Warga Israel Dapat Visa Turis dari Uni Emirat Arab

Warga Israel kini bisa liburan ke Uni Emirat Arab setelah ada visa.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 04 Des 2020, 08:35 WIB
Diterbitkan 04 Des 2020, 08:35 WIB
FOTO: Usai Normalisasi Hubungan, Merek Piyama Israel Pemotretan di Uni Emirat Arab
Model Israel May Tager (kiri) memegang bendera Israel dan model Dubai asal Rusia Anastasia Bandarenka memegang bendera Uni Emirat Arab saat pemotretan di Dubai, Uni Emirat Arab, 8 September 2020. Israel dan UEA menekankan manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan normalisasi. (AP Photo/Kamran Jebreili)

Liputan6.com, Dubai - Perjanjian Abraham (Abraham Accord) terus memperluas hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab. Terkini, pemegang paspor Israel bisa mendapat visa turis ke UEA.

Izin turis itu merupakan bagian dari Perjanjian Abraham yang mendukung hubungan investasi hingga pariwisata antara Israel dan negara-negara Arab.

Arab News, Jumat (4/12/2020), melaporkan bahwa hal itu diumumkan oleh Kementerian Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional UEA.

Media UEA menyebut aturan ini akan dipakai hingga ada ratifikasi lebih lanjut terkait visa waiver antara Israel dan UEA.

"Langkah ini jatuh dalam kerja sama bilateral antara UEA dan Negara Israel setelah penandatanganan Perjanjian Abraham dan bertujuan untuk memfasilitasi travel menuju UEA untuk saat ini," tulis pihak kementerian seperti dikutip Emirate News Agency.

Selanjutnya, UEA dan Israel akan menjajal kerja sama di bidang logistik, pertukaran budaya, pendidikan, sains, hingga kedokteran.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Fadli Zone Tolak Pemberian Calling Visa bagi Warga Israel

Fadli Zon
Anggota DPR RI Fadli Zon mendukung aspirasi beberapa tokoh yang menginginkan perubahan nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda atau Tatar Sunda. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) sekaligus Anggota DPR RI Komisi 1 Fadli Zon menyebut pemberian calling visa bagi warga negara Israel merupakan bentuk penyelundupan terhadap kebijakan politik luar negeri.

"Menkumham dan Ditjen Imigrasi harus memberikan penjelasan terbuka mengenai hal ini. Sebab, kebijakan semacam ini bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia," ujar Fadli Zon menanggapi polemik yang terjadi saat ini dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Selasa 1 Desember 2020.

Calling visa merupakan layanan visa yang secara khusus diberikan pada warga dari negara-negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai memiliki tingkat kerawanan tertentu. 

"Informasi mengenai pemberian calling visa bagi warga negara Israel ini tentu saja mengejutkan. Kenapa mengejutkan? Karena segala hal yang terkait Israel seharusnya menjadi persoalan sensitif bagi pemerintah Indonesia," ujar Fadli Zon.

"Apalagi, kita tak memiliki hubungan diplomatik dengan negara tersebut," tambahnya.

Fadli Zon juga menyinggung soal sejarah politik antara Indonesia dan Israel yang sepatutnya pemerintah RI tak memberikan visa tersebut.

"Kalau merujuk kepada negara lain praktik pemberian calling visa bisa diberikan untuk negara-negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik, namun mengingat sejarah politik kita, isu mengenai Israel ini seharusnya diperlakukan dengan sensitivitas tinggi," kata Fadli Zon.

"Selama 75 tahun kita memiliki komitmen untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Dan sebagai bentuk dukungan, sekaligus sejalan dengan semangat Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 yang anti-kolonialisme serta imperialisme, sejak 75 tahun lalu kita tak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Itu sudah menjadi garis politik luar negeri kita," tambahnya.

"Artinya, bagi Indonesia, tidak adanya hubungan diplomatik dengan Israel ini bukan hanya soal administratif belaka, tetapi merupakan persoalan ideologis, historis, dan politis sekaligus. Ini sangat fundamental. Sehingga, munculnya kebijakan calling visa bagi Israel harus segera dicabut. Apalagi, dasar hukumnya hanyalah sebuah Keputusan Menteri, Menkumham Yasonna Laoly."

Bentuk Penyelundupan Kebijakan Luar Negeri

Fadli Zon Jadi Narasumber Diskusi Ancaman Hoax dan Keutuhan NKRI
Anggota MPR Fraksi Gerindra, Fadli Zon saat menjadi narasumber diskusi Empat Pilar MPR di Jakarta, Jumat (5/10). Diskusi itu mengambil tema "Ancaman Hoax dan Keutuhan NKRI". (Liputan6.com/JohanTallo)

Fadli Zon juga menjelaskan bahwa pemberian calling visa bagi Israel adalah bentuk penyelundupan kebijakan yang bertentangan dengan garis politik luar negeri.

Kebijakan semacam ini dia anggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi rakyat Indonesia. Kebijakan semacam ini juga bisa mencederai persaudaraan kita dengan bangsa Palestina.

"Jangan lupa, sejak sebelum kita merdeka, bangsa Palestina telah mendukung perjuangan kemerdekaan kita," kata Fadli Zon.

"Seorang tokoh nasionalis Palestina, sekaligus Mufti Agung Yerusalem, Amin Al-Husseini, sejak tahun 1944 bahkan sudah menyatakan pengakuan terhadap negara Indonesia. Pengakuan itu disiarkan di sebuah radio Berlin, Jerman, pada 1944. Padahal, ketika itu Palestina sendiri masih dalam pendudukan Inggris."

"Jadi, sesudah informasi tentang calling visa bagi Israel ini terbuka ke publik, kebijakan itu seharusnya memang segera dicabut. Menkumham harus memberikan penjelasan kenapa kebijakan ini bisa lahir. Sebelum kebijakan ini melahirkan kegaduhan dan respon keras dari masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Islam, kebijakan ini mestinya segera dicabut."

Pernyataan Kemenkumham

Bendera Israel
Bendera Israel berkibar di dekat Gerbang Jaffa di Kota Tua Yerusalem (20/3). Gerbang Jaffa adalah sebuah portal yang dibuat dari batu yang berada dalam deret tembok bersejarah Kota Lama Yerusalem. (AFP Photo/Thomas Coex)

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa layanan visa elektronik (e-Visa) bagi orang asing subyek Calling Visa sudah berlaku sejak lama, yaitu tahun 2012, dan diperuntukkan hanya untuk warga negara tertentu. Layanan ini diberlakukan dengan persyaratan ketat karena diperuntukkan bagi warga negara yang dinilai memiliki tingkat kerawanan tertentu.

"Negara Calling Visa adalah negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian, " kata Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkumham, Heni Susila Wardoyo, di Jakarta, Sabtu 28 November 2020, dikutip dari laman kemenkumham.go.id.

Ketentuan terkait negara calling visa, menurut Heni, pertama kali dituangkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM tahun 2012. Dimana dalam keputusan tersebut terdapat sebelas negara yang masuk dalam daftar negara calling visa, termasuk Israel.

"Dalam Kepmen Tahun 2012, ada sebelas negara yang masuk dalam daftar negara calling visa, termasuk di dalamnya adalah Israel. Jadi ini sudah berlaku sejak tahun 2012. Kemudian pada tahun 2013, salah satu negara, yaitu Irak, dihapus dari daftar negara calling visa, menjadi negara dengan visa biasa," papar Heni lebih lanjut.

Heni menjelaskan, dihapuskannya Irak dari daftar negara calling visa karena saat itu terjadi peningkatan kerjasama dan hubungan yang lebih menguntungkan antara Indonesia dan Irak. Sementara negara-negara lain dinilai masih rawan.

Karena tingkat kerawanan tersebut, negara calling visa menjadi cluster terakhir yang diberikan relaksasi permohonan visa setelah pembatasan orang asing masuk wilayah Indonesia. Alasan utama dibukanya kembali pelayanan calling visa adalah mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur, baru kemudian untuk tujuan investasi, bisnis, dan bekerja.

Pemerintah telah menetapkan ketentuan pemberian visa bagi negara yang termasuk dalam subjek negara calling visa adalah: Afghanistan, Guinea, Israel, Korea Utara, Kamerun, Liberia,Nigeria, dan Somalia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya