Liputan6.com, Riyadh - Indonesia telah memfasilitasi kepulangan WNI yang merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Arab Saudi pada 10 Juli 2022.
Menurut KBRI Riyadh, seperti dikutip dari situs Kemlu RI, Kamis (14/7/2022), WNI tersebut (sebut saja AIA) terancam hukuman mati di Arab Saudi. AIA divonis bersalah oleh Mahkamah Agung Arab Saudi atas tindakan penghilangan nyawa dengan sengaja terhadap anak majikan WN Saudi yang berkebutuhan khusus pada tahun 2019.
Baca Juga
AIA bertindak demikian diduga karena terganggu jiwanya lantaran hanya mengurusi anak berkebutuhan khusus tersebut terus menerus dan tidak diperbolehkan keluar rumah selama lima tahun sejak 2014.
Advertisement
AIA dijatuhi hukuman lima tahun pada Maret 2021 dalam tuntutan hak umum. Dengan pendampingan hukum oleh KBRI Riyadh, AIA mendapatkan keringanan hukuman dengan cukup menjalankan hukuman selama tiga tahun dikarenakan alasan medis.
Sejak awal diterimanya laporan penangkapan AIA pada 11 Juni 2019, Pemerintah RI melalui KBRI Riyadh dan Tim Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri telah memberikan pendampingan kekonsuleran berupa kunjungan, pendampingan pada setiap persidangan, fasilitasi pemeriksaan kesehatan dan kejiwaan, komunikasi dengan otoritas terkait, penanganan non-litigasi berupa pendekatan kepada ahli waris korban, dan pendampingan pemulangan AIA ke Indonesia.
Selama penanganan kasus Kementerian Luar Negeri dan KBRI Riyadh senantiasa berkoordinasi intensif dengan instansi terkait di Indonesia dan Arab Saudi serta keluarga AIA di Indonesia.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Arab Saudi Eksekusi Mati 2 WNI Terkait Kasus Pembunuhan
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri RI menyebut dua warga negara Indonesia (WNI) dieksekusi mati pada 17 Maret 2022.
"Pada tanggal 17 Maret 2022, pagi hari waktu Jeddah, otoritas Arab Saudi melakukan eksekusi mati terhadap dua warga negara Indonesia atas nama Agus Ahmad Arwas (AA) alias Iwan Irawan Empud Arwas dan Nawali Hasan Ihsan (NH) alias Ato Suparto bin Data," kata Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI dalam press briefing, Kamis (17/3/2022).
Informasi rencana eksekusi Agus dan Nawali ini diterima KJRI Jeddah sehari sebelumnya, tepatnya tadi malam melalui pengacara yang disewa KJRI Jeddah.
"Kemudian dari kronologi, pada tanggal 2 Juni 2011 AA, NH dan Siti Komariah (SK) ditangkap pihak kepolisian Jeddah atas tuduhan membunuh sesama WNI."
"Korban WNI tersebut bernama Fatmah alias Wartinah. Fatmah ditemukan dalam keadaan meninggal dengan tangan terikat dan mulut terplester."
Judha Nugraha juga menjelaskan bahwa jenazah korban ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik dan juga kekerasan seksual.
Advertisement
TKI Tuti Tursilawati Dieksekusi Mati
Pada 2018 lalu, Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi mati Tenaga Kerja Indonesia (TKI). TKI tersebut bernama Tuti Tursilawati asal Majalengka, Jawa Barat yang dihukum mati, pada Senin, 29 Oktober 2018 di Kota Thaif.
Eksekusi itu dilakukan tanpa pemberitahuan kepada perwakilan Republik Indonesia.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi langsung menghubungi Menlu Arab Saudi Adel Al Jubeir untuk memprotes eksekusi mati TKI Tuti.
"Setelah menerima kabar itu saya langsung menghubungi menlu Saudi. Saya sampaikan protes dan concern kita yang sangat mendalam," kata Menlu Retno di sela acara Our Ocean Conference di Bali, Selasa, 30 Oktober 2018.
Eksekusi Tuty ini hanya berlangsung enam hari setelah Menlu Jubeir mengadakan pertemuan bilateral dengan Menlu Retno di Jakarta membahas soal perlindungan TKI.
Dikutip dari keterangan di laman Serikat Buruh Migran Indonesia, berikut kronologi kasus TKI Tuti Tursilawati hingga dieksekusi Pemerintah Saudi:
Pada 12 Mei 2010, Tuti Tursilawati ditangkap oleh Kepolisian Saudi atas tuduhan membunuh ayah majikannya, warga negara Saudi atas nama Suud Mulhaq AI-Utaibi. Tuti Tursilawati ditangkap sehari setelah peristiwa pembunuhan yang terjadi pada 11 Mei 2010. Dia diketahui telah bekerja selama 8 bulan dengan sisa gaji tak dibayar selama 6 bulan.
Setelah membunuh korban, Tuti kemudian kabur ke Kota Makkah dengan membawa perhiasan dan uang SR 31,500 milik majikannya. Namun, dalam perjalanan kabur ke Kota Makkah, dia diperkosa sembilan pemuda Saudi dan mengambil semua barang hasil curiannya.
Sembilan orang pemuda tersebut kemudian ditangkap dan telah dihukum sesuai dengan ketentuan hukum Arab Saudi.
Sejak ditangkap dan ditahan oleh pihak Kepolisian, KJRI Jeddah melalui satgasnya di Thaif, Said Barawwas, telah memberikan pendampingan dalam proses investigasi awal di Kepolisian dan investigasi lanjutan di Badan Investigasi.
Selama proses investigasi, Tuti Tursilawati mengakui telah membunuh ayah majikan dengan alasan sering mendapatkan pelecehan seksual. Kasus Tuti sudah ditetapkan pengadilan pada 2011.
Namun, pemerintah terus melakukan upaya untuk meringankan hukuman tersebut. Upaya yang dilakukan antara lain pendampingan kekonsuleran sejak 2011-2018, tiga kali penunjukan pengacara, tigakali permohonan banding, dua kali permohonan Peninjauan Kembali (PK), dua kali mengirimkan surat Presiden kepada Raja Saudi, serta berbagai upaya non-litigasi.
Pemerintah juga sudah memfasilitasi kunjungan keluarga sebanyak 3 kali, yaitu pada 2014, 2016, dan Arpil 2018.
Kemlu RI Pulangkan WNI yang Bebas dari Ancaman Hukuman Mati di Malaysia
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI telah memulangkan dan menyerahterimakan dua WNI yang terbebas dari ancaman hukuman mati di Malaysia kepada pihak keluarga. Prosesi itu dilaksanakan di Kemlu RI Jakarta pada 17 Januari 2019.
Kedua WNI tersebut adalah Siti Nurhidayah asal Brebes, Jawa Tengah, dan Mattari asal Bangkalan, Madura.
Siti Nurhidayah (SN) ditangkap pada 6 November 2013 dalam penerbangan transit di Penang dari Guang Zhou membawa narkotika jenis sabu. Hasil pendalaman Tim Perlindungan WNI menguatkan keyakinan bahwa SN adalah korban penipuan.
Dalam proses persidangan, pengacara berhasil menghadirkan sejumlah saksi kunci yang mengetahui dan bersaksi bahwa SN adalah korban. SN dibebaskan dari semua dakwaan pada 15 November 2018.
"Hasil pendalaman Tim Perlindungan WNI terhadap 2 kasus ini memperkuat keyakinan bahwa Siti Nurhidayah adalah korban penipuan. Demikian pula dengan Mattari adalah korban salah tangkap. Karena itu kita berikan pendampingan dan pembelaan semaksimal mungkin," ujar Lalu Muhamad Iqbal, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Jumat (18/1/2019).
Sementara itu, Mattari ditangkap pada 14 Desember 2016 di sebuah proyek konstruksi tempatnya bekerja di negara bagian Selangor, Malaysia. Mattari dituduh melakukan pembunuhan terhadap seorang WN Bangladesh yang jenazahnya ditemukan dekat tempatnya bekerja.
Pengacara KBRI Kuala Lumpur, Gooi & Azzura, berhasil meyakinkan hakim bahwa bukti-bukti yang ada tidak memadai, khususnya karena tidak ada saksi yang melihat atau mengetahui langsung kejadian tersebut. Pada 2 November 2018, Hakim di Mahkamah Tinggi Syah Alam membebaskan Mattari dari semua tuduhan. Namun demikian, baru 8 Januari 2019, ijin pemulangan diterima dari Imigrasi Malaysia.
"Selama proses hukum, KBRI selalu memberikan pendampingan kepada keduanya. Termasuk dalam bentuk memfasilitasi komunikasi dengan keluarga masing-masing," ungkap Galuh Indriyati, staf KBRI Kuala Lumpur yang selama ini melakukan kunjungan ke penjara dalam rangka pendampingan bagi WNI yang menjalani proses hukum di wilayah kerja KBRI Kuala Lumpur.
Sementara itu, putra tunggal Siti Nurhidayah, Muhamad Ali Al Farisi atas nama keluarga menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah atas pendampingan dan pembelaaan yang diberikan kepada ibunya.
"Saya tidak tahu harus mengucapkan apalagi selain terima kasih kami sekeluarga atas perjuangan Pemerintah membebaskan Ibu saya yang korban penipuan. Semoga menjadi pelajaran bagi yang lain," ujar mahasiswa semester 8 Teknik Elektronika yang ditinggal ibunya saat di kelas 2 SMA ini.
Sejak 2011, sebanyak 442 WNI terancam hukuman mati di Malaysia. Pemerintah berhasil membebaskan sebanyak 308 WNI dan saat ini masih ada 134 WNI terancam hukuman mati, menurut data Kementerian Luar Negeri RI.
Advertisement