Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dan Korea Selatan menjadi salah dua negara yang sepakat untuk bergabung pada kesepakatan perubahan iklim atau COP26.
Salah satu langkah yang cukup mendesak untuk dilakukan dalam kesepakatan ini adalah terwujudnya transisi energi, pengurangan emisi, hingga pengurangan efek rumah kaca.
Baca Juga
Kesepakatan ini dinilai akan sangat berbenturan dengan aktivitas perekonomian, terutama yang melibatkan bahan bakar fosil dan sumber kekayaan alam lainnya.
Advertisement
Indonesia dan Korea Selatan memiliki perjanjian perdagangan guna menggenjot perekonomian kedua negara dengan misi saling menguntungkan. Kesepakatan ini dijalin lewat Indonesia–Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement atau IK-CEPA.
Lantas bagaimana IK-CEPA mampu memenuhi target di tengah isu perubahan iklim hingga Green Economy?
Pada workshop kedua Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2 yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation, isu tantangan perubahan iklim dalam agenda ekonomi kedua negara turut dibahas.
Direktur Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan RI, Ni Made Ayu Martini yang menjadi pembicara dalam workshop tersebut mengatakan bahwa Indonesia dan Korea telah sepakat dalam upaya menjalankan green economy.
"Dalam tahap investasi, kedua negara sepakat, Indonesia dalam hal memberikan preferensi kepada Korea untuk berinvestasi di energi hijau," ujar Ni Made Ayu Martini dalam workshop bertema The Next Chapter of Indonesia-Korea Economic Coorperation; Tracking the Progress of IK-CEPA, Senin (19/9/2022).
Diuntungkan dengan Kesepakatan Bilateral
Ni Made Ayu Martini turut menyebut bahwa upaya menjalankan aktivitas ekonomi di tengah isu perubahan iklim adalah bagian dari arahan nasional.
"Jadi ini adalah bagian dari arahan nasional dari pemerintah Indonesia bahwa di masa depan kami membutuhkan hal ini dan karena kami memiliki ini, Indonesia-Korea CEPA, dan chapter investment juga memiliki itu, dan kami membukanya untuk investasi dari Korea."
"Contoh kecil untuk menunjukkan bumi di masa depan yaitu dengan penerapan teknologi yang bersih dan teknologi hijau, kita dapat memberikan kesempatan kepada perusahaan Korea untuk berinvestasi di Indonesia."
Ni Made Ayu Martini meyakinkan bahwa perjanjian perdagangan IK-CEPA semakin baik dari waktu ke waktu dan menyebut alasan Indonesia masuk dalam negosiasi ini lantaran dilakukan secara bilateral.
"Sebelumnya kita memiliki kerja sama ASEAN-Korea, artinya 10 anggota ASEAN dengan Korea juga memiliki kesepakatan dalam bentuk FDA," kata Ni Made Ayu Martini.
"Perjanjian bilateral dan perjanjian regional atau multilateral adalah dua hal yang berbeda. Dengan bilateral, Anda bisa lebih kuat, Anda bisa lebih dalam, Anda bisa lebih ambisius dan sebagainya."
Â
Advertisement
Penghapusan Biaya Tarif Perdagangan
Dalam pemaparannya, Ni Made Ayu Martini menyebut bahwa hubungan kedua negara tetap mampu menghasilkan target yang baik dan optimal lewat sejumlah kesepakatan yang saling mengentungkan.
Salah satu di antaranya adalah penghapusan tarif perdagangan. Korea Selatan menghapus 95,54 persen tarif pos untuk produk Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia juga menghapus biaya tarif pos untuk produk Korea Selatan sebanyak 95,54 persen.
Peluang lain yang dipaparkan yaitu bahwa Korea adalah hub untuk Indonesia, termasuk dalam sektor otomotif dan produk elektronik.
"Korea dikenal dengan sektor teknologinya di bidang otomotif namun market mereka sangat terbatas. Mereka butuh global market. Jika Korea berinvestasi di Indonesia, dan membuat RI sebagai industrial hub, maka itu akan menciptakan kesempatan menjadi pusat produksi besar di dunia," kata Ni Made Ayu Martini.
"Artinya itu adalah win-win, Korea membutuhkan Indonesia begitu pula sebaliknya, baik dari segi ekonomi, pekerja, investasi dan lainnya," ujar Ni Made Ayu Martini.
Â
Seputar Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea
Tahun ini, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation kembali menyelenggarakan Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2, setelah sukses di tahun sebelumnya.
Program ini merupakan wadah bagi jurnalis profesional di Indonesia untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan Indonesia-Korea yang masih kurang terjamah karena keterbatasan akses informasi.
Pada pembukaan dan workshop pertama Founder and Chairman of FPCI, Dino Patti Djalal menyampaikan sambutannya secara virtual.
Dino Patti Djalal menyambut ke-15 jurnalis terpilih dalam program tahun ini.
"Program ini terselenggara atas kerja sama FPCI bersama Korea Foundation. Tujuan utama program ini adalah membangun kemitraan strategis antara Indonesia-Korea lewat level people to people," kata Dino Patti Djalal, Jumat (26/8/2022).
"Indonesia dan Korea punya potensi luar biasa dan hubungan dekat. Ini jadi kesempatan luar biasa bagi jurnalis Indonesia tahu lebih dalam soal Korea. Ini akan jadi program yang menyenangkan. Nantinya para jurnalis akan mengunjungi Korea, dan peserta tahun sebelumnya telah mengunjungi Korea Selatan."
"Sekali lagi saya ucapkan selamat kepada jurnalis yang terpilih," ujar Dino Patti Djalal.
Turut membuka Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2, hadir pula Director of Korea Foundation Jakarta Office, Choi Hyunsoo.
"Korea Foundation Jakarta Office selalu mempromosikan pertukaraan kerja sama antara Korea dan Indonesia. Sejak 1963, hubungan Indonesia dan Korea Selatan selalu tumbuh dari berbagai bidang," kata Choi Hyunsoo.
"Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea dibentuk bagi mempererat hubungan kedua negara. Melalui sejumlah workshop dan menulis artikel dari paparan narasumber. Saya berharap ini menciptakan pemahaman bagi warga kedua ngeara."
Pada tahun 2022, program ini memilih 15 jurnalis terpilih untuk berpartisipasi dalam program peningkatan kapasitas.
Jurnalis akan mengikuti serangkaian workshop di Jakarta di mana mereka akan memiliki kesempatan untuk terlibat dalam diskusi mendalam dengan para ahli, pembuat kebijakan, dan praktisi Indonesia dan Korea Selatan.
Advertisement