Marak Kasus Penembakan, Presiden Joe Biden Desak Kongres Rombak UU Senjata Api

Presiden Joe Biden mendesak Kongres Amerika Serikat untuk mengubah undang-undang senjata guna merespons serangkaian penembakan massal yang telah melanda negara itu.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Jun 2022, 13:00 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2022, 13:00 WIB
Presiden AS Joe Biden memberikan reaksi atas penembakan SD di Texas.
Presiden AS Joe Biden memberikan reaksi atas penembakan SD di Texas. Penembakan itu adalah yang terburuk dalam sejarah Texas. Dok: VOA Indonesia

Liputan6.com, D.C - Presiden Joe Biden mendesak Kongres Amerika Serikat untuk mengubah undang-undang senjata guna merespons serangkaian penembakan massal yang telah melanda negara itu.

Berbicara dari Gedung Putih dalam pidato yang disiarkan langsung pada Kamis malam (2/6), Biden bertanya berapa harga yang dibutuhkan untuk mengubah UU senjata di Amerika, menyusul penembakan terhadap anak-anak sekolah di Texas, di sebuah gedung medis di Oklahoma dan di pusat berbelanjaan di Buffalo, New York baru-baru ini.

"Demi Tuhan, berapa banyak lagi pembantaian yang mau kita terima?" tanya Biden sebagaimana diwartakan Reuters, dikutip dari Antara, Sabtu (4/6/2022).

Presiden yang berasal dari Partai Demokrat itu menyerukan sejumlah tindakan yang secara historis ditentang oleh Partai Republik di Kongres, termasuk melarang penjualan senjata serbu, atau, jika itu tidak memungkinkan, menaikkan usia minimum untuk membeli senjata itu menjadi 21 dari 18 tahun, serta mencabut perlindungan kewajiban yang melindungi produsen senjata dari tuntutan atas kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang membawa senjata mereka.

"Kita tidak bisa mengecewakan rakyat Amerika lagi," kata Biden, yang menekan Partai Republik untuk mengizinkan RUU dengan langkah-langkah pengendalian senjata diproses untuk pemungutan suara.

AS, yang mencatat tingkat kematian akibat kekerasan bersenjata yang lebih tinggi daripada negara kaya lainnya, telah terguncang dalam beberapa pekan terakhir oleh penembakan massal di sebuah toko kelontong di bagian utara New York, sebuah sekolah dasar di Texas yang menewaskan 19 anak-anak, dan gedung medis di Oklahoma.

Anggota parlemen sedang mencari langkah-langkah untuk memperluas pemeriksaan latar belakang dan mengesahkan undang-undang "bendera merah" yang akan memungkinkan petugas penegak hukum untuk mengambil senjata dari orang yang menderita penyakit mental.

Namun, setiap tindakan baru menghadapi rintangan dari Partai Republik, khususnya di Senat AS, dan langkah untuk melarang senjata serbu tidak memiliki cukup dukungan untuk maju.

Terlepas dari tantangan politik, Biden mendesak Kongres untuk bertindak.

"Setelah Columbine, setelah Sandy Hook, setelah Charleston, setelah Orlando, setelah Las Vegas, setelah Parkland, tidak ada yang dilakukan," kata Biden, yang menyebutkan penembakan massal paling menonjol selama dekade terakhir. "Kali ini keadaan itu tak bisa dibenarkan."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Mengekang Kekerasan Senjata

Seorang wanita menangis di dekat polisi usai terjadi penembakan di Robb Elementary School yang berlokasi di Texas. 14 anak tewas.
Penembakan massal di sekolah kembali terjadi di AS setelah pandemi COVID-19 reda dan murid-murid bisa kembali sekolah. Seorang wanita menangis di dekat polisi usai terjadi penembakan di Robb Elementary School yang berlokasi di Texas. 14 anak tewas. Dok: William Luther/The San Antonio Express-News via AP

Pendukung keamanan senjata telah mendorong Biden untuk mengambil langkah-langkah sendiri yang lebih kuat untuk mengekang kekerasan senjata, tetapi Gedung Putih ingin Kongres meloloskan undang-undang yang akan memiliki dampak yang lebih tahan lama daripada perintah presiden mana pun.

Lebih dari 18.000 orang telah tewas akibat kekerasan senjata di AS sejauh ini pada 2022, termasuk melalui pembunuhan dan bunuh diri, menurut sebuah kelompok riset nirlaba Gun Violence Archive.

Kanada, Australia, dan Inggris telah mengesahkan undang-undang senjata yang lebih ketat setelah penembakan massal di negara mereka dengan melarang senjata serbu dan meningkatkan pemeriksaan latar belakang.

Sementara Amerika telah mengalami dua dekade pembantaian di sekolah, toko, tempat kerja, dan tempat ibadah tanpa undang-undang semacam itu.

 


Penembakan di Iowa, 3 Orang Tewas

Dua Penembakan Massal di AS
Bendera Amerika Serikat berkibar setengah tiang di Gedung Putih, Washington DC, Minggu (4/8/2019). Presiden Donald Trump memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di semua gedung pemerintah untuk mengenang korban tewas dalam dua penembakan massal di El Paso, Texas, dan Ohio. (AP/Andrew Harnik)

Dua orang dan seorang pelaku dilaporkan tewas setelah penembakan terjadi di luar sebuah gereja di Ames, negara bagian Iowa, Amerika Serikat, pada Kamis (2/6).

Kantor Sheriff Story County mentweet bahwa mereka menerima beberapa panggilan yang melaporkan bahwa seorang pria telah menembak dua orang di tempat parkir sebuah gereja pada malam hari.

"Ada tiga orang yang tewas, salah satunya adalah laki-laki yang diidentifikasi sebagai pelaku penembakan," tulis kantor sheriff.

"Tidak ada ancaman berkelanjutan terhadap komunitas di wilayah tersebut. Tidak akan ada pembaruan lebih lanjut saat ini," tambahnya.

Ames, sebuah kota di Story County, berjarak sekitar 50 km di utara Des Moines di Iowa tengah.

 


Penembakan di RS Oklahoma

Sebuah sepatu kets terletak di dekat lokasi penembakan di Pittsburgh, AS Minggu 17 April 2022 pagi. (Gene.J Pushkar/AP)
Sebuah sepatu kets terletak di dekat lokasi penembakan di Pittsburgh, AS Minggu 17 April 2022 pagi. (Gene.J Pushkar/AP)

Lima orang, termasuk pelaku penembakan di sebuah rumah sakit di Oklahoma, Amerika Serikat, tewas di lokasi kejadian pada Rabu 1 Juni 2022. Pelaku penembakan massal itu melakukan aksinya untuk mengincar seorang dokter bedah yang pernah mengoperasinya.

Menurut pihak berwenang, pelaku menyalahkan sang dokter atas nyeri punggung yang dideritanya setelah menjalani operasi. Dua dokter, seorang resepsionis, dan seorang pasien tewas dalam penembakan itu.

Dr Preston Phillips, 59 tahun, ahli bedah ortopedi yang merawat pelaku, tewas bersama Dr Stephanie Husen, ahli pengobatan olahraga berusia 48 tahun.

"Tersangka masuk ke gedung rumah sakit St. Francis Health System di Tulsa dengan membawa senjata semiotomatis dan mulai menembak orang yang dia temui," kata Kepala Kepolisian Tulsa Wendell Franklin.

Polisi mengidentifikasi pelaku penembakan sebagai Michael Lewis atau Louis. Juru bicara kepolisian tidak bisa dihubungi untuk memastikan ejaan nama belakangnya.

Tersangka "datang dengan maksud untuk membunuh Dr Phillips dan siapa pun yang menghalanginya," kata Franklin. Pihak berwenang menemukan sepucuk surat dari pelaku yang menjelaskan bahwa serangan itu direncanakan.

Otoritas menyebut dua nama korban yang lain: Amanda Glenn, resepsionis, dan William Love, pasien. Resepsionis rumah sakit di Oklahoma itu semula diidentifikasi sebagai Amanda Green, tetapi polisi kemudian mengoreksi nama belakangnya.

"Mereka berdiri di lorong dan (tersangka) menembak mereka," kata Franklin.

infografis Penembakan Massal di AS Sepanjang 2017
infografis Penembakan Massal di AS Sepanjang 2017
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya