Liputan6.com, London - Pemerintah Inggris menambah utang dalam jumlah signifikan pada Desember 2021. Penyebabnya masih karena pandemi COVID-19.
Total utang nasional Inggris kini mencapai 2,13 triliun poundsterling (Rp 40 ribu triliun). Rasio utang terhadap GDP sudah mencapai 99,4 persen, angka itu merupakan yang tertinggi sejak 1964.
Advertisement
Baca Juga
Hingga Desember 2020, pemerintah Inggris diestimasi meminjam 270 miliar poundsterling (Rp 5.183 triliun) pada tahun anggaran yang dimulai sejak April 2020. Data itu berasal dari Office for National Statistics (ONS), Jumat (22/1/2021),
Pada Desember 2020, Inggris meminjam 34,1 miliar poundsterling (Rp 654,3 triliun). Angka pinjaman Desember 2020 adalah yang tertinggi ketiga sejak pencatatan utang bulanan dilakukan pada 1993.
Selama Desember, pemerintah pusat Inggris diperkirakan menghabiskan 86,2 miliar poundsterling (Rp 1,6 triliun) setiap hari. Dana itu termasuk 10 miliar (Rp 191,8 triliun) untuk dana bantuan COVID-19.
Jumlah utang 270 miliar poundsterling itu naik 212 miliar dari periode sama di tahun anggaran sebelumnya.
Tahun anggaran 2020 akan berakhir pada Maret 2021. Menurut kalkulasi ONS, utang Inggris pada Maret 2021 mendatang bisa mencapai 393,5 miliar (Rp 7.549 triliun).
(1 poundsterling: Rp 19.168)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bagaimana Keadaan Utang di Indonesia?
Posisi utang Pemerintah per akhir Desember 2020 berada di angka Rp 6.074,56 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,68 persen. Komposisi utang pemerintah pusat ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).
Dikutip dari data APBN KITA Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Sabtu (16/1/), secara nominal, utang pemerintah mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Hal ini disebabkan pelemahan ekonomi sebagai akibat dari pandemi COVID-19.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, utang saat pandemi tidak boleh dibandingkan dengan sebelum pandemi. Sebab kondisi saat pandemi dan sebelumnya sangat jauh berbeda, salah satunya dari sisi penerimaan pajak.
"Kita mendapat kritik seolah olah kita ini bisanya utang, utangnya bertumpuk, nominalnya bertambah sangat besar tapi lupa kuenya juga membesar. Sehingga kita yakin kita mampu membayar itu terutama dengan yield yang semakin kompetitif," ujar Yustinus melalui diskusi daring, Jakarta, Jumat (15/1).
"Apalagi selama pandemi tak bisa dibandingkan peningkatan utang 2020 karena apa karena tadi penerimaan pajak menurun kebutuhannya meningkat otomatis mengandalkan utang," sambungnya.
Meskipun terjadi penarikan utang di 2020 yang cukup besar, rasio utang terhadap PDB masih cukup terjaga bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga termasuk negara maju. Di antaranya adalah Malaysia, Thailand dan Vietnam.
"Thailand 50 persen, Vietnam 46 persen. Malaysia 47 persen. Negara maju di atas 100 persen seperti AS, Prancis itu 130 persen. Kita bersyukur dengan stimulus moderat, kita bisa mencapai pertumbuhan defisit rasio utang yang lebih dibanding banyak negara lain," jelasnya.
Advertisement
Bank Dunia Beri Utang ke Indonesia Rp 7,03 Triliun
Indonesia mendapatkan pinjaman atau utang dari Bank Dunia senilai USD 500 juta atau sekitar Rp 7,03 triliun (kurs Rp 14.070). Rencananya, utang tersebut akan dipakai untuk membangun dan memperkuat ketahanan keuangan fiskal terhadap bencana alam, risiko iklim, dan guncangan terkait kesehatan.
"Guncangan dan bencana seperti itu terus menerus menjadi ancaman bagi kemajuan pembangunan Indonesia," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen dalam keterangan di Jakarta, Jumat (22/1/2021).
Dari 2014 hingga 2018, pemerintah pusat membelanjakan antara USD 90 juta dan USD 500 juta per tahun untuk tanggap bencana dan pemulihan. Sementara pemerintah daerah diperkirakan mengeluarkan tambahan USD 250 juta pada periode yang sama.
"Biaya bencana diperkirakan akan terus meningkat karena perubahan iklim dan pertumbuhan perkotaan, menambah beban belanja publik. Kebutuhannya sangat mendesak sekarang, dengan Indonesia mengalami berbagai dampak keuangan, fiskal, dan sosial akibat pandemi covid-19," ungkapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kesiapsiagaan finansial menghadapi bencana, permasalahan iklim, dan krisis kesehatan seperti covid-19 semakin penting bagi Indonesia. Oleh karena itu, dukungan pembiayaan dari Bank Dunia menjadi sangat penting.
"Dukungan ini akan membantu pemerintah memberikan respon yang lebih tepat sasaran dan tepat waktu, mengurangi dampak bencana dan membantu melindungi kemajuan pembangunan Indonesia," ujar Sri Mulyani.