Pengadilan Internasional Izinkan Penyelidikan Pelanggaran HAM Presiden Rodrigo Duterte

Pengadilan yang berbasis di Den Haag mengatakan ada dasar untuk melanjutkan penyelidikan terhadap Presiden Filipina Rodrigo Duterte.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 16 Sep 2021, 12:35 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2021, 12:35 WIB
Rodrigo Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberi tahu puluhan polisi yang berada di hadapannya bahwa mereka akan diawasi. (Ted Aljibe/AFP)

Liputan6.com, Manila - Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) secara resmi telah mengizinkan penyelidikan resmi atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan (pelanggaran HAM) yang dilakukan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam "perang melawan narkoba". Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Rabu 15 September, pengadilan yang berbasis di Den Haag mengatakan ada dasar untuk melanjutkan penyelidikan.

Pihaknya mencatat ada elemen hukum tertentu dari kejahatan terhadap kasus pembunuhan ribuan orang di Filipina.

ICC juga mengatakan, "apa yang disebut kampanye 'perang melawan narkoba' tidak dapat dilihat sebagai operasi penegakan hukum yang sah, dan pembunuhan itu tidak sah atau hanya sebagai ekses dalam operasi yang dinyatakan sah."

Perintah untuk menyelidiki ditandatangani oleh Hakim Peter Kovacs, Reine Adelaide Sophie Alapini-Gansou dan Maria del Socorro Flores Liera.

Pengadilan mengatakan, hakimnya mempertimbangkan bukti yang diajukan atas nama setidaknya 204 korban, dan apa yang mereka temukan menunjukkan, "serangan ini meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan dari kebijakan negara."

Mantan jaksa ICC Fatou Bensouda mengajukan permintaan untuk menyelidiki sebelum dia pensiun, menuduh, "Ada aktor di sebuah negara, terutama anggota pasukan keamanan Filipina yang membunuh ribuan tersangka pengguna narkoba dan warga sipil lainnya selama operasi penegakan hukum resmi."

Dalam sebuah wawancara dengan DZBB, sebuah stasiun radio yang berbasis di Manila pada Kamis 16 September, Salvador Panelo, penasihat hukum presiden mengulangi pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa pemerintahan Duterte tidak akan mau bekerja sama dengan penyelidikan.

Panelo juga mengatakan bahwa penyidik ICC tidak akan diizinkan masuk ke negara itu untuk melakukan penyelidikan. Mendengar kabar putusan ICC, Llore Pasco, warga Metro Manila, Filipina yang dua putranya tewas pada Mei 2017, mengaku lega kasusnya bisa dilanjutkan.

Dia adalah salah satu ibu yang mengajukan petisi kepada ICC untuk menyelidiki "perang melawan narkoba" yang mematikan tersebut.

"Tuhan itu hebat. Saya merasakan sedikit kelegaan dan kebahagiaan. Sekarang ada harapan bahwa para korban dapat memperoleh keadilan, dan mereka yang melakukan kejahatan akan dihukum," katanya kepada Al Jazeera.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Duterte Sebagai Presiden

Filipina Lockdown Manila Imbas Virus Corona COVID-19
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (tengah) menyampaikan pidato di Istana Presiden Malacanang, Manila, Kamis (12/3/2020). Duterte mengumumkan lockdown untuk Kota Manila demi mencegah penyebaran virus corona COVID-19. (Richard Madelo/Malacanang Presidential Photographers Division via AP)

Duterte mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2016 dengan satu isu memerangi kejahatan di Filipina. Selama kampanyenya dan kemudian sebagai presiden, dia berulang kali mendesak polisi untuk "membunuh" tersangka narkoba.

Setelah menjabat pada 30 Juni 2016, ia segera meluncurkan kampanye mematikannya yang digambarkan oleh para pemimpin Katolik negara itu sebagai "pemerintahan teror".

Data terbaru pemerintah yang dirilis pada Juni 2020 menunjukkan bahwa hingga akhir April 2021, polisi dan pasukan keamanan lainnya telah menewaskan sedikitnya 6.117 tersangka pengedar narkoba selama operasinya. Tetapi angka pemerintah yang dikutip oleh PBB pada Juni 2020 sudah menunjukkan setidaknya 8.600 kematian.

Sebuah laporan polisi Filipina pada tahun 2017 juga menyebut 16.355 "kasus pembunuhan yang sedang diselidiki" sebagai pencapaian dalam perang narkoba.

Pada bulan Desember 2016, Al Jazeera melaporkan lebih dari 6.000 kematian dalam perang narkoba, menimbulkan pertanyaan tentang inkonsistensi sistem pencatatan pemerintah dan kemungkinan “manipulasi” data pemerintah.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlah kematian bisa antara 27.000 dan 30.000. Mereka menuduh pihak berwenang melakukan eksekusi singkat yang membunuh tersangka yang tidak bersalah, termasuk anak-anak.

Di antara mereka yang tewas setidaknya 73 anak-anak, dengan yang termuda baru berusia lima bulan, menurut penyelidikan PBB.

Banyak orang juga dibunuh oleh orang-orang bersenjata "tidak dikenal", yang kemudian berubah menjadi petugas polisi, menurut laporan berita. Hanya sedikit dari ribuan kasus yang dilaporkan untuk diadili.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya