Junta Militer Myanmar Kembali Tunda Persidangan Aung San Suu Kyi

Myanmar masih berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan peraih Nobel tersebut dalam kudeta 1 Februari 2021.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 27 Apr 2021, 12:56 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2021, 12:33 WIB
Myanmar Gelar Parade Militer di Hari Angkatan Bersenjata
Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing memimpin parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu (27/3/2021). Myanmar saat ini sedang dalam kekacauan sejak para jenderal militer menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada Februari. (AP Photo)

Liputan6.com, Yangon - Pemerintah Myanmar kembali menunda proses pengadilan terhadap pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi pada Senin (26/4), kata pengacaranya saat tengah memperjuangkan izin untuk mengunjungi Suu Kyi, 12 minggu setelah ditahan.

Myanmar masih berada dalam kekacauan sejak Junta Militer menggulingkan peraih Nobel tersebut dalam kudeta 1 Februari 2021.

Sebagian besar penduduk turun ke jalan sebagai protes, dengan pasukan keamanan melancarkan kampanye brutal untuk memadamkan pemberontakan besar-besaran.

Sementara itu Aung San Suu Kyi telah menjalani tahanan rumah, dengan militer Myanmar menuntutnya di bawah enam kasus - termasuk hasutan dan walkie-talkie tanpa izin, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Selasa (27/4/2021).

Tetapi pergerakan kasusnya sekali lagi ditunda hingga 10 Mei, kata pengacaranya Min Min Soe.

Dua belas minggu sejak Aung San Suu Kyi ditahan, Min Min Soe mengatakan, mereka masih belum menerima izin untuk bertemu langsung dengan klien mereka -- salah satu dari banyak rintangan yang dihadapi tim.

"Ketika hakim bertanya (polisi) tahap mana yang telah mereka capai, pihaknya menjawab bahwa mereka tidak bisa memberi tahu secara spesifik," katanya kepada AFP, seraya menambahkan bahwa Aung San Suu Kyi frustrasi dengan langkah lambat peradilan.

"Saya pikir dia tidak mendapatkan akses untuk menonton berita dan TV. Saya kira dia tidak tahu situasi saat ini yang terjadi di Myanmar," katanya.

 

Simak video pilihan di bawah ini:


Protes Warga Myanmar

Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi (AFP)

Selain tidak dapat bertemu dengan Aung San Suu Kyi, penutupan data seluler yang diberlakukan oleh militer juga telah mencegah konferensi video dalam sidang sebelumnya.

Tuduhan paling serius yang dihadapi Aung San Suu Kyi berada di bawah undang-undang rahasia resmi Myanmar, dengan persidangan yang dijadwalkan di Yangon pada 6 Mei.

Protes nasional berlanjut hingga Senin, dengan demonstran memegang tanda yang bertuliskan "Bebaskan para pemimpin kami" dan melambaikan bendera merah yang dihiasi dengan merak emas -- simbol Partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi.

Di pusat komersial Yangon, puluhan pengunjuk rasa ikut serta dalam flash mob yang hanya berlangsung 10 menit.

Sambil melambaikan hormat tiga jari, mereka meneriakkan, "Basmi tentara fasis!"

Militer telah membenarkan perebutan kekuasaannya dengan mengklaim bahwa mereka melindungi demokrasi, menuduh kecurangan dalam pemilu November yang dimenangkan oleh NLD secara telak.

 


Kunjungan Min Aung Hlaing ke Jakarta

Pimpinan Militer Jenderal Min Aung Hlaing dari Myanmar tiba di Jakarta pada Sabtu (24/4) untuk menghadiri ASEAN Leaders' Meeting yang digelar di kantor Sekjen ASEAN pada Sabtu (24/4).
Pimpinan Militer Jenderal Min Aung Hlaing dari Myanmar tiba di Jakarta pada Sabtu (24/4) untuk menghadiri ASEAN Leaders' Meeting yang digelar di kantor Sekjen ASEAN pada Sabtu (24/4). (Screenshot Youtube Sekretariat Presiden)

Pemimpin militer Min Aung Hlaing telah melakukan perjalanan ke Jakarta selama akhir pekan untuk pertemuan tingkat atas dengan blok 10 negara dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) - perjalanan luar negeri pertamanya sejak perebutan kekuasaannya.

Pertemuan itu menghasilkan "pernyataan konsensus" yang menyerukan penghentian kekerasan.

Hal ini menuai kecaman dari sebagian besar masyarakat sipil Myanmar yang sudah marah dengan undangan ASEAN kepada jenderal tersebut.

"Pernyataan itu tidak termasuk apa yang diminta warga sipil - penghormatan terhadap hak asasi manusia, demokrasi dan perdamaian," kata Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok pemantau lokal yang melacak meningkatnya jumlah korban tewas pasca kudeta.

"Orang-orang di Burma tidak meminta bantuan kemanusiaan, tapi agar komunitas internasional membela kebenaran," katanya.

Menurut angka terbaru AAPP, pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 750 orang.

Sementara itu, militer mengeklaim korban tewas yang jauh lebih rendah dan menyalahkan kekerasan akibat ulah para "perusuh".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya