Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Rabu (14/9) bahwa gelombang virus corona di masa depan diperkirakan bisa kembali terjadi.
WHO mengingatkan pemerintah di seluruh dunia perlu tetap waspada dan siap untuk menanggapi setiap ancaman yang mungkin muncul, seperti dikutip dari laman Xinhua, Kamis (15/9/2022).
Baca Juga
"Kita tidak pernah berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengakhiri pandemi ini," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Advertisement
Menurut WHO, selama minggu 5-11 September, jumlah kasus mingguan baru di seluruh dunia menurun 28 persen dibandingkan minggu sebelumnya menjadi lebih dari 3,1 juta.
Jumlah kematian mingguan baru turun 22 persen menjadi hanya di bawah 11.000.
Tedros menyamakan respons pandemi dengan perlombaan maraton.
"Sekarang adalah waktunya untuk berlari lebih keras dan memastikan kita melewati batas dan menuai hasil dari semua kerja keras kita."
Meski demikian, para ahli WHO terus mengimbau agar berhati-hati.
Virus ini "beredar pada tingkat yang sangat intens di seluruh dunia saat ini. Dan, faktanya, jumlah kasus yang dilaporkan ke WHO yang kami tahu terlalu rendah," ujar Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis WHO.
“Kami merasa lebih banyak kasus yang sebenarnya beredar daripada yang dilaporkan kepada kami,” katanya.
"Kami memperkirakan akan ada gelombang infeksi di masa depan, berpotensi pada titik waktu yang berbeda di seluruh dunia, yang disebabkan oleh subvarian Omicron atau bahkan varian yang berbeda," katanya.
Benarkah Petunjuk Long Covid Bisa Ditemukan dalam Darah?
Di Klinik Universitas Erlangen di Jerman, dokter mata dan ahli biologi molekuler Bettina Hohberger sedang berusaha mengungkap misteri Long Covid. Dia dan timnya berusaha membuktikan apakah virus COVID-19 menggaggu peredaran darah secara konsisten:
Bersama seorang rekan dari unit perawatan intensif, Hohberger mendapat ide menguji, apakah virus juga menyerang lapisan terdalam kapiler. Bettina Hohberger dan timnya kemudian fokus meneliti pembuluh darah halus. Untuk itu, dia membuat foto mata para pasien Long Covid dengan kamera spesial.
"Ide di baliknya adalah, pembuluh darah di mata tentu punya struktur sama seperti yang lainnya di tubuh.“ Dengan demikian, kata Hohberger, perubahan di mata bisa jadi contoh untuk seluruh tubuh.
Gangguan pada Aliran Darah di Kapiler
Itu ternyata benar. Bettina Hohberger menemukan, pada banyak pasien Corona, aliran darah di kapiler terganggu. Di Institut Max Planck para peneliti sudah punya dugaan, mengapa gangguang aliran darah ini terjadi, demikian dikutip dari laman DW Indonesia, Minggu (11/9/2022).
Dalam riset yang dilakukan bekerjasama dengan institut itu, diteliti sejauh mana sel darah bisa berubah bentuk. Martin Kräter, ahli biologi di Max Planck Institut Erlangen mengatakan, "Kalau kita sekarang berbicara soal darah, berarti sel-sel darah harus berubah bentuk di kapiler terkecil agar bisa mengalir masuk.“ Tapi kalau tidak bisa berubah bentuk lagi, mungkin itulah tanda-tanda penyakitnya.
Hanya diperlukan setetes darah untuk meneliti efek ini. Martin Kräter memompa darah itu melalui chip khusus dengan kanal-kanal kecil, yang lebih halus dari sehelai rambut manusia.
Proses itu direkam filmnya dengan kamera berkecepatan tinggi. Dengan demikian bisa dilihat, apakah, dan sekuat apa sel-sel darah berubah bentuk ketika melewati kapiler buatan.
Advertisement
Long COVID Sudah Bisa Ditaklukkan?
Dari pengumpulan data terlihat, dalam darah para penderita Long Covid tampak kekakuan yang tidak alamiah. Karena, di saat sel darah merah sehat yang elastis dan berubah bentuk jadi pipih, sel-sel lain tetap kaku dan bundar: Martin Kräter dari Max-Planck-Institut Erlangen mengatakan, "Sel-sel darah itu tidak bisa lagi melewati kapiler paling halus dalam tubuh."
Para peneliti juga punya dugaan. Darah kembali memainkan peranan paling menentukan. Darah kembali jadi penentu dalam mengatasi masalah terganggunya aliran darah pada penderita Long Covid. Karena di dalam darah para penderita, peneliti menemukan autoantibodi spesifik. Molekul sistem kekebalan tubuh ini bisa memengaruhi fungsi sel-sel tubuh, antara lain sel darah.
"Karena autoantibodi berenang di mana-mana di dalam darah dan seluruh organisme, orang juga bisa menjelaskan sejumlah gejala terkait autoantibodi itu,“ begitu dijelaskan Hohberger. Sering merasa letih, dan otak seperti tertutup kabut, diakibatkan gangguan aliran darah di otak.
“Perubahan dalam aliran darah di otot menyebabkan simtom keletihan kronis. Jadi banyak simtom yang disulut perubahan urutan kejadian dalam sel, disebabkan autoantibodi ini," demikian dikatakan Hohberger. Tapi masih butuh banyak data dari berbagai studi, sebelum proses pembuatan diagnosis bisa dimulai.
Mencoba Obat yang Masih dalam Tahap Eksperimen
Namun demikian, para peneliti di Institut Max Planck di Erlangen, sudah mengambil langkah lebih jauh lagi. Mereka menguji obat BC 007 yang masih dalam tahap eksperimen pada sejumlah kecil penderita Long Covid. Obat ini dikembangkan sebuah perusahaan di Berlin, dan sebenarnya bertujuan untuk memperbaiki aliran darah pada orang-orang yang menderita gangguan jantung.
Bettina Hohberger menjelaskan, "BC 007 adalah sebuah Aptamer, sebuah pecahan DNA, yang kami tahu bisa melekatkan diri pada antibodi ini, juga menetralisir antibodi itu.“ Jadi bisa membantu tubuh untuk bisa membuangnya kembali, begitu ditegaskan Hohberger.
BC 007 sudah mereka uji pada beberapa penderita Long-Covid, antara lain pada Axel Nagat. Pada pasien ini, ternyata simtom satu demi satu berkurang.
"Awalnya saya kira, saya sekedar ceroboh,” kata Axel Nagat dan menjelaskan lebih lanjut, “Tapi dari minggu ke minggu jadi tambah buruk. Saya merasakan gangguan keseimbangan tubuh.” Selain itu, indera pengecapan terganggu. Ia juga selalu lelah, dan tertidur di tempat kerja.
Bettina Hohberger kemudian memberikan dia sekali infus dengan BC 007, dan hasilnya sangat memuaskan. "Saya tidak merasa sangat letih lagi, dan dari minggu ke minggu jadi tambah baik,“ kata Axel Nagat. Setelah tiga pekan, dia kembali fit, dan tidak menderita simtom apapun lagi.
Advertisement