Sanksi AS Terhadap Iran Dianggap Perburuk Situasi Kemanusiaan

Sanksi-sanksi telah mempengaruhi kelompok ekspor utama Iran, bank, dan sejumlah perusahaan swasta dan milik negara.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Mei 2022, 07:03 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2022, 07:03 WIB
Iran Diterjang Badai Pasir-AFP 3
Seorang anak laki-laki bermain di luar selama badai pasir besar di utara ibu kota Iran, Teheran pada 17 Mei 2022. Kantor-kantor pemerintah, serta sekolah dan universitas diumumkan ditutup di banyak provinsi di Iran karena kondisi "cuaca tidak sehat" dan badai pasir yang menyelimuti, menurut laporan media pemerintah. (AFP)

Liputan6.com, Teheran - Alena Douhan, Pelapor Khusus PBB Untuk Dampak Negatif Tindakan Paksaan Sepihak terhadap Kebebasan Hak Asasi Manusia, mengatakan sanksi-sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat terharap Iran berdampak buruk pada perekonomian negara tersebut dan memperburuk situasi kemanusiaan di negara yang terletak di Teluk Persia itu.

Douhan mengatakan sanksi-sanksi itu telah mempengaruhi kelompok ekspor utama Iran, bank, dan sejumlah perusahaan swasta dan milik negara, termasuk di sektor farmasi dan produksi makanan.

Lebih jauh Douhan mengatakan hal ini telah menyebabkan inflasi dan meningkatnya kemiskinan, serta menipisnya sumber daya negara untuk menangani kebutuhan dasar orang-orang berpendapatan menengah dan kelompok rentan lainnya.

Berbicara dalam konferensi pers pada Rabu (18/5) di Teheran, Douhan – warga Belarus yang pada 2020 ditunjuk sebagai utusan khusus dan bertugas memberi laporan ke Dewan HAM PBB – juga mengatakan bahwa “sanksi-sanksi telah secara subtansial memperburuk situasi keamanan di Iran.” Ia mendesak negara-negara yang menjatuhkan sanksi sepihak terhadap Iran, terutama Amerika Serikat, untuk segera mencabut sanksi itu.

Mantan Presiden Amerika Donald Trump pada 2018 menarik diri dari perjanjian nuklir antara Iran dan enam negara adidaya, dan memberlakukan kembali sanksi-sanksi serta memperkenalkan langkah baru yang lebih tegas terhadap Iran, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (20/5/2022).

Perjanjian nuklir itu telah menjamin pelonggaran sanksi-sanksi sebagai imbalan pembatasan ketat program nuklir Iran. Perundingan di Wina untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir dengan Iran, telah macet karena tuntutan Iran agar Amerika mengeluarkan pasukan paramiliter Garda Revolusioner Iran dari daftar organisasi teroris.

Perundingan itu hampir mencapai kesepakatan pada Maret lalu sebelum Rusia meminta agar perdagangannya dengan Iran masuk dalam datar pengecualian dari sanksi-sanksi Barat terhadap Rusia terkait invasinya di Ukraina, yang membuat perundingan itu kacau balau.

Tim perunding belum berkumpul lagi di Wina, Austria, dan tidak jelas rintangan apalagi yang akan timbul dalam upaya untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir baru itu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Iran Masih Tunggu Tanggapan Amerika Serikat Soal Kesepakatan Nuklir

Bendera Iran di luar gedung yang menampung reaktor fasilitas nuklir Bushehr di kota pelabuhan selatan Iran Bushehr pada tahun 2007 AFP / BEHROUZ MEHRI
Bendera Iran di luar gedung yang menampung reaktor fasilitas nuklir Bushehr di kota pelabuhan selatan Iran Bushehr pada tahun 2007 AFP / BEHROUZ MEHRI

Iran mengatakan, Senin (16/5), pihaknya menunggu tanggapan AS atas "solusi" yang didiskusikan dengan utusan Uni Eropa untuk memecahkan kebuntuan dalam pembicaraan yang bertujuan memulihkan kesepakatan nuklir 2015.

Koordinator Uni Eropa untuk pembicaraan nuklir dengan Iran, Enrique Mora, mengadakan dua hari diskusi dengan kepala perunding nuklir Iran Ali Bagheri di Teheran pekan lalu.

Negosiasi untuk membawa AS kembali ke kesepakatan iu, dan Iran untuk sepenuhnya mematuhinya tersebut, telah terhenti selama sekitar dua bulan, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (18/5/2022).

"Negosiasi serius dan berorientasi hasil dengan inisiatif khusus dari Iran telah diadakan," kata juru bicara kementerian luar negeri Iran Saeed Khatibzadeh kepada wartawan.

"Jika AS memberi tanggapannya terhadap beberapa solusi yang diusulkan, kita dapat berada dalam posisi bahwa semua pihak kembali ke Wina," di mana pembicaraan diadakan, tambahnya dalam konferensi pers mingguannya itu.

Iran terlibat dalam negosiasi langsung dengan Prancis, Jerman, Inggris, Rusia dan Tiongkok untuk menghidupkan kembali kesepakatan, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Amerika Serikat berpartisipasi secara tidak langsung.

Perjanjian 2015 memberi keringanan sanksi Iran dengan imbalan pembatasan program nuklirnya untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir --- sesuatu yang selalu disangkal Iran.

AS Keluar dari Kesepakatan di Masa Kepemimpinan Donald Trump

Presiden Iran Hassan Rouhani sedang meninjau program pengembangan nuklir negaranya (AFP Photo)
Presiden Iran Hassan Rouhani sedang meninjau program pengembangan nuklir negaranya (AFP Photo)

Tetapi penarikan sepihak AS dari perjanjian itu pada 2018 di bawah presiden saat itu Donald Trump dan penerapan kembali sanksi-sanksi ekonomi yang menggigit, mendorong Iran untuk mulai membatalkan komitmennya sendiri.

"Jika AS mengumumkan keputusan politiknya hari ini, yang belum kami terima, kami dapat mengatakan bahwa langkah penting telah diambil dalam kemajuan negosiasi," kata Khatibzadeh.

Di antara poin yang mencuat adalah permintaan agar Iran menghapus Garda Revolusi, tangan ideologis militer Iran, dari daftar terorisme AS.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell pada hari Jumat mengatakan misi Mora ke Teheran berjalan "lebih baik dari yang diperkirakan" dan negosiasi yang macet "telah dibuka kembali."

Namun, Washington, mengungkapkan nada yang kurang optimistis. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan pada Jumat bahwa "pada saat ini, kesepakatan masih jauh dari pasti."

Menlu Iran: Kesepakatan Nuklir Akan Tercapai Jika AS Realistis

Iran mengonfirmasi pada Januari bahwa mereka sedang memperkaya uranium hingga melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh kesepakatan nuklir 2015 di pabrik Fordow-nya. (Foto: AFP)
Iran mengonfirmasi pada Januari bahwa mereka sedang memperkaya uranium hingga melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh kesepakatan nuklir 2015 di pabrik Fordow-nya. (Foto: AFP)

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian pada hari Senin mendesak Amerika Serikat untuk menjadi "realistis" untuk membantu mencapai kesepakatan dalam pembicaraan Wina yang bertujuan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).

Diplomat Iran mengatakan dalam sebuah tweet bahwa "tuntutan berlebihan" dari Amerika Serikat dapat menyebabkan jeda dalam negosiasi Wina karena Iran "tidak akan pernah menyerah" pada tuntutan tersebut.

Amir-Abdollahian juga menunjukkan bahwa "kesepakatan dapat dicapai jika Amerika Serikat realistis."

Sebelumnya pada hari itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan bahwa Amerika Serikat harus bertanggung jawab atas penundaan pembicaraan di Wina.

Iran menandatangani JCPOA dengan kekuatan dunia pada Juli 2015. Namun, mantan Presiden AS Donald Trump menarik Amerika Serikat keluar dari perjanjian pada Mei 2018 dan menerapkan kembali sanksi sepihak terhadap Teheran, mendorong republik Islam itu untuk mengurangi beberapa komitmen nuklirnya di bawah kesepakatan sebagai pembalasan.

Infografis Dampak Global Konflik AS Vs Iran
Infografis Dampak Global Konflik AS Vs Iran. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya