Liputan6.com, Kabul - Peraturan baru rezim Taliban telah berdampak kepada para wanita yang berkarier sebagai penyiar berita di televisi. Mereka harus menutup wajah mereka dengan cadar di hadapan kamera.
Seorang presenter TOLO News tampak sudah mengenakan cadar berwarna hitam mengikuti aturan baru tersebut. Sebelumnya, artikel di media tersebut melaporkan kalau aturan cadar itu memang tak bisa diganggu gugat.
Advertisement
Baca Juga
Foto lainnya juga beredar di Twitter.
New look of Afghanistan's TVs under the Taliban. pic.twitter.com/Nwn9Jigtvr
— Tajuden Soroush (@TajudenSoroush) May 19, 2022
Aturan cadar ini adalah satu lagi aturan Taliban yang berdampak pada perempuan. Usai Taliban berkuasa, para perempuan juga dilaporkan sulit untuk sekolah dan disuruh pulang saja ketimbang kerja.
Cadar yang digunakan umumnya berwarna gelap. Pada sebuah stasiun televisi, para pria yang bekerja di media berusaha menampilkan solidaritas dengan turut menutup wajah mereka dengan masker.
As Taliban forces female anchors in #Afghanistan to cover their faces “to implement Shariah” as they say, Afghan male TV presenters also cover their faces in solidarity with their female colleagues. #FreeHerFace pic.twitter.com/r9x86EEO2X
— حسن سجواني 🇦🇪 Hassan Sajwani (@HSajwanization) May 23, 2022
Hingga kini, Taliban masih belum diakui oleh dunia internasional usai meraih kekuasaan dengan cara kudeta pada Agustus 2021. Salah satu yang membuat Taliban sulit diakui juga karena kebijakannya kepada perempuan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
G7 Kutuk Taliban Atas Kebijakan Membatasi Gerak Kaum Perempuan Afghanistan
Kelompok tujuh negara industri (G7) pada Kamis (12/5) mengutuk pembatasan yang semakin luas terhadap perempuan dan anak perempuan yang diterapkan oleh Taliban di Afghanistan. G7 menuduh kelompok Islam garis keras itu mengisolasi negaranya sendiri.
“Kami menyerukan kepada Taliban untuk segera mengambil langkah-langkah untuk mencabut pembatasan pada perempuan dan anak perempuan,” kata Menteri Luar Negeri Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat dalam sebuah pernyataan.
“Kami mengutuk pengenaan langkah-langkah yang semakin ketat yang sangat membatasi separuh kemampuan penduduk untuk berpartisipasi secara penuh, setara dan bermakna dalam masyarakat,” kata mereka.
Dengan membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan, Taliban “semakin mengasingkan diri dari komunitas internasional,” kata para menteri itu.
Ketika Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan tahun lalu, mereka menjanjikan aturan yang lebih lunak daripada saat pertama kali berkuasa dari 1996 hingga 2001, yang ditandai dengan banyak pelanggaran hak asasi manusia.
Tetapi mereka semakin membatasi hak-hak warga Afghanistan, khususnya anak perempuan dan perempuan, yang telah dicegah untuk kembali ke sekolah menengah dan banyak pekerjaan pemerintah.
Perempuan di seluruh negeri telah dilarang bepergian sendirian, dan minggu lalu pihak berwenang memerintahkan mereka untuk menutup sepenuh bagian tubuh di depan umum, idealnya dengan burqa.
Di New York, pada Kamis (12/5) malam, para duta besar untuk PBB juga mengutuk pembatasan yang semakin luas terhadap perempuan di Afghanistan.
Advertisement
Puluhan Wanita Afghanistan Protes Soal Aturan Wajib Burqa ke Taliban
Puluhan wanita melakukan protes di ibukota Afghanistan pada Selasa 10 Mei terhadap aturan baru Taliban bahwa perempuan harus menutupi wajah dan tubuh mereka sepenuhnya ketika di depan umum.
Pemimpin tertinggi Afghanistan dan kepala Taliban Hibatullah Akhundzada mengeluarkan mandat selama akhir pekan memerintahkan wanita untuk menutupi sepenuhnya, idealnya dengan burqa tradisional yang menutupi semua.
Diktat itu adalah yang terbaru dari serangkaian pembatasan yang merayap di Afghanistan, di mana kelompok Islamis telah mengembalikan keuntungan marjinal yang dibuat oleh perempuan setelah invasi pimpinan Amerika Serikat menggulingkan rezim Taliban pertama pada tahun 2001.
"Keadilan, keadilan!" teriak para pemrotes, banyak dengan wajah terbuka, di Kabul tengah, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Rabu (11/5).
Para demonstran juga meneriakkan "Burqa bukan hijab kami!", menunjukkan keberatan mereka untuk memperdagangkan jilbab yang tidak terlalu ketat dengan burqa yang benar-benar tertutup.
Setelah prosesi singkat, pawai dihentikan oleh pejuang Taliban, yang juga menghalangi wartawan untuk meliput acara tersebut.
Dekrit Akhundzada yang juga memerintahkan perempuan untuk "tinggal di rumah" jika mereka tidak memiliki pekerjaan penting di luar, telah memicu kecaman internasional.
"Kami ingin hidup sebagai manusia, bukan sebagai hewan yang ditawan di sudut rumah," kata pengunjuk rasa Saira Sama Alimyar pada rapat umum tersebut.
Tak Ingin Mengikuti Aturan
Akhundzada juga memerintahkan pihak berwenang untuk memecat pegawai pemerintah perempuan yang tidak mengikuti aturan berpakaian yang baru, dan menskors pekerja laki-laki jika istri dan anak perempuan mereka tidak mematuhinya.
Dalam 20 tahun antara dua tugas Taliban berkuasa, perempuan membuat beberapa keuntungan dalam pendidikan, tempat kerja dan kehidupan publik tetapi sikap sangat konservatif dan patriarki masih berlaku.
Di pedesaan, banyak wanita terus mengenakan burqa dalam dua dekade itu.
Tetapi beberapa cendekiawan dan aktivis agama mengatakan bahwa pakaian itu tidak memiliki dasar dalam Islam dan lebih merupakan aturan berpakaian Taliban yang dirancang untuk menindas wanita.
Setelah merebut kekuasaan tahun lalu, Taliban telah menjanjikan versi yang lebih lembut dari aturan Islam keras yang menandai tugas pertama mereka berkuasa dari 1996 hingga 2001, tetapi banyak pembatasan telah diberlakukan.
Beberapa wanita Afghanistan awalnya menentang pembatasan, mengadakan protes kecil di mana mereka menuntut hak atas pendidikan dan pekerjaan.
Tetapi Taliban segera menangkap para pemimpin kelompok itu, menahan mereka tanpa komunikasi sambil menyangkal bahwa mereka telah ditahan.
Advertisement