Liputan6.com, Teheran - Putri mantan Presiden Iran, Akbar Hashemi Rafsanjani yang bernama Faezeh Hashemi tengah jadi sorotan. Pasalnya ia dikabarkan menghadapi tuntutan terkait komentarnya di media sosial tentang Garda Revolusi dan Nabi Muhammad, kata Departemen Kehakiman negara itu pada Selasa 10 Mei 2022.
"Hashemi, 59 tahun, dipanggil jaksa terkait dua hal ini," kata juru bicara Departemen Kehakiman Zabihollah Khodayian, pada konferensi pers yang dikutip situs web Mizan Online seperti diberitakan VOA Indonesia, Rabu (11/5/2022).
Baca Juga
Khodayian merujuk kasus yang mendera Faezeh Hashemi akibat pernyataan tentang sanksi terhadap Garda Revolusi dan penghinaan terhadap Nabi.
Advertisement
Putri mantan presiden Iran, Hashemi, adalah mantan anggota parlemen dan aktivis hak-hak perempuan yang pada pertengahan April dalam debat audio di forum media sosial mengatakan permintaan Iran agar Garda Revolusi dihapus dari daftar teror AS "merusak kepentingan nasional", demikian dilaporkan media lokal.
Penghapusan sebutan teror adalah tuntutan utama Teheran dalam perundingan yang macet dengan negara-negara besar dunia untuk memulihkan kesepakatan nuklir 2015.
Dan dalam sebuah video yang diposting secara terpisah di media sosial, Hashemi mengatakan, Khadijah, istri Nabi Muhammad, adalah "seorang pengusaha," tetapi sambil tersenyum Hashemi menambahkan bahwa Nabi "menghabiskan uang" istrinya.
Itu adalah "lelucon ... tanpa niat untuk menghina," kata Hashemi kemudian, sebagaimana dilaporkan kantor berita pemerintah, IRNA.
Mendiang ayah Hashemi adalah seorang moderat yang menganjurkan hubungan yang lebih baik dengan Barat dan Amerika Serikat.
Hashemi ditangkap dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara pada akhir 2012 atas tuduhan propaganda melawan republik Islam itu.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Unggah Podcast Dianggap Hina Kerajaan Thailand, Wanita Ini Dipenjara 43 Tahun
Kasus aktivitas media sosial berujung penuntutan juga dilaporkan dari Thailand. Negeri Gajah Putih ini dikenal mempunyai hukum ketat tentang siapapun yang mengkritik kerajaannya.
Kali ini seorang wanita terjerat dalam sanksi tersebut dan dipenjara selama 43 tahun.
Dikutip dari BBC, Rabu (20/1/2021), hukuman 43 tahun itu merupakan sanksi terberat Thailand karena telah menghina monarki.
Anchan (63), mantan PNS yang dikenal dengan nama itu dikenakan sanksi menghina kerajaan gara-gara memposting klip audio dari podcast di media sosial. Ia mengatakan hanya membagikan file audio tersebut dan tidak mengomentari kontennya.
Hukum lèse-majesté Thailand, yang melarang penghinaan apapun terhadap monarki, termasuk yang paling ketat di dunia.
Setelah sempat ada jeda selama tiga tahun atas hukum tersebut, Thailand menghidupkan kembali undang-undang kontroversial pada akhir tahun lalu dalam upaya untuk mengekang protes anti-pemerintahan yang sudah berlangsung berbulan-bulan.
Demonstran tersebut menuntut perubahan pada monarki.
Anchan mengaku bersalah atas 29 pelanggaraan terpisah dalam berbagi dan mengunggah klip di Youtube dan Facebook antara 2014 dan 2015, kata pengacaranya.
Awalnya, ia dijatuhi hukuman 87 tahun yang telah dipotong karena ia mengaku bersalah.
Tidak hanya Anchan, ada 14 orang lainnya yang dikenakan sanksi lèse-majesté tak lama setelah junta militer merebut kekuasaan pada 2014.
Junta militer bersumpah untuk membasmi kritik terhadap monarki.
Anchan dan 14 orang lainnya dituduh bersalan karena mengunggah podcast. Aksi populer di kalangan pembangkang yang mempertanyakan monarki.
Pembuat podcast tersebut hanya menjalani dua tahun penjara dan telah dibebaskan.
Persidangan diadakan secara tertutup dan bukti terhadap terdakwa dirahasiakan dengan alasan keamanan nasional.
Dengan hukuman yang begitu keras dari perbuatan yang tidak seberapa, terlihat bahwa pihak berwenang ingin mengirim peringatan kepada pembangkan lainnya untuk berhenti berbicara tentang monarki.
Jonathan Head dari BBC mengatakan, tahun lalu terjadi gelombang protes yang dipimpin oleh mahasiswa.
Protes tersebut mempertanyakan terbuka tentang kekayaan, peran politik, dan kehidupan pribadi Raja Vajiralongkorn dalam skala yang bersejarah untuk Thailand.
Lebih dari 40 aktivis muda telah didakwa dengan lèse-majesté selama beberapa minggu terakhir.
Undang-undang tersebut dikecam oleh pejabat PBB karena dianggap terlalu keras.
Advertisement
Dituding Hina Presiden Erdogan, Jurnalis Turki Sedef Kabas Ditahan
Sementara itu Sedef Kabas, seorang jurnalis TV Turki, ditahan. Ia kala itu terkenal karena komentarnya mengenai Presiden Recep Tayyip Erdogan saat siaran.
Berita penangkapan Sedef Kabas diungkapkan oleh pengacaranya pada Sabtu, 22 Januari 2022. Ia resmi ditangkap setelah hadir di persidangan.
Di Turki, tindak pidana penghinaan terhadap presiden dengan ancaman hukuman penjara satu hingga empat tahun.
"Seorang jurnalis terang-terangan menghina presiden kita di sebuah saluran TV yang tak punya tujuan lain selain menebarkan kebencian," kata kepala juru bicara Erdogan, Fahrettin Altun, lewat Twitter seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (24/1/2022).
"Saya mengecam dengan keras arogansi dan ketidakmoralan ini. Ini tidak hanya amoral, tapi juga tidak bertanggung jawab," kata Altun.
Polisi Turki menahan Sedef Kabas di rumahnya pada Sabtu, 22 Januari pukul 02.00 waktu setempat, hanya beberapa jam setelah ia menyampaikan komentar itu dan mengunggahnya ke akun Twitter miliknya yang memiliki 900 ribu pengikut.
Kendati demikia serikat jurnalis Turki menyebut penangkapan Kabas sebagai "serangan serius terhadap kebebasan berekspresi."
Kelompok-kelompok hak-hak asasi manusia (HAM) kerap menuduh Turki menggerus kebebasan media dengan menangkapi para wartawan dan membredel media, terutama sejak Erdogan nyaris dikudeta pada Juli 2016.
Menurut Kelompok Wartawan Tanpa Tapal Batas (Reporters Without Borders), Turki ada di peringkat 153 dari 180 pada indeks kebebasan pers 2021.
Gadis Influencer Mesir Dipenjara 2 Tahun Atas Tuduhan Tak Bermoral di Media Sosial
Kasus serupa menimpa dua influencer asal Mesir. Mereka divonis dua tahun penjara atas tuduhan "tindakan tak bermoral" dan perdagangan manusia. Mereka bahkan kena denda 300 ribu pound Mesir karena melanggar tatanan nilai di Mesir.
Dilaporkan ABC Australia, Selasa (28/7/2020), pengadilan Mesir menilai akun-akun media sosial tersebut mendorong perempuan lain untuk mencari uang dari internet dengan mengumpulkan pengikut sebanyak mungkin.
Influencer Haneen Hossam, 20 tahun, seorang mahasiswi Cairo University dituduh mendorong para perempuan muda bertemu pria lewat aplikasi video dan membina persahabatan dengan mereka.
Haneen dituduh mendapat keuntungan material tergantung dari jumlah mereka yang menonton aplikasi tersebut.
Mawada al-Adham, seorang influencer lainnya dengan sedikitnya 2 juta pengikut, juga dituduh memasang foto-foto dan video tidak senonoh di media sosial.
Menurut jaksa penuntut, tiga perempuan lain dikenai tuduhan membantu Hossam dan Al-Adham mengelola akun media sosial mereka.
Pengacara Al-Adham Ahmed el-Bahkeri telah membuat konfirmasi soal hukuman kepada influencer yang telah diputuskan hari Senin waktu setempat di Mesir. Ia mengatakan mereka akan mengajukan banding atas keputusan pengadilan.
Advertisement