Negara-negara Miskin Akan Tuntut Keadilan Iklim di KTT PBB

Ketua blok negosiasi berpengaruh dalam KTT Iklim PBB mendatang di Mesir telah menyerukan agar kompensasi bagi negara-negara miskin yang menderita akibat perubahan iklim.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Okt 2022, 12:03 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2022, 12:03 WIB
Penyebab Perubahan Iklim
Ilustrasi Penyebab Perubahan Iklim Credit: pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Ketua blok negosiasi berpengaruh dalam KTT Iklim PBB mendatang di Mesir telah menyerukan agar kompensasi bagi negara-negara miskin yang menderita akibat perubahan iklim menjadi agenda utama.

Madeleine Diouf Sarr, yang memimpin kelompok Negara-negara Tertinggal (LDC), mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa konferensi November -- yang dikenal sebagai COP27 -- harus “mendengar suara dan kebutuhan negara-negara yang paling rentan terhadap iklim dan memberikan keadilan iklim.''

Sarr mengatakan kelompok itu menginginkan, pada KTT mendatang tercapai kesepakatan untuk membentuk sebuah fasilitas keuangan untuk memberi kompensasi bagi negara-negara miskin yang menghadapi dampak perubahan iklim, dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (16/10/2022).

Kelompok LDC, yang terdiri dari 46 negara yang menghasilkan hanya sebagian kecil dari emisi global, bernegosiasi sebagai blok di KTT PBB itu untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang.

Isu-isu seperti siapa yang membayar negara-negara miskin untuk bertransisi ke energi yang lebih bersih, memastikan tidak ada komunitas yang tertinggal dalam transisi energi, dan meningkatkan seberapa baik orang-orang yang rentan dapat beradaptasi dengan perubahan iklim, telah lama menjadi agenda blok tersebut.

Negara-negara berkembang masih menghadapi tantangan serius dalam mengakses keuangan energi bersih, dengan Afrika hanya menarik 2% dari total investasi energi bersih dalam 20 tahun terakhir, menurut Badan Energi Terbarukan Internasional.

Badan Urusan Cuaca PBB (WMO) baru-baru ini memperkirakan bahwa pasokan energi bersih global harus berlipat ganda pada tahun 2030 agar dunia dapat membatasi pemanasan global dalam target yang ditetapkan.

Sarr menambahkan bahwa blok tersebut akan mengupayakan dana untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan kekeringan, banjir dan peristiwa terkait iklim lainnya serta mendesak negara-negara maju untuk mempercepat rencana mereka mengurangi emisi.

 

Kelompok Rentan

Ilustrasi perubahan iklim
Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Kelompok ini sangat rentan terhadap perubahan iklim karena kurangnya kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan ekstrem, kata WMO.

“Kita telah menunda aksi iklim terlalu lama,'' kata Sarr, menunjuk pada bantuan iklim $100 miliar per tahun yang dijanjikan untuk negara-negara miskin lebih dari satu dekade lalu.

“Kita tidak bisa lagi melangsungkan COP yang menjadi sekadar ajang bicara. Krisis iklim telah mendorong batas adaptasi kita, mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang tak terhindarkan, dan menunda pembangunan yang sangat kita butuhkan,'' tambah Sarr.

Presiden COP27 juga mengatakan bahwa KTT tahun ini harus tentang implementasi rencana dan janji yang telah disepakati negara-negara pada konferensi sebelumnya.

Sarr membela konferensi PBB itu sebagai “salah satu dari sedikit ruang di mana negara-negara berkumpul untuk meminta pertanggungjawaban iklim” dan membanggakan keberhasilan konferensi 2015 di Paris dalam menetapkan tujuan membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius.

Selandia Baru Usulkan Pengenaan Pajak pada Sendawa Sapi

Ilustrasi sapi potong
Ilustrasi sapi potong (Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/portrait-of-cow-standing-in-pasture-248337/)

Sementara itu, pemerintah Selandia Baru pada Selasa (11/10) mengusulkan pengenaan pajak atas gas rumah kaca yang dihasilkan hewan ternak dari bersendawa dan buang air kecil sebagai bagian dari rencana untuk mengatasi perubahan iklim.

Pemerintah mengatakan retribusi pertanian tersebut akan menjadi yang pertama di dunia, dan bahwa petani harus dapat menutup biaya dengan membebankan lebih banyak untuk produk ramah iklim, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (13/10/2022).

Namun para petani dengan cepat mengutuk rencana tersebut. Federasi Petani, kelompok utama industri, mengatakan rencana itu akan "menghancurkan kota kecil Selandia Baru” dan membuat lahan pertanian di negara itu akan berganti dengan pohon.

Presiden Federasi Petani Andrew Hoggard mengatakan para petani telah berusaha bekerja sama dengan pemerintah selama lebih dari dua tahun dalam rencana pengurangan emisi yang tidak akan menurunkan produksi pangan.

Anggota parlemen oposisi dari Partai ACT yang konservatif mengatakan rencana itu sebenarnya akan meningkatkan emisi di seluruh dunia dengan memindahkan pertanian ke negara lain yang kurang efisien dalam membuat makanan.

Industri pertanian Selandia Baru sangat penting bagi perekonomiannya. Produk susu, termasuk yang digunakan untuk membuat susu formula di China, adalah penghasil ekspor terbesar negara itu.

Negara tersebut hanya berpenduduk lima juta orang, tetapi memiliki sekitar 10 juta sapi dan sapi perah dan 26 juta domba.

Industri pertanian yang besar telah membuat Selandia Baru menjadi unik karena sekitar setengah dari emisi gas rumah kacanya berasal dari pertanian. Hewan ternak menghasilkan gas yang menghangatkan planet ini, terutama metana dari sendawa ternak dan nitrous oxide dari urin mereka.

Perdana Menteri Jacinda Ardern mengatakan hasil pajak dari retribusi pertanian yang diusulkan itu akan digunakan untuk mendanai teknologi baru, penelitian dan pembayaran insentif bagi petani.

“Petani Selandia Baru akan menjadi yang pertama di dunia untuk mengurangi emisi pertanian, memposisikan pasar ekspor terbesar kami untuk keunggulan kompetitif yang membawa dunia semakin cerdas tentang asal makanan mereka,” kata Ardern.

Kentut Sapi Ternyata Bisa Ancaman Kondisi Bumi

Sapi Super
Sapi Super (pixabay.com)

Kentut sapi atau seperti disebut sebagao emisi bovine, merupakan bagian penting yang mengancam eksistensi bagi manusia.

Ancaman itu dikenal sebagai perubahan iklim dan didorong oleh berbagai aktivitas manusia di Bumi.

Memelihara ternak untuk daging adalah salah satu kegiatan yang sering luput dari perhatian, namun menyumbang 18 persen dari emisi gas rumah kaca global.

Inilah sejumlah alasan mengapa Anda harus peduli dengan sendawa dan kentut sapi yang berkaitan dengan perubahan iklim.

1. Kentut Sapi Mengandung Metana

Hal yang paling mengkhawatirkan dari saluran pencernaan sapi adalah metana.

Meskipun karbon dioksida adalah penyebab utama perubahan iklim, metana 84 kali lebih kuat dalam hal memerangkap panas di atmosfer.

Selain itu, emisi metana menyebar ke udara dengan cepat, menciptakan efek pemanasan yang lebih cepat daripada gas rumah kaca lainnya

2. Kentut Sapi dan Hujan Asam

Secara teknis, sebagian besar emisi juga berasal dari sendawa sapi. Sendawa dan kentut bertanggung jawab atas dua pertiga dari amonia yang dilepaskan ke udara.

Amoniak bersifat racun bagi hewan air, berbahaya bagi tanah yang subur, dan berperan penting dalam mengangkut polutan penyebab hujan asam ke atmosfer.

3. Tak Hanya Kentut, Daging Sapi Punya Jejak Karbon

Daging sapi memiliki jejak karbon lebih besar per pon daripada daging populer lainnya: dua kali lebih besar dari domba, enam kali lebih besar dari babi, dan tujuh kali lebih besar dari ayam.

Menurut sebuah penelitian, memproduksi satu kilogram (2,2 pon) daging sapi memiliki efek yang sama terhadap lingkungan seperti mengendarai mobil sejauh 155 mil.

Infografis Suhu Panas Menerjang Indonesia
Infografis Suhu Panas Menerjang Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya