Liputan6.com, Jakarta Puluhan siswa dan staf dari satu-satunya sekolah asrama putri di Afghanistan telah dievakuasi ke Rwanda, jelas presiden sekolah swasta tersebut pada Selasa 24 Agustus 2021 waktu setempat.
Langkah tersebut dilakukan beberapa hari setelah Taliban menggulingkan pemerintahan Afghanistan dan melarang perempuan untuk belajar.
Baca Juga
"Minggu lalu, kami menuntaskan keberangkatan dari Kabul untuk hampir 250 siswa fakultas, staf, dan anggota keluarga," kata Shabana Basij-Rasikh, yang ikut mendirikan School of Leadership Afghanistan (SOLA) di ibu kota Afghanistan seperti dikutip dari CNN, Jumat (27/8/2021).Â
Advertisement
"Semua orang sedang dalam perjalanan, melalui Qatar, ke negara Rwanda dimana kami bermaksud memulai semster di luar negeri untuk seluruh mahasiwa kami," ujar Shabana dalam serangkaian tweet.
Presiden sekolah itu mengatakan ia berharap mereka semua nantinya dapat kembali.
"Tempat transmigrasi kami tidak permanen... Saat keadaan mengizinkan, kami berharap untuk pulang ke Afghanistan. Untuk saat ini, saya meminta privasi bagi komunitas kami," tulisnya lagi.
Shabana sangat dihormati dan ikut mendirikan sekolah saat masih remaja. Sebuah situs web menyatakan alasannya yakni untuk menyediakan akses pendidikan berkualitas bagi anak perempuan di tanah airnya.
Sebuah postingan yang diunggahnya muncul beberapa hari setelah ia melaporkan membakar catatan data tentang siswa bukan untuk menghapusnya, tetapi untuk melindungi mereka dan keluarga mereka.
Nearly 20 years later, as the founder of the only all-girls boarding school in Afghanistan, I’m burning my students’ records not to erase them, but to protect them and their families. 2/6 pic.twitter.com/JErbZCSPuC
— Shabana Basij-Rasikh (@sbasijrasikh) August 20, 2021
Shabana menceritakan bagaimana tahun 2002, beberapa bulan setelah jatuhnya Taliban setelah invasi pimpinan AS, banyak gadis Afghanistan diundang untuk mengambil bagian dalam tes penempatan karena militan telah membakar semua catatan siswa perempuan untuk menghapus keberadaan mereka. Ia mengatakan bahwa ia termasuk salah satu dari gadis-gadis tersebut.
Shabana baru berusia 6 tahun ketika Taliban berkuasa dan terdaftar di jaringan kelas rahasia untuk menyelesaikan pendidikannya.
"Saya takut. Saya tidak ingin melanjutkannya. Saya tidak ingin dibunuh oleh Taliban. Orangtua saya, merekalah yang selalu mendorong (saya)," katanya pada CNN tahun 2012.
Shabana mengatakan bahwa ayahnya yang menginspirasinya untuk pergi ke sekolah.
Ayahnya mengatakan Shabana dapat kehilangan semua yang ia miliki dalam hidupnya. Uang bisa dicuri. Tapi ada satu hal yang akan selalu bersamanya, yakni apa yang ada di otak Shabana.
"Pendidikanmu adalah investasi terbesar dalam hidupmu. Jangan pernah menyesalinya," tegas ayah Shabana.
Pengalaman itulah yang mendorongnya memulai SOLA, yang berarti perdamaian dalam bahasa Pashto setempat.
Dalam cuitan Twitter-nya pada 20 Agustus, ia mengungkapkan bagaimana dirinya semakin bersemangat untuk berinvestasi dalam pendidikan gadis-gadis Afghanistan. Kementerian Pendidikan di Rwanda pun mengatakan sangat menantikan untuk menyambut komunitas SOLA.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Uganda Terima Pengungsi Afghanistan
Relokasi SOLA ke Rwanda terjadi di tengah kedatangan kelompok pengungsi pertama dari Afghanistan ke Uganda.
Menurut Kementerian Luar Negeri Uganda, ke-51 warga Afghanistan itu mendarat pada Rabu pagi dengan penerbangan sewaan pribadi.
Para pendatang baru untuk sementara akan tinggal di sana sebelum dimukimkan kemballi ke tempat lain.
Uganda akan menjadi tuan rumah bagi warga negara Afghanistan yang beresiko dan negara lainnya yang sedang transit ke AS dan tujuan lain di seluruh dunia.
Uganda akan menampung 2.000 pengungsi Afghanistan selama 3 bulan kedepan seperti permintaan AS, menurut Menteri Negara untuk Bantuan, Kesiapsiagaan dan Pengungsi Bencana, Esther Anyakun Davina.
Â
Reporter: Ielyfia Prasetio
Advertisement