Myanmar Dihantam Krisis Ganda, Kudeta dan COVID-19

Efek gabungan pandemi COVID-19 dan kudeta militer telah mendorong Myanmar ke sebuah titik kehancuran total.

diperbarui 28 Jul 2021, 15:56 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2021, 15:56 WIB
Putus Asa Mencari Pasokan Oksigen di Myanmar
Orang-orang antre menunggu di lokasi yang menyumbangkan oksigen secara gratis di Yangon, Myanmar pada 14 Juli 2021. Mereka putus asa mencari oksigen untuk menjaga orang yang dicintai tetap bernapas ketika gelombang corona covid-19 menerjang negara yang dilanda kudeta itu. (Ye Aung THU/AFP)

, Yangon - Sistem kesehatan di Myanmar termasuk salah satu yang paling lemah di dunia. Kian terpuruk menghadapi pandemi COVID-19.

Ditambah kudeta militer, telah mendorong negara tersebut terjerumus ke sebuah titik kehancuran total. Efek ganda.

Sekitar empat bulan sebelum gelombang ketiga Virus Corona COVID-19 melanda Myanmar, yang merenggut nyawa ratusan orang tiap harinya, Soe Moe Naung (nama samaran), seorang pengusaha, mengunggah postingan di media sosial, bahwa ia dan keluarganya telah divaksinasi di sebuah pusat inokulasi publik.

Ia juga mendesak sesama warganya untuk mendapatkan vaksinasi. Namun, pesannya mengundang teguran keras dan ejekan, sehingga memaksa Soe Moe Naung menyembunyikan postingannya untuk sementara.

Para pengkritiknya meyakini, divaksinasi, dalam beberapa hal, melegitimasi kudeta militer pada bulan Februari yang menyebabkan digulingkannya pemerintah yang dipilih secara demokratis yang dipimpin oleh Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) dari Aung San Suu Kyi, demikian dikutip dari laman DW Indonesia, Rabu (28/7/2021).

Soe Moe Naung, yang merupakan pendukung NLD, pada saat itu menjelaskan alasan mengapa ia setuju untuk menerima suntikan tersebut. "Vaksin-vaksin itu telah diperoleh pemerintah NLD untuk masyarakat Myanmar. Itu merupakan hak seorang warga… vaksinasi adalah hal yang berbeda dan tidak berkaitan dengan politik.”

Soe Moe Naung mungkin pragmatis, tetapi hanya sedikit orang di Myanmar yang memiliki cara pandang serupa.

Menentang militer dengan tidak divaksinasiSejak kudeta pada 1 Februari, banyak orang di Myanmar telah menolak untuk menerima vaksin anti corona sebagai bentuk perlawanan terhadap militer.

"Ibu saya, terlepas dari umurnya yang sudah tua, tidak divaksinasi, mungkin karena anaknya, saudara laki-laki saya, mengatakan 'revolusi belum berakhir'," tutur Hnin Yee Aung (nama samaran), seorang perempuan paruh baya asal Yangon, kepada DW.

Saudara laki-lakinya adalah seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah dan telah berpartisipasi dalam Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) selama beberapa bulan terakhir.

 

Pilihan Warga Myanmar

FOTO: Demonstran Myanmar Lakukan Aksi Mogok, Kota Yangon Sunyi Sepi
Suasana jalanan yang kosong di samping Pagoda Shwedagon, Yangon, Myanmar, Rabu (24/3/2021). Demonstran menyerukan "silent strike" sebagai protes terhadap kudeta militer di Myanmar. (AFPTV/AFP)

Sejumlah warga telah memilih untuk tidak divaksinasi, karena rasa takut akan reaksi negatif dari kelompok-kelompok pro-demokrasi dan pengucilan. Mereka yang divaksinasi kerap menjadi korban "bully" dan menerima respon negatif di media sosial.

Banyak orang di sektor kesehatan menjadi kelompok yang pertama berhenti bekerja dan bergabung dalam CDM melawan junta militer.

Karyawan-karyawan sektor publik lainnya mengikuti hal tersebut, menyebabkan sebuah pukulan besar terhadap administrasi dan membuat junta militer meningkatkan tekanan terhadap para pegawai pemerintah untuk kembali bekerja.

Junta mulai menangkap para tenaga kerja kesehatan profesional, sementara tim medis lainnya saat ini masih bersembunyi.

Beberapa orang dokter yang terafiliasi dengan CDM, awalnya merawat pasien di tempat-tempat praktek swasta, tetapi berhenti setelah menyaksikan pengerahan polisi dan tentara di dekat klinik pribadi mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya