. “Ini menunjukan dengan tegas, pasien terinfeksi dua kali oleh dua strain virus SARS-CoV-2 yang berbeda“, demikian kesimpulan para peneliti.
Dalam empat kasus lainnya, hanya pasien di Ekuador yang menunjukkan gejala COVID-19 berat pada infeksi pertama. ''Kami memerlukan lebih banyak riset, untuk memahami berapa lama imunitas orang yang terpapar SARS-CoV-2 bertahan? Dan mengapa pada infeksi kedua lainya, walau kasusnya jarang, namun gejalanya jauh lebih parah,'' ujar periset utama Pandori.
Sejauh ini memang hanya ada segelintir kasus resmi terinfeksi ulang COVID-19. ''Tapi itu bukan berarti kasusnya tidak banyak, karena juga banyak kasus infeksi Virus Corona yang tanpa gejala. Saat ini, kami hanya bisa berspekulasi mengenai penyebab infeksi ulang,'' ujar periset dari Nevada University itu.
Advertisement
Beragam Hipotesa
Menimbang gejala berat kasus infeksi ulang, para peneliti menarik beberapa hipotesa. Pasien kemungkinan terinfeksi beban virus sangat tinggi, hingga pada kasus infeksi kedua memicu reaksi imunitas tubuh jauh lebih kuat. Atau infeksi kedua muncul akibat strain virus yang lebih ganas.
Hipotesa berikutnya apa yang disebut Antibody-Dependent-Enhancement (ADE), dimana virus justru memanfaatkan sistem kekebalan tubuh, untuk menginfeksi organismenya dengan lebih masif dan kuat. Hal ini diamati dalam kasus infeksi oleh Beta-Coronavirus SARS-CoV.
Mekanismenya, antibodi yang diperkuat oleh infeksi mengikat permukaan virus, tapi tidak memeranginya. Sebaliknya membantu agar virus diterima lebih baik oleh sel tubuh. Dengan begitu perkembangbiakan virus justru didorong.
Kemungkinan lain walaupun kecil, juga menjadi pertimbangan para peneliti di AS itu. Yakni infeksi yang berlangsung kontinu, yang memicu aktivasi dan deaktivasi virusnya. Hal ini bisa terjadi jika virus SARS-CoV-2 pemicu COVID-19 mengalami mutasi, dengan laju tertentu yang tidak secepat mutasi virus influenza.
Juga ada kemungkinan penjelasan, pasien terinfeksi kedua strain virus secara bersamaan. Dalam tes bulan April, strain kedua tidak terlacak karena strain pertama sangat aktif. Sementara pada bulan Juni, strain kedua makin menguat dan strain April sudah sangat lemah.
Para peneliti mengakui, mereka belum memiliki kemampuan untuk melakukan analisis dan penilaian reaksi imunitas tubuh maunpun keampuhannya terhadap kasus infeksi pertama. Sementara untuk kasus infeksi kedua, mereka sudah bisa menilai sepenuhnya jawaban sistem imunitas tubuh.
Sementara itu pakar imunologi Akiko Iwasaki dari Yale University, AS yang tidak terlibat penelitian itu menulis komentar: “Semakin banyak kasus infeksi ulang diketahui, akan semakin bagus karena kemiripan ilmiahnya bisa diketahui, seperti bagaimana perlindungan tubuh berfungsi dan sesering apa infeksi alamiah dengan SARS-CoV-2 memengaruhi derajat imunitas.“
Informasi ini menjadi kunci untuk memahami, vaksin mana yang memiliki keampuhan untuk menciptakan imunitas personal maupun kekebalan kelompok yang disebut “herd immunity“.